tirto.id - Meski meninggal di usia muda, Chairil Anwar telah memberikan pengaruh besar dalam dunia sastra di Indonesia.
“Chairil Anwar punya prinsip bukumu bukuku, rumahmu rumahku," tutur penyair Subagio Sastrowardoyo saat mengenang Chiril Anwar.
Meski terkesan menjengkelkan, tapi sikap suka main ambil itu tidak lantas membuat teman-teman Chairil Anwar marah besar. Bahkan, buku-buku milik Subagio kerap diambil dan kadang dijual loak ke Pasar Senen oleh Chairil.
Chairil Anwar memang penyair yang tidak bisa diatur hidupnya. Dia tidak menyukai hidup dengan kemapanan.
Kesempatan bekerja dengan Bung Hatta, wakil presiden RI pertama, membuatnya tidak kerasan lantaran bekerja rutin dari pukul 08.00 WIB sampai 14.00 WIB.
Kendati begitu, dari jiwa senimannya itu muncul beragam karya sastra yang menggaung hingga kini. Chairil juga dikenal lantang menentang pemerintahan penjajah Jepang kala itu melalui puisinya.
Akibat puisi "Siap Sedia", Chairil didakwa dengan tuduhan menganjurkan pemberontakan pada Jepang.
Kejadian itu berlangsung pada tahun 1943. Akibatnya, Chairil harus dibui selama tiga bulan dan gagal menjadi pembicara pada Forum Angkatan Muda di Kantor Pusat Kebudayaan.
Salah satu penggalan syairnya “Kawan, kawan. Mari mengayun pedang ke dunia terang” dinilai bermasalah karena "dunia terang" merujuk pada Jepang.
Chairil Anwar lahir pada 26 Juli 1922 di Medan. Dia hanya mengenyam manis getirnya hidup selama hampir 27 tahun. Pasalnya, ia berpulang pada 28 April 1949, akibat sakit TBC yang menggerogoti paru-parunya.
Namun, nama Chairil sangat dikenang. Penyair berjuluk "Binatang Jalang" ini menjadi pelopor Angkatan '45 dan puisi modern di Indonesia.
Jiwa senimannya sudah didapatkan sejak usia 15 tahun. Saat remaja tersebut, dia sudah bertekad menjadi penyair. Sang ayah, Toeloes adalah inspirator karena Chairil menjadi terbiasa melahap buku setelah melihat kebiasaan ayahnya gemar membaca.
Chairil remaja sudah rakus dengan ilmu. Dia bahkan sudah menyelesaikan membaca tulisan-tulisan sastrawan barat seperti Rainer Maria Rilke, W.H. Auden, Archibald MacLeish, Hendrik Marsman, J. Slaurhoff, Edgar Du Perron, dan lainnya.
Buku untuk siswa Hogare Burgerlijk School (HBS) yang lebih mentereng dari MULO, juga dikhatamkannya.
Bagi Chairil, buku bacaan adalah modal hidupnya. Hal itu membuatnya enggan bersekolah tinggi. Pasca perceraian kedua orang tuanya di usia 19 tahun, dia makin mencintai sastra setelah hidup berdua bersama ibunya di Batavia.
Nama Chairil Anwar makin terkenal saat tulisannya dimuat pada Majalah Nisan di tahun 1942. Selain puisi perjuangan "Siap Sedia" yang kontroversial bagi penjajah Jepang, dia juga membuat puisi "Aku". Puisi tersebut diterbitkan di majalah Timur pada tahun 1945.
Puisi "Aku" dianggap sebagai pendobrak cara berpuisi bagi sebagian khalayak. Puisi yang sebenarnya sudah dibuat Chairil dua tahun sebelumnya itu membuatnya dijuluki "Binatang Jalang".
Chairil pernah merasakan indahnya biduk rumah tangga dengan menikahi Hapsah Wiriaredja pada 6 Agustus 1946. Sayangnya, kebersamaan mereka berakhir dengan perceraian dua tahun kemudian. Chairil lalu menikah lagi dengan Evawani Alissa.
Namun, setelah pernikahan keduanya itu, kondisi kesehatan Chairil menurun. Dia terkena TBC yang juga membuatnya agak kesulitan untuk produktif.
Pada 28 April 1949 dia menghembuskan napas terakhir di CBZ atau sekarang dikenal sebagai rumah Sakit Cipto Mangunkusumo.
Selama hidupnya telah terdokumentasi karya Chairil Anwar yang terdiri dari 94 tulisan: 70 sajak asli, 4 saduran, 10 sajak terjemahan, 6 prosa asli, dan 4 prosa terjemahan.
Chairil telah mewujudkan cita-citanya sebagai penyair dan sekaligus seniman.
Penulis: Ilham Choirul Anwar
Editor: Maria Ulfa