tirto.id - Bank Indonesia (BI) membuka peluang untuk mereaktivasi Sertifikat Bank Indonesia (SBI) untuk tenor 9 dan 12 bulan. Padahal, sebelumnya BI telah memutuskan untuk menghapus SBI secara bertahap sampai dengan 2024 dan menggantikannya dengan Surat Berharga Negara (SBN) sebagai instrumen moneter BI.
Gubernur BI Perry Warjiyo mengatakan, langkah itu diambil untuk menguatkan daya tarik pasar keuangan dalam negeri terhadap investor asing, selain dari instrumen suku bunga acuan (BI 7-day Reverse Repo Rate/BI-7DRRR).
"Sedang kami kaji. Dalam waktu dekat kami umumkan. Tunggu tanggal mainnya. Tapi, sudah direncanakan dalam jangka pendek ini," kata Perry di Bank Indonesia Jakarta pada Kamis (19/7/2018).
Langkah lain yang juga sedang dipersiapkan BI untuk dikeluarkan adalah untuk meningkatkan kredibilitas benchmark dari pasar uang yang berbasis transaksi, yang akan diterbitkan dan dinamakan "Indonia". Instrumen
"Itu juga akan kami terbitkan pada akhir bulan ini. Pada waktunya tentu ini akan kami komunikasikan baik kepada pelaku pasar maupun media. Itu (Indonia) juga bagian-bagian untuk bagaimana meningkatkan daya tarik pasar keuangan global," ucapnya.
Selain itu, menerapkan penggunaan instrumen lindung nilai (hedging) berupa call spread option. BI yakin dengan call spread option, biaya hedging akan lebih murah.
Sementara ini, biaya swap valas yang berlaku dalam tenor 1 bulan sekitar 6,2 persen dan tenor 3 bulan sebesar 7,2 persen.
"Kami akan mereview kembali apakah ada upaya-upaya bahwa biaya untuk swap ini bisa lebih murah lagi. Kalau biaya swap ini lebih murah itu akan juga meningkatkan daya tarik pasar keuangan Indonesia," ucapnya.
Ketiga instrumen tersebut menjadi startegi BI untuk menguatkan pasar keuangan Indonesia agar terlihat lebih menarik untuk menarik aliran modal asing masuk. Hasilnya, dapat mendorong penguatan nilai tukar rupiah di tengah kondisi pasar keuangan global yang masih diwarnai ketidakpastian.
Rupiah pada 18 Juli 2018 tercatat Rp14.405 per dolar AS, sedikit melemah 0,52 persen (point to point/ptp) dibandingkan dengan level akhir Juni 2018.
Dengan perkembangan ini, Rupiah melemah 5,81 persen (year to date/ytd) dibandingkan dengan level akhir 2017, lebih rendah dibandingkan dengan pelemahan mata uang negara berkembang lain, seperti Filipina, India, Afrika Selatan, Brasil dan Turki.
Tekanan terhadap rupiah meningkat seiring kuatnya ketidakpastian pasar keuangan global yang kemudian memicu penguatan dolar AS secara meluas di berbagai negara.
Rupiah sempat menguat di awal Juli 2018 sebagai respons positif pelaku pasar atas kebijakan moneter BI yang pre-emptive, front loading, dan ahead the curve pada RDG Juni 2018 yang menaikkan BI7DRR sebesar 50 basis points (bps).
"Respons tersebut mendorong aliran masuk modal asing ke pasar keuangan, khususnya Surat Berharga Negara sehingga mendorong penguatan rupiah," ungkapnya.
Penulis: Shintaloka Pradita Sicca
Editor: Yandri Daniel Damaledo