Menuju konten utama

BI Paparkan Langkah Strategis Kurangi Ketergantungan terhadap Dolar

Beberapa upaya strategis Bank Indonesia untuk mengatasi ketergantungan nilai tukar rupiah terhadap dolar.

BI Paparkan Langkah Strategis Kurangi Ketergantungan terhadap Dolar
Warga menunjukkan pecahan uang dolar Amerika yang ditukarkan di salah satu gerai penukaran mata uang asing di Jakarta, Rabu (14/3/2018). ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan.

tirto.id -

Bank Indonesia (BI) memaparkan beberapa langkah strategis untuk menguatkan nilai tukar rupiah dengan mengurangi ketergantungan terhadap dolar AS.

Kepala Departemen Pengelolaan Moneter BI, Doddy Zulverdi mengatakan ada beberapa cara yang ditempuh sebagai reaksi atas nilai tukar rupiah pada Maret ini yang menyentuh level Rp13.739 terhadap dolar. Pertama, mengurangi defisit transaksi berjalan (current account deficit/ CAD). Bahkan kalau bisa diupayakan surplus, seperti yang terjadi di Malaysia, Thailand, Singapura, dan Korea Selatan.

"Walaupun itu bukan jaminan utama, tapi itu tetap menjadi fundamental yang terus kami upayakan agar ketergantungan terhadap pembiayaan dari asing jangka pendek terus berkurang," ujar Doddy di Bank Indonesia Jakarta pada Rabu (14/3/2018).

Kedua, langkah untuk mengurangi ketergantungan terhadap dolar dan menguatkan nilai tukar rupiah, adalah membuat pasar keuangan dalam negeri, baik pasar saham, Surat Berharga Negara (SBN), dan obligasi, harus likuid dan dalam.

"Artinya likuid dan dalam itu kalau ada investor ingin menyesuaikan portofolionya dari seri satu ke lainnya, atau dari saham ke bond, dari bond ke valas, dan lain-lain efeknya terhadap harga di pasar saham, obligasi, ke nilai tukar tidak terlalu besar," terangnya.

Sehingga jika ada investor keluar, dia tidak seketika membuat pergerakan harga (volatilitas) di pasar-pasar keuangan itu. Lalu, langkah penting untuk memperdalam pasar keuangan di antaranya membuat regulasi lebih baik agar orang nyaman dan yakin menanamkan uangnya di Indonesia.

Selain itu, memberikan banyak instrumen untuk berinvestasi. "Investor luar negeri mengeluhkan instrumen di Indonesia sangat terbatas. Saat ini pilihannya hanya SBN dan saham. Memang ada obligasi korporasi, tapi masih sedikit sekali minatnya," ungkapnya.

Instrumen terbatas, alhasil, investor mudah terdorong untuk menarik dananya keluar dari Indonesia (dana outflow) ketika terjadi permasalahan di suatu instrumen, tanpa memindahkan instrumen lain.

"Agar jika ada investor tidak nyaman dengan salah satu instrumen, maka dapat memindahkan uangnya dengan instrumen lain, tidak serta merta langsung lari dari Indonesia. Misalnya, sementara bisa masuk ke instrumen non-bank," ucapnya.

Langkah untuk memperdalam pasar keuangan Indonesia, dikatakannya, adalah PR besar untuk Bank Indonesia bersama pemerintah dan stakeholder terkait. "Walaupun BI dengan institusi terkait sudah punya semacam road map, kerangka kerja bersama untuk berkoordinasi penguatan di situ. Isu ini bisa dipertajam di sesi khusus dengan pasar keuangan untuk tahu konkretnya," ungkapnya.

Sementara itu, pendekatan lain yang bisa dilakukan segera oleh Bank Indonesia adalah menjaga pasar yakin Bank Indonesia hadir untuk menstabilkan harga, baik di valas atau SBN. "Kita bukan sifatnya pemadam kebakaran datang ketika sudah ada kebakaran. Tapi, kami juga belum ada pendekatan yang sifatnya restriktif atau membatasi (dolar masuk)," ucap dia.

Sedangkan peran pemerintah, untuk menjaga ketergantungan terhadap dolar tidak terlalu tinggi dan nilai tukar rupiah terkendali, diterangkannya, tentu saja dengan berusaha mengelola fiskal secara optimal, melanjutkan langka-langkah reformasi keuangan supaya kinerja transaksi berjalan dalam negeri terus membaik dan inflasi terkendali.

Saat ini, jumlah suplai dolar AS masuk ke dalam negeri dengan valas sekitar 5-6 miliar dolar AS tiap hari. "Itu termasuk stabil," ujarnya.

Perlu diketahui, sentimen yang mempengaruhi nilai tukar rupiah naik turun, utamanya disebabkan adalah kondisi global baik secara ekonomi ataupun geopolitik dari beberapa negara besar, seperti Amerika Serikat di bawah kepemimpinan Donald Trump acapkali mengeluarkan kebijakan yang mengguncang pasar keuangan global.

Contohnya, menaikkan suku bunga bank sentral AS, The Fed, beberapa kali dalam setahun. Alhasil, banyak negara termasuk Indonesia terancam terjadi dana asing keluar (outflow) yang cukup besar, untuk beralih ke AS.

"Harapannya gejolak situasi ini sudah selesai Maret ini, setelah FOMC (Federal Open Market Committee/dewan rapat kebijakan bank sentral Amerika Serikat) dan mengeluarkan keputusan pasti soal rencana kenaikan suku bunga pada tahun ini," jelas Doddy.

Baca juga artikel terkait NILAI TUKAR RUPIAH atau tulisan lainnya dari Shintaloka Pradita Sicca

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Shintaloka Pradita Sicca
Penulis: Shintaloka Pradita Sicca
Editor: Maya Saputri