tirto.id -
Selain memicu inflasi, overheated memperbesar defisit neraca berjalan yang sangat besar sehingga terjadi currency risk Rupiah. Selama tahun tersebut, kurs rupiah sempat anjlok 23 persen yang memukul pasar modal setelah the Fed mengumumkan akan melakukan pembatasan stimulus (tapering-off).
Laju penyaluran kredit saat ini nampak turut memicu inflasi inti yang pada Agustus 2022 lalu yang menyentuh 3,04 persen atau memenuhi target BI sebesar 3,0±1 persen. Untuk memberikan arahan agar inflasi inti tahun depan terkendali, BI punya alasan untuk mulai melakukan normalisasi suku bunga namun tetap mendukung pemulihan ekonomi.
Selain pertimbangan internal di atas, peningkatan suku bunga menurutnya diperlukan untuk menjaga interest rate differential (selisih suku bunga BI terhadap negara lain) tetap kompetitif. Karena hampir semua negara telah menaikkan tingkat suku bunga kecuali beberapa negara yang menghadapi tantangan perlambatan ekonomi seperti Cina, Turki dan Rusia.
Dia menuturkan BI termasuk bank sentral yang menaikkan suku bunga lebih belakangan dibanding bank sentral di negara lain. Namun, langkah BI itu perlu diapresiasi. Selain agar tidak terlambat (behind the curve), normalisasi tingkat suku bunga juga ditujukan untuk menjaga attractiveness aset-aset domestik di mata asing serta menghindari out flow di pasar.
Dalam jangka pendek, Bahana TCW menilai kondisi ekonomi nasional masih cukup kuat menghadapi kenaikan suku bunga hingga 50 bps hingga akhir tahun 2022. Bahana TCW optimistis pertumbuhan ekonomi masih akan positif bahkan dapat menyentuh di atas 5,3 persen.
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Intan Umbari Prihatin