Menuju konten utama

BI dan OJK Harus Lebih Intensif Pantau Kasus Deutsche Bank

Para peneliti di Institute for Development of Economics and Finance (Indef) meminta Bank Indonesia (BI) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) harus lebih intensif memantau perkembangan kasus Deutsche Bank. Mereka mengeluarkan catatan yang perlu diperhatikan terkait dengan dampak dari kasus Deutsche Bank terhadap keuangan di Indonesia.

BI dan OJK Harus Lebih Intensif Pantau Kasus Deutsche Bank
Kantor cabang Deutsche Bank di Hamburg. [Foto/Shutterstock]

tirto.id - Para peneliti di Institute for Development of Economics and Finance (Indef) meminta Bank Indonesia (BI) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) harus lebih intensif memantau perkembangan kasus Deutsche Bank. Bhima Yudhistira, misalnya, menyebutkan ada beberapa catatan yang perlu diperhatikan terkait dengan dampak dari kasus Deutsche Bank terhadap keuangan di Indonesia.

Pertama, resiko surat hutang Indonesia. Pasalnya di Indonesia surat hutangnya sudah dimiliki oleh orang asing yaitu sebesar 39 persen. Berdasarkan catatan OJK, bank Jerman tersebut menguasai pangsa 42 persen dari seluruh kelolaan kustodian di Indonesia.

“Deutsche Bank bisa mengaruhi pasar untuk melakukan penjualan terhadap surat hutang yang sebelumnya dimiliki oleh Deutsche Bank,” kata Bhima saat dihubungi di Jakarta, Rabu (2/11/2016).

Catatan kedua, lanjut Bhima, dari sisi sistemik perbankan, Deutsche Bank tentu sudah memiliki fitur-fitur pembiayan dan link dengan perbankan yang ada di Indonesia.

“Yang saya khawatirkan justru OJK sebut tidak ada pengaruh yang besar terhadap perbankan, namun kalau diperhatikan kasusnya Brother Lehman dulu kita tidak tahu kalau ternyata Bank Century yang terseret kena. Bank yang kecil, tetapi secara pendanaan internasionalnya cukup besar," katanya.

Menurutnya, yang dimaksud di sisi sistemik perbankan, bukan berarti yang dimaksud bank-bank yang besar, namun bank yang kecil tetapi mempunyai kaitan langsung dengan Deutsche Bank. “Bisa jadi resiko sistemik perbankan, ini yang harus diperhatikan oleh OJK,” katanya.

Peneliti Indef lain, Eko Listiyanto, mengatakan bahwa BI dan OJK perlu menyiapkan berbagai strategi penanganan jika bank Jerman tersebut terus memburuk. Eko mengatakan, kewaspadaan pasar keuangan memang perlu, mengingat dalam jangka pendek dapat saja membuat fluktuasi di pasar keuangan. “Perlu segera koordinasi intensif untuk meredam kemungkinan gejolak yang bisa timbul di pasar keuangan,” tegasnya.

Indef juga meminta ada revisi Undang Undang Lalu Lintas Devisa, hal ini belajar dari tahun 98 dan tahun 2008 kenapa begitu besar hantaman krisis yang menimpa Indonesia dan jaringan global bisa cepat transisi ke Indonesia, karena memang uang itu tidak ada paspor di Indonesia jadi, bisa dicabut pasar saham dan surat hutang bahkan bukan hanya dalam hitungan hari tapi jam.

Sebagaimana press release yang diterima Tirto.id, Bhima meminta kepada perbankan untuk berhati-hati dalam menyalurkan kredit, terutama sektor yang masih berisiko dan lemah yang perlu diperhatikan.

“Jangan sampai dampak sistemik ini bisa meningkatkan NPL perbankan, Bank-bank yang ada keterkaitan dengan Deutsche Bank baik dari sisi penyaluran kredit dan rekanannya, selain itu perlu berhati-hati terutama Deutsche Bank Di Indonesia itu harus di awasi, sebab sudah ada tuntutan 7000 gugatan nasabah Deutsche Bank di Internasional,” ujarnya.

Awal Mula Krisis

Deutsche Bank merupakan raksasa finansial yang selamat dari krisis 2008 tanpa dana talangan. Secara perlahan, Deutsche Bank mulai memulihkan dirinya. Saham Deutsche Bank sempat mencapai puncaknya pada Juli 2015. Namun, secara perlahan sahamnya terus turun. Sejak puncaknya hingga saat ini, saham Deutsche Bank sudah terpangkas hingga 65 persen. Nilai kapitalisasi pasarnya pun hanya tersisa kurang dari setengahnya, dari 50 miliar dolar menjadi hanya 16 miliar dolar.

Deutsche Bank bukannya tidak melakukan apa-apa. Di tengah situasi perekonomian global yang lesu, Deutsche Bank sudah berupaya melakukan restrukturisasi. John Cryan yang baru diangkat sebagai co-CEO pada Juni 2015 langsung mengumumkan program restrukturisasi yang bernama "Strategy 2020". Program ini antara lain berisi pengurangan karyawan dan penutupan operasional di 10 negara. Program ini dilakukan karena Cryan melibat biaya yang dipikul perusahaan terlalu besar.

Cryan berusaha mengatasi permasalahan yang membelit unit bank investasi Deutsche Bank yang menyumbang 85 persen dari total pendapatannya. Setelah krisis finansial pada 2008, regulasi yang sangat ketat diberlakukan di pasar finansial. Hal itu membuat bank investasi memang menjadi lebih aman, tetapi kurang menguntungkan. Celakanya, Deutsche Bank tidak memiliki bank ritel atau bisnis wealth management untuk mengkompensasi susutnya pendapatan dari bank investasi.

Bank akan meraup pendapatan dari perbedaan suku bunga tabungan dan kredit. Ketika suku bunga negatif – sebagaimana yang terjadi di Eropa—maka dengan sendirinya akan menggerus pendapatan.

Tidak hanya lini pendapatannya yang terpukul. Deutsche Bank yang dulunya merupakan salah satu bank Eropa yang paling sukses di Wall Street juga menghadapi serangkaian gugatan. Biaya litigasinya sejak 2012 sudah mencapai 12 miliar euro atau sekitar 13,5 miliar dolar. Klaim individual, perusahaan, regulator memenuhi laporan keuangan Deutsche Bank pada 2015.

Kondisi yang sulit membuat pendapatan Deutsche Bank semakin susut. Pada 2015, Deutsche Bank mencatat rugi sebesar 6,77 miliar. Ini tentu saja sebuah kemunduran dibandingkan keuntungan yang dicetak pada 2014 sebesar 1,69 miliar euro. Namun, pada kuartal 1,2,3 tahun 2016, Deutsche Bank sudah mencatat kinerja yang positif.

Juli 2015, S&P menurunkan rating untuk Deutsche Bank. Pada saat yang hampir bersamaan, Deutsche Bank di AS gagal melewati stress test yang dilakukan The Fed. Stress test merupakan uji kekuatan sebuah bank dalam melewati krisis.

Memasuki Agustus 2016, Deutsche Bank dikeluarkan dari daftar saham blue chip STOXX Europe 50 index. Nasib buruk berlanjut ketika pada September 2016, Departemen Kehakiman Amerika Serikat memberikan denda ke Deutsche Bank sebesar 14 miliar dolar karena bersalah dalam menjual kredit perumahan murah (subprime mortgage). Denda yang besar inilah yang semakin memunculkan kekhawatiran tentang kondisi keuangan Deutsche Bank.

Baca juga artikel terkait DEUTSCHE BANK atau tulisan lainnya dari Akhmad Muawal Hasan

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Akhmad Muawal Hasan
Penulis: Akhmad Muawal Hasan
Editor: Akhmad Muawal Hasan