tirto.id - Bank Indonesia (BI) tidak menutup kemungkinan untuk kembali menaikkan suku bunga acuan (7 Days Reverse Repo Rate/7DRRR) dalam waktu dekat. Adapun keputusan semacam itu dinilai sebagai sebuah langkah antisipasi dalam merespons perkembangan ekonomi secara global saat ini.
Keputusan BI yang menaikkan suku bunga acuan serta merelaksasi makroprudensial untuk membangun sektor perumahan diklaim akan membuat stabilitas dan kepercayaan investor terjaga.
“Langkah preemptive dalam RDG (Rapat Dewan Gubernur) yang akan datang dapat berupa kenaikan suku bunga acuan untuk membuat pasar aset keuangan semakin menarik. Apalagi kita juga melakukan relaksasi di sektor perumahan,” kata Gubernur BI Perry Warjiyo seusai halal bihalal di kantornya, Jakarta pada Jumat (22/6/2018).
Lebih lanjut, Perry mengklaim bahwa relaksasi di sektor perumahan bakal berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia yang semakin baik. Para investor yang khususnya bergerak di bidang saham pun disebutnya akan tertarik dengan langkah untuk merelaksasi sektor perumahan tersebut.
“Lewat langkah preemptive, stabilitas akan terjaga dan pertumbuhan ekonomi akan membaik. Itu akan membuat pasar keuangan jadi menarik bagi investor, baik dari dalam maupun luar negeri,” ujar Perry.
BI rencananya bakal mengadakan RDG pada 27-28 Juni 2018 mendatang. Dalam RDG pada 30 Mei lalu, BI telah menaikkan suku bunga acuannya sebesar 25 basis poin atau sekitar 0,25 persen. Dengan demikian, 7DRRR BI sejak 31 Mei lalu ialah sebesar 4,75 persen, naik dari yang tadinya 4,5 persen.
Di sepanjang Mei lalu, BI sendiri telah dua kali menaikkan suku bunga acuan. Sebelum kenaikan yang diputuskan dalam RDG pada 30 Mei tersebut, BI sudah lebih dulu menaikkan 7DRRR menjadi 4,5 persen pada pertengahan Mei 2018 setelah sempat menahannya di angka 4,25 persen sejak September 2017.
Masih dalam kesempatan yang sama, Perry tidak menampik apabila risiko keuangan memang masih tinggi. Terkait dengan posisi nilai tukar mata uang rupiah terhadap dolar AS, Perry mengakui bahwa rupiah memang sempat mengalami penyesuaian selama libur Lebaran 2018. Pasalnya selama libur itu, tekanan global sempat meningkat dan hampir semua mata uang melemah.
“Pelemahan nilai tukar rupiah, bila dilihat secara year-to-date, tidak seburuk negara lain. BI akan selalu berada di pasar dan berkomitmen menjaga stabilitas nilai tukar rupiah,” ungkap Perry.
Di sisi lain, Direktur Utama Bursa Efek Indonesia (BEI) Tito Sulistio berharap agar suku bunga acuan tidak naik lagi. Menurut Tito, kenaikan suku bunga acuan tersebut mau tidak mau cukup mengganggu pasar modal.
“Musuh terbesar dari pasar modal adalah tingkat suku bunga. Apabila bursa ditanya, ya kalau bisa sih suku bunga jangan naik,” ujar Tito.
Adapun salah satu dampak dari kenaikan suku bunga ialah perbankan dan pasar modal yang kesulitan dalam memberikan pinjaman. Sementara itu pemerintah membutuhkan pinjaman untuk menggenjot pembangunan infrastruktur.
Penulis: Damianus Andreas
Editor: Yulaika Ramadhani