tirto.id - Bank Indonesia (BI) bakal meluncurkan Central Counterparty (CCP) atau lembaga penjamin transaksi derivatif suku bunga dan nilai tukar di pasar keuangan dan pasar valuta asing (valas) pada 30 September 2024. Gubernur BI, Perry Warjiyo, mengungkapkan bahwa peluncuran CCP itu sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (PPSK).
“Dasar pendiriannya adalah Undang-Undang P2SK yang memberikan amanat bahwa Bank Indonesia berwenang mengatur, mengembangkan, dan mengawasi pasar uang dan pasar valas, termasuk infrastruktur pasar keuangan,” papar Perry dalam Rapat Kerja bersama Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI, di Kompleks Parlemen, Jakarta, Kamis (12/9/2024).
Selain itu, implementasi CCP juga merupakan upaya pemenuhan komitmen Indonesia sebagai anggota G20. Pasalnya, lembaga tersebut diperlukan untuk memitigasi risiko stabilitas sistem keuangan (SSK) yang muncul dari transaksi derivatif suku bunga dan nilai tukar di pasar uang dan pasar valas.
“Pendirian CCP ini juga salah satu inisiatif utama di mana Bank Indonesia juga sudah mengeluarkan blueprintpengembangan pasar uang 2025 yang sekarang dalam proses akan diperpanjang untuk blueprint pengembangan pasar uang sampai dengan 2030. Untuk mendukung implementasi operasi moneter yang pro-market,” imbuh Perry.
Lebih lanjut, Perry menjelaskan bahwa transaksi repo atau repurchase agreement (perjanjian keuangan yang melibatkan jual-beli surat berharga pada tanggal berbeda) di pasar uang maupun transaksi non-delivery forward (NDF) alias kontrak derivatif di pasar valas selama ini dilakukan masing-masing bank secara bilateral dengan infrastruktur masing-masing pula. Padahal, transaksi seperti ini berpotensi menimbulkan berbagai risiko yang timbul dari pihak lawan (counterparty).
Dalam hal ini, ketika ada bank yang memiliki masalah gagal bayar akibat kredit macet, menimbulkan risiko terhadap bank lain yang melakukan transaksi dengannya. Selain itu, dengan infrastruktur dari masing-masing bank, ada pula risiko inefisiensi.
“Karena bilateral, berarti ada risiko counterparty karena ada bank yang bagus risiko kreditnya rendah, ada yang jelek risikonya itu tinggi. Sehingga, itu tidak efisien. Dan yang kedua infrastrukturnya sendiri-sendiri sehingga kemudian sulit dikembangkan lebih lanjut,” jelas Perry.
CCP amat diperlukan untuk memitigasi berbagai risiko tersebut. Apalagi, CCP memungkinkan transaksi dari perbankan dapat tersentralisasi sehingga transaksi yang dilakukan oleh masing-masing perbankan dapat diidentifikasi secara jelas.
“Nah, dengan CCP, agunannya itu bisa jadi pool. Di-pool sehingga menggunakan infrastruktur yang sama. Sehingga, volume transaksinya bisa lebih besar. Pertama, infrastrukturnya satu. Yang kedua, pool-nya bisa lebih gede. Dan yang ketiga, karena ini adalah member punya credit risk-nya, risiko kegagalannya itu bisa rendah,” ujar Perry.
Penulis: Qonita Azzahra
Editor: Fadrik Aziz Firdausi