tirto.id - Setengah abad terakhir, Taiwan mengalami pertumbuhan ekonomi dan industri yang pesat. Negeri Formosa itu berkembang menjadi salah satu negara di kawasan Asia-Pasifik dengan PDB per kapita tinggi (berkisar pada 26 ribu dolar AS, sekitar Rp362 juta) dan dikenal sebagai produsen top berbagai produk alat komputer, sepeda, hingga semikonduktor, sampai-sampai menyandang julukan Pulau Silicon. Sayangnya, kemajuan Taiwan tidak bebas dari dampak negatif. Gencarnya eksploitasi sumber daya alam dan ekspansi lahan turut merusak lingkungan. Sejak pertengahan dekade 1980-an, film dokumenter lingkungan (eco-documentary) menjadi salah satu medium kritik para aktivis.
Melansir studi oleh Chiu Kuei-Fen dari Journal of Chinese Cinemas, dokumenter lingkungan di Taiwan lahir sebagai sub-kategori dokumenter sosial khas oposisi politik yang dibuat dalam rangka pemberdayaan masyarakat sipil. Chiu memaparkan, pada mulanya dokumenter lingkungan sarat agenda aktivis yang kuat, diproduksi lewat pendekatan antroposentrik, dan mengusung isu-isu perlindungan lingkungan terutama untuk membela kepentingan wong cilik.
Menurut amatan Chiu, dokumenter lingkungan awalnya berpusat pada masalah hak-hak lahan atau relasi manusia dengan lahan, misalnya dokumentasi bikinan para aktivis Green Team tentang kegagalan rencana pembangunan pabrik titanium dioksida milik gurita bisnis asal AS di kawasan pesisir Lukang berjudul The Lukang Anti-DuPont Movement (1987). Isinya berupa wawancara petani dan nelayan lokal yang merasa terancam dengan kehadiran pabrik, disokong oleh pendapat para ahli yang menariknya dalam konteks pembagian kerja internasional (international division of labour). Contoh lainnya, “Gongliao, How Are You?” oleh Cui Suxin (2004), menceritakan gerakan anti-nuklir sejak 1985 di sekitar konstruksi PLTN di desa rentan gempa Gongliao. Fokus film ini adalah warga selaku korban.
Seiring waktu, aktivis lingkungan mulai menggunakan pendekatan lain untuk menyampaikan pesannya. Salah satunya adalah Chi Po-lin, sutradara Beyond Beauty: Taiwan from Above (2013). Alih-alih memusatkan cerita pada aktivisme masyarakat, Chi mengisi keseluruhan filmnya dengan pemandangan alam yang disorot dari atas helikopter. Singkatnya, Chi bergantung pada kekuatan gambar lanskap, dibantu dengan narasi deskriptif sederhana, untuk membangkitkan kesadaran penonton akan lingkungan.
Chi Po-lin (1964-2017) mengawali karier sebagai fotografer udara di Kementerian Transportasi dan Komunikasi. Pekerjaannya adalah mendokumentasikan berbagai proyek konstruksi seperti jalan raya. Di waktu luang, ia suka menyewa helikopter untuk mengambil gambar pegunungan dan pantai. Sampai akhirnya, pada 2009, hatinya tergetar oleh kerusakan akibat Topan Morakot, terutama di Desa Siaolin di Kabupaten Kaohsiung, kawasan yang sebelumnya sudah punya riwayat tanah longsor. Fenomena ini merupakan salah satu malapetaka paling destruktif dalam sejarah bencana di Taiwan modern. Sedikitnya 670 orang meninggal dunia dan puluhan lainnya hilang.
Bencana alam tersebut mendorong Chi untuk melepas posisinya sebagai PNS dan beralih ke dunia penyutradaraan film. Melalui rekaman atau gambar, Chi ingin meningkatkan kesadaran publik tentang pentingnya melindungi alam. Proyek pembuatan Beyond Beauty memakan waktu selama tiga tahun dan anggaran 90 juta dolar Taiwan (nilainya hari ini mencapai Rp45 miliar). Chi menghabiskan sedikitnya 400 jam di udara untuk film berdurasi 90 menit, yang kelak dipilih sebagai dokumenter terbaik pada acara festival dan penghargaan sinema bergengsi nasional, Taipei Golden Horse Awards.
Ketika Gambar Berbicara
Beyond Beauty dibuka dengan lanskap kekayaan alam Taiwan yang menyejukkan mata: pegunungan dan perbuktian, hijaunya pulau-pulau kecil dikelilingi gemerlap biru lautan, air terjun tersembunyi dan danau kawah warna pelangi. Namun, potret romantis ini diwarnai pula dengan keganasan alam, seiring narator menceritakan bahwa Taiwan mengalami kenaikan curah hujan selama tiga dasawarsa belakangan. Puncaknya adalah Topan Morakot (2009) yang membawa 2.885 mm curah hujan di kawasan Gunung Ali. Bencana seperti banjir, semburan lumpur, sampai tanah longsor pun lebih sering terjadi dalam 10 tahun terakhir. Situasi bertambah parah karena aktivitas manusia, misalnya pembangunan jalan membelah bukit untuk mempersingkat waktu perjalanan. Dalam proyek itu, kotak-kotak kontainer disusun di kaki bukit untuk menyangga tanah agar jalan di atasnya tidak merosot. Film juga menyorot masifnya kegiatan turisme di Taman Rekreasi Hutan Alishan di Gunung Ali, yang tanah penyangganya rawan longsor.
Isu lain yang diangkat Beyond Beauty adalah alih fungsi hutan-hutan tua untuk komersialisasi lahan pertanian dalam bentuk perkebunan teh, ladang kubis dan pohon sirih. Narator menyatakannya sebagai “awal mula tragedi”. Kondisi waduk juga nampak memprihatinkan. Tak sedikit yang berubah jadi lautan lumpur dan bebatuan, memperparah krisis air. Pada waktu sama, seperti dijelaskan oleh narator, air tanah semakin disedot oleh aktivitas industri, terutama perikanan. Luasannya mencapai 40 ribu hektar dan waktu itu bernilai 30,7 miliar dolar Taiwan.
Selanjutnya, penonton diajak menyaksikan bagaimana batas-batas pantai alamiah dipisahkan oleh beton untuk membangun pelabuhan buatan demi mengakomodasi industri pariwisata. Disampaikan oleh sang narator, lebih dari 55 persen dari 1.322 km garis pantai Taiwan ditutup beton sehingga mengakibatkan erosi. Masih ada pula isu limbah polutif pabrik. Terlepas regulasi ketat pemerintah, sejumlah perusahaan nakal diam-diam masih membuang limbahnya ke jalur sungai. Permasalahan lingkungan lainnya meliputi aktivitas pertambangan di kawasan pantai timur Taiwan. Hutan-hutan dikeruk demi tercapainya akses terhadap batu kapur, tanah liat dan pasir silikon yang bisa diolah menjadi semen. Narator juga mengungkap maraknya aktivitas penambangan ilegal.
Narator mengakhiri Beyond Beauty dengan puisi, menganalogikan alam layaknya “seorang ibu yang sudah melahirkan terlalu banyak anak, lambat laun tubuhnya kelelahan dan sakit, namun ia tak pernah mengeluh dan tetap diam, menawarkan apapun yang anaknya minta. Sampai anak-anaknya menyedot rakus tetes terakhir susu darinya, barulah bisa kita dengar ia merintih pelan kesakitan”.
Respons Kilat Pemerintah Taiwan
Dahsyatnya kekuatan gambar film dokumenter Chi Po-lin memaksa Presiden Taiwan periode 2008-16, Ma Ying-jeou membuat pernyataan di laman Facebook-nya: “Kita harus melanjutkan upaya-upaya untuk mempertahankan keindahan tanah air kita.” Terbukti, dalam satu bulan setelah film dirilis, pemerintah berhasil mengidentifikasi 16 masalah yang disorot dalam film, seperti diinformasikan Taiwan News. Premier Jiang Yi-huah—pemimpin Eksekutif Yuan atau badan pengawas tertinggi yang mengelola sistem layanan sipil di Taiwan—membentuk gugus tugas khusus untuk merespons isu-isu penggunaan lahan yang diangkat dalam film, seperti pengerukan pasir kerikil ilegal, eksploitasi air tanah dan tanah miring. Gugus tugas ini dipimpin langsung oleh Chien Tai-lang, wakil sekjen Eksekutif Yuan.
Tidak terbatas pada lingkup pemangku kebijakan, industri turisme pun ikut tergerak oleh dokumenter lingkungan Chi Po-lin. Masih dilansir dari Taiwan News, sejumlah operator wisata di Pulau Xiaoliuqiu mengumumkan akan menutup operasional sepanjang Desember 2013 sampai Maret 2014 untuk menahan sementara arus turis ke zona intertidal pulau mereka, yang dikenal dengan kecantikan alamnya termasuk batu karang berbentuk menyerupai pot bunga (Flower Vase Rock).
Salah satu isu dalam film Chi Po-lin menyorot limbah air beracun di sungai yang diproduksi oleh Kaohsiung K7, pabrik milik Advanced Semiconductor Engineering Inc. (ASE Group), korporat penyedia chip komputer terbesar di dunia yang menyuplai komponen-komponen elektronik untuk berbagai industri teknologi informasi, termasuk Apple. Dilansir dari Taipei Times, pabrik ASE K7 tidak melaporkan pihak berwenang tentang kebocoran asam hidroklorik yang pernah mereka alami. Pada akhir 2013, pemerintah daerah Kaohsiung memutuskan mendenda ASE Group sebesar 600 ribu dolar Taiwan dan menangguhkan operasionalnya karena sudah melanggar UU Pengendalian Polusi Air. Undang-undang tersebut kemudian direvisi pada 2015 oleh Eksekutif Yuan dari Environmental Protection Administration. Dendanya bisa dinaikkan sampai 20 juta dolar Taiwan sebagai peringatan agar pabrik-pabrik menangani limbah dengan serius.
Kementerian Dalam Negeri ikut bereaksi terhadap bisnis penginapan ilegal di kawasan pegunungan Qinjing, Taiwan tengah. Seperti dilaporkan oleh Taiwan News, pihak kementerian menemukan separuh dari zona panorama perbukitan seluas 500 hektar di sana dikembangkan secara berlebihan, sehingga berisiko tinggi terdampak oleh hujan deras atau gempa. Mereka juga melaporkan hanya ada 4 dari 134 penginapan di Qinjing yang beroperasi secara legal. Penginapan-penginapan yang tidak berlisensi akan ditindak tegas. Sementara itu, jaksa setempat sudah mengerahkan investigasi terhadap 80 bisnis mencurigakan yang diduga menyalahi UU Konservasi Air dan Tanah serta UU Konservasi dan Pemanfaatan Tanah Miring.
Tragisnya, pada 2017, tak lama setelah mengumumkan akan melanjutkan sekuel Beyond Beauty, Chi Po-lin meninggal dunia dalam kecelakaan helikopter. Kematiannya menimbulkan duka mendalam bagi seluruh negeri. Presiden Taiwan sejak 2016, Tsai Ing-wen menyampaikan, “Kerja Chi sudah mengingatkan kita semua tentang keindahan Taiwan dan mendorong lebih banyak orang untuk bergabung dalam usaha konservasi lahan. Kematiannya adalah kehilangan besar bagi Taiwan.”
Sampai hari ini, Beyond Beauty adalah film dokumenter paling laris di Taiwan. Keuntungannya mencapai 220 juta dolar Taiwan, dua kali lipat lebih dari biaya produksinya. Merujuk dari daftar yang dirilis laman Wikipedia, Beyond Beauty menduduki peringkat ke-15 sebagai film dalam negeri berpenghasilan tertinggi, sementara di atasnya meliputi film-film bergenre drama sejarah, komedi dan romantis. Film Chi diputar di berbagai penjuru dunia, mulai dari Columbia University dan Detroit Institute of Arts, sampai University of Vienna.
Editor: Windu Jusuf