tirto.id - Ketika wabah SARS-CoV-2 semakin menyebar secara masif, Taiwan menjadi salah satu negara yang diprediksi akan memiliki jumlah kasus corona yang tinggi seperti negara lain di sekitar Cina. Namun Taiwan tidak memiliki lebih dari 500 kasus terkonfirmasi COVID-19 hingga Rabu (24/4/2020) menurut akumulasi data Worldometers dilansir Tirto pukul 17.06 WIB.
Negara yang berbatasan langsung dengan Cina, asal wabah ini bermula, hanya memiliki 426 kasus dengan angka kematian yang rendah yakni 6 kasus. Sementara itu, sebanyak 236 orang telah dinyatakan sembuh. Hingga hari ini, Taiwan memiliki 184 kasus Corona COVID-19 yang masih aktif dan melakukan perawatan.
CNN mewartakan gerakan cepat telah dilakukan Taiwan sejak awal untuk mencegah virus masuk ke negara mereka. Terlebih, pengalaman mereka saat menghadapi wabah SARS yang parah pada tahun 2003 lalu mengajarkan untuk menangani bahaya pandemi ini dengan lebih serius.
Kontrol perbatasan dan kebijakan kesehatan termasuk pemakaian masker dengan cepat dilakukan dan menjadi rutinitas sejak awal Januari lalu di berbagai daerah di Taiwan. Di sisi lain, mereka juga memiliki sistem perawatan berkelas dunia.
Menurut laporan dalam Journal od American Medical Association (JAMA), para pejabat di Pusat Komando Kesehatan Nasional (NHCC) Taiwan bergerak cepat untuk menanggapi potensi ancaman pandemi COVID-19.
"Taiwan dengan cepat menghasilkan dan menerapkan daftar sedikitnya 124 item tindakan dalam lima minggu terakhir untuk melindungi kesehatan masyarakat," lapor rekan penulis Jason Wang, seorang dokter Taiwan dan profesor pediatri di Stanford Medicine, dikutip dari CNN.
"Kebijakan dan tindakan melampaui kontrol perbatasan karena mereka mengakui bahwa itu tidak cukup.”
Bahkan, berbagai kebijakan untuk menanggulangi wabah tersebut diberlakukan saat negara-negara lain sedang memperdebatkan apakah harus dilakukan penanggulangan.
Beberapa kebijakan tersebut salah satunya adalah pemberlakuan larangan perjalanan dari negara dengan kasus COVID-19 terbanyak kala itu yakni Cina, Hong Kong, dan Makau. Kebijakan tersebut berlaku segera setelah jumlah kasus virus SARS-CoV-2 mulai meningkat di daratan Cina.
Di sisi lain, pemerintah Taiwan juga mulai menjatah pasokan masker yang ada untuk mengantisipasi tingginya permintaan masker. Pada akhir Januari, masyarakat Taiwan dapat pergi ke apotek atau toko obat yang telah ditunjuk oleh pemerintah. Masyarakat Taiwan diperkenankan membeli masker dalam jumlah tertentu dengan berbaris antri.
Profesor kesehatan masyarakat di Oregon State University di AS, Chunhuei Chi, mengatakan bahwa kebijakan ini juga telah diterapkan di negara-negara lain seperti Korea Selatan dan Perancis, sebagaimana ditulis dalam DW.
"Taiwan meningkatkan kekuatan sektor manufakturnya dan menginvestasikan sekitar 6,8 juta dolar AS untuk menciptakan 60 lini produksi masker baru," kata Chi.
Adanya investasi ini meningkatkan kapasitas produksi harian Taiwan dari 1,8 juta masker menjadi 8 juta masker. Di samping itu, untuk membantu petugas medis mengidentifikasi dan melacak pasien yang diduga dan individu yang beresiko tinggi, pemerintah Taiwan telah memanfaatkan teknologi data dengan optimal.
"Mereka dapat melacak orang-orang dengan telepon mereka, yang memungkinkan mereka memastikan semua orang yang seharusnya menjalani karantina 14 hari wajib dan tidak melanggar peraturan dengan menyelinap keluar dari lokasi karantina mereka,” ungkap Dr. Jason Wang ahli kebijakan kesehatan masyarajat di Universitas Standford AS.
Pemerintah Taiwan juga memberikan dukungan bagi mereka yang dikarantina dengan memberikan perlengkapan dasar seperti makanan atau buku. Pemerintah Taiwan juga meluncurkan program kesejahteraan yang memberikan tunjangan harian sebesar 30 dolar AS bagi mereka yang terkena karantina selama periode dua minggu.
Mengatasi penyebaran virus yang sejalan dengan masifnya penyebaran informasi yang tidak benar, Taiwan FactCheck Center, sebuah organisasi nirlaba yang berfokus pada pembongkaran disinformasi di Taiwan, dengan cepat memberi tahu masyarakat umum tentang kampanye disinformasi ini.
"Gelombang kampanye disinformasi ini adalah vektor baru sebagai bentuk serangan lama, menggunakan krisis kesehatan sebagai cara baru menyerang Taiwan," kata Nick Monaco, direktur lab intelijen digital di Institute for the Future.
Monaco mengatakan bahwa komunikasi yang transparan antara pemerintah dan masyarakat sipil di Taiwan membantu menangkal kampanye disinformasi.
Peningkatan aspek pengetahuan juga dilakukan dengan meningkatkan investasi pada penelitian terkait pandemic COVID-19 ini. Para peneliti Taiwan telah bekerja untuk memproduksi alat tes cepat untuk COVID-19 ini.
DW mewartakan tim peneliti di Taiwan Academia Sinica berhasil membuat dan menguji antibodi yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi protein yang menyebabkan coronavirus. Dengan adanya hal tersebut, tes secara cepat dapat dilakukan secara singkat yakni hanya dalam waktu 20 menit.
Sementara itu, Taiwan juga telah berbagi strategi pencegahan epidemi mereka dengan negara-negara lain melalui tele-konferensi, dan membantu negara-negara yang tidak memiliki kemampuan medis canggih untuk memproses sampel dari pasien.
Meski kasus COVID-19 di Taiwan masih tergolong rendah dibandingkan dengan negara-negara lain, kewaspadaan pemerintah Taiwan terhadap ancaman infeksi pandemi tersebut masih terus dilakukan.
Menteri kesehatan, Chen Shih-chung, mengatakan penularan komunitas tidak dapat dihindari dan Taiwan perlu dipersiapkan, mengutip Guardian. Chan dari Universitas Nasional Taiwan, juga menyetujui bahwa lebih banyak upaya yang harus dilakukan, termasuk pengujian yang lebih luas dan efisien untuk COVID-19.
Korea Selatan, negara dengan jumlah penduduk 51,8 juta, melakukan sekitar 15.000 tes sehari dan memiliki pusat tes secara drive-thru. Sementara Taiwan, dengan populasi hampir 24 juta, saat ini hanya melakukan sekitar 800 tes dalam sehari dan tidak semua orang di bawah karantina diuji.
Akan ada semakin banyak kasus yang dikonfirmasi karena AS dan negara-negara lain melakukan lebih banyak tes, tambah Chan.
Penulis: Dinda Silviana Dewi
Editor: Yantina Debora