Menuju konten utama

Berulang Kali Diprotes, Sertifikasi Penceramah Kemenag Jalan Terus

Kemenag mau menyertifikasi penceramah sejak tahun lalu. Kini sepertinya program bakal terealisasi meski dikritik banyak pihak.

Berulang Kali Diprotes, Sertifikasi Penceramah Kemenag Jalan Terus
Menteri Agama Fachrul Razi membacakan laporan Kementerian Agama pada rapat kerja dengan Komisi VIII DPR di kompleks Parlemen, Jakarta, Kamis (18/6/2020). ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja/aww.

tirto.id - Rencana Kementerian Agama (Kemenag) menyertifikasi penceramah dikritik banyak pihak. Mereka menilai rencana itu tak perlu diwujudkan.

Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat (Bimas) Islam Kemenag Kamaruddin Amin mengatakan akan menggandeng Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhanas), Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), dan Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam program ini. Kemenag akan bertindak sebagai koordinator dan fasilitator.

Kamaruddin mengatakan sertifikasi penceramah berbeda dengan sertifikasi dosen dan guru. “Kalau guru dan dosen itu, jika mereka sudah tersertifikasi, maka harus dibayar sesuai standar yang ditetapkan,” ujar Kamaruddin dalam keterangan tertulis, Senin (7/9/2020). Sementara program mereka “sertifikasi biasa yang tidak berkonsekuensi apa-apa.”

Penceramah yang tidak tersertifikasi tetap diperbolehkan berdakwah. “Ini hanya kegiatan biasa yang ingin memberikan afirmasi kepada penceramah kita, ingin memperluas wawasan mereka tentang agama dan ideologi bangsa. Jadi ini bukan sertifikasi, tapi penceramah bersertifikat,” ujarnya. Sertifikasi penceramah bertujuan untuk meningkatkan kapasitas 50 ribu penyuluh dan 10 ribu penghulu dalam hal keilmuan soal zakat, wakaf, dan moderasi beragama.

Menteri Agama Fachrul Razi mengatakan akan memulai program penceramah bersertifikat bulan ini. “Tahap awal, kami cetak lebih kurang 8.200 orang,” ujar Fachrul saat webinar Strategi Menangkal Radikalisme pada Aparatur Sipil Negara (ASN), Rabu (2/9/2020).

Menurut Ketua PP Muhammadiyah Dadang Kahmad, “kalau tidak ada konsekuensinya [bagi penceramah non-PNS tidak bersertifikat], ya tidak usah disertifikasi,” ujarnya kepada reporter Tirto, Senin (7/9/2020). Sebab, “dalam Islam itu tausiyah kewajiban melekat bagi setiap muslim.”

Menurutnya, sertifikasi hanya cocok diberlakukan untuk para penceramah, penyuluh agama, atau tokoh agama berstatus PNS karena mereka dibayar negara.

Hal serupa dikatakan Ketua Umum PA 212 Slamet Maarif. Menurutnya, hal tersebut “lebih banyak mudaratnya daripada manfaatnya.” Menurutnya penceramah di Indonesia dalam kondisi baik-baik saja. Menjadi tidak baik sejak “rezim sekarang berkuasa.” “Ulama mulai dipecah belah dan dikotak-kotakan. Politik belah bambu terhadap ulama diterapkan. Satu diinjak, satu diangkat,” katanya kepada reporter Tirto, Senin.

Ia menyarankan agar Kemenag merangkul dan mengayomi setiap ulama, serta tak terlalu menaruh kecurigaan tinggi terhadap mereka yang berbeda pandangan dengan negara. “Ingat, pengakuan ulama dari dulu itu dari masyarakat, bukan pemerintah,” ujarnya.

Sekretaris Jenderal MUI Anwar Abbas secara pribadi juga menentang program Kemenag. Bahkan ia bersedia mundur dari jabatannya di MUI apabila Kemenag bersikeras mewujudkan sertifikasi penceramah.

“Bila hal ini terus dilaksanakan dan teman-teman saya di MUI menerimanya, maka begitu program tersebut diterima oleh MUI, ketika itu juga saya tanpa kompromi menyatakan mundur sebagai sekjen,” ujarnya dalam keterangan tertulis.

Penolakan Anwar Abbas didasari ketidaksepakatan dirinya terhadap cara pandang Kemenag yang selalu menyinggung isu radikalisme. Hal itu ia anggap sebagai upaya menyudutkan umat Islam dan para dainya.

Sementara Direktur Riset Setara Institute Halili Hasan mengatakan “sertifikasi bukan pendekatan yang tepat untuk seluruh konteks.”

Ia tahu bahwa program ini adalah cara “pemerintah menangani radikalisme.” Ia pun sepakat dengan gagasan perang melawan radikalisme. Namun yang pertama-tama harus dilakukan adalah pendekatan hukum. “Misal, kalau terjadi dalam konteks pemilu atau pilkada, ya perangkat dan instrumen pemilu yang harus bekerja.”

Isu ini sempat muncul tahun lalu. Sejak itu pula kritik bermunculan dan akhirnya tak ada realisasi berarti. Kini, meski tetap dikritik, Menag sepertinya tak bakal balik kanan.

“Ada gesekan, tidak setuju, tidak masalah. Kami lanjut,” ujar Fachrul.

Baca juga artikel terkait MENAG FACHRUL RAZI atau tulisan lainnya dari Alfian Putra Abdi

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Alfian Putra Abdi
Penulis: Alfian Putra Abdi
Editor: Rio Apinino