Menuju konten utama

Berteriak di Telinga Koruptor

Korupsi adalah momok mengerikan bagi Indonesia. Menurut hasil penelitian Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada (UGM), total kerugian negara akibat korupsi dalam rentang tahun 2001 hingga 2015 mencapai Rp203,9 triliun. Untuk mencegah ini, berbagai kalangan turun memprotes tindakan busuk para koruptor, termasuk para musisi yang berteriak melalui musik.

Berteriak di Telinga Koruptor
Grup band Slank beraksi saat konser di halaman Gedung KPK, Jakarta. [ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A]

tirto.id - "Hukum adalah lembah hitam, tak mencerminkan keadilan, pengacara juri hakim jaksa, masih ternilai dengan uang... maling-maling kecil dihakimi... maling-maling besar dilindungi"

Itulah sepenggal lirik lagu “Hukum Rimba” yang diteriakkan Marjinal ketika memprotes Revisi UU Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di depan gedung KPK, 17 Februari silam. Protes band Punk asal Jakarta ini dilakukan menyusul reaksi banyak pihak yang menentang agenda tersebut. Revisi itu dinilai mengancam kinerja lembaga anti rasuah yang sudah memberantas korupsi sejak 2002 lalu.

Menurut KPK, beberapa poin revisi berpeluang melemahkan kinerja lembaganya. Salah satunya adalah pencabutan kewenangan penyadapan yang telah menjadi senjata ampuh dalam membongkar skandal korupsi, terutama kasus suap. Penyadapan terbukti efektif dalam membongkar banyak kasus.

Grup musik lain yang turut bersuara adalah Slank. Band yang bermarkas di Jalan Potlot ini pun mengajak para penggemarnya meneriakkan lagu “Seperti Para Koruptor” guna memprotes revisi UU KPK serta menyemangati para personil KPK dalam memberantas korupsi.

“Slank di sini ingin menegaskan bahwa Slank tetap sama, yakni mendukung dan membela apa yang dikerjakan KPK. Let’s rock and roll,” ujar sang vokalis Kaka di depan gedung KPK dikutip dari kpk.go.id.

Bukan sekali ini saja musik dijadikan media melawan korupsi. Pada peringatan hari anti korupsi sedunia Desember 2014 lalu, sejumlah musisi ternama terlibat dalam konser Festival Anti Korupsi, antara lain, Gigi, Superman Is Dead, Jogja Hiphop Foundation dan Shaggy Dog.

Puncak perayaan Hari Anti-korupsi yang digelar di Stadion Kridosono Yogyakarta ini mengusung tema Gropyokan Korupsi. Gropyokan adalah istilah bahasa Jawa yang biasanya dipakai untuk memburu hama tikus di persawahan secara bersama-sama.

Mereka pun mengadakan pawai yang diikuti sekitar 1.500 peserta dengan mengarak boneka tikus raksasa setinggi 3,5 meter yang mengenakan jubah lembaran "uang" pecahan Rp100.000 menuju Stadion Kridosono.

Selain Slank, musisi besar lain yang bersuara soal korupsi adalah Iwan Fals. Ia bahkan meminta pimpinan KPK non aktif Abraham Samad dan Bambang Widjojanto untuk membuatkannya syair kala lembaga tersebut mengalami persoalan.

"Waktu itu saya datang ke KPK ingin tahu persoalan yang terjadi. Saya kesal sama korupsi tetapi saya enggak ngerti persoalan korupsi. Makanya saya minta buatkan syair (pada Samad dan Bambang)," kata Iwan Fals kepada Antara.

Syair milik Samad berjudul "Kalau Takut Jangan". Sementara syair ciptaan Bambang berjudul "Lawan Korupsi". Kedua lagu tersebut dinyanyikan Iwan dalam konser "Untukmu Indonesia" di Istora Senayan, Jakarta akhir 2015 lalu.

Seperti ingin melibatkan para musisi melawan tindakan rakus para koruptor, LSM pemerhati korupsi, Indonesia Corruption Watch pernah membuat album berjudul “Frekuensi Perangkap Tikus” yang menggandeng 10 musisi indie, antara lain, Navicula, Morfem, Iksan Skuter, Eyefeelsix feat Morgue Vanguard, dan masih banyak lagi.

Navicula dengan lagu “Mafia Hukum” secara tegas memperingatkan betapa berbahayanya lingkaran para koruptor. “Mau lawan mereka, hati-hati saja, karena mereka dijaga buaya, buaya-buaya piaraan mafia, mafia-mafia isinya pengusaha, pengusaha-pengusaha kongsi dengan penguasa, walau sudah kaya, masih kurang juga, hukum direkayasa hanya buat yang kaya, yang jadi korbannya rakyat jelata.”

Tidak hanya musisi besar, KPK pun pernah menggandeng musisi-musisi lokal guna berpartisipasi dalam melawan korupsi dengan menggelar Festival Lagu Anti Korupsi bertajuk “Suara Anti Korupsi (Saksi)”

"Siapa saja bisa berperan dalam barisan bangsa ini untuk melawan korupsi dengan banyak cara, salah satunya melalui musik," kata Kepala Bagian Pemberitaan dan Publikasi KPK, Priharsa Nugraha.

Perlawan di Negara Lain

Penggunaan musik sebagai salah satu media melawan korupsi tidak hanya terjadi di Indonesia. Di berbagai negara, hal ini juga marak terjadi, salah satunya Uganda.

Setelah menerima pelatihan dari LSM Public Affairs Centre (PAC), artis dan musisi lokal di wilayah Teso, Uganda menggunakan ketrampilan mereka untuk memberdayakan masyarakat melawan korupsi. PAC melatih 25 musisi lokal dan membuat lagu yang mengkritisi kebobrokan praktik korupsi pemerintah. Lagu tersebut diputarkan di radio lokal setempat.

Dikutip dari The Guardian, Direktur Eksekutif PAC di Uganda, Benson Ekwee, mengatakan, sejak puluhan tahun musik lokal telah membentuk opini publik tentang isu-isu yang dinilai dapat mengancam moral masyarakat. Inilah yang kemudian dimanfaatkan PAC untuk melawan korupsi.

Tidak hanya musik, seniman lokal ternama, Johnson Otinga, juga menggunakan teater terbuka untuk mendidik masyarakat melawan korupsi. Otinga menampilkan masalah-masalah sosial di masyarakat, seperti kebersihan yang buruk, pekerjaan umum jelek, korupsi dan lain-lain.

Di akhir kesempatan, Otinga selalu meminta warga untuk mengidentifikasi masalah serupa di setiap desa masing-masing. Ia meminta warga untuk mengaplikasikan pertunjukan teaternya ke kehidupan sehari-hari.

Selain Uganda, beberapa musisi Reggae asal Nigeria seperti Ras Kimono, Orits Wiliki dan Victor Essiet juga telah memberikan dukungan mereka untuk kampanye anti-korupsi.

Essiet mengatakan mereka adalah musisi Reggae yang memulai perang melawan korupsi dan menantang para menteri baru untuk merealisasikan janji mereka.

Musisi Nigeria lain yang lantang menyuarakan korupsi di daerahnya adalah Ado Dahiru Daukaka. Ia bahkan sempat diculik setelah merilis lagu “Gyara Kayanka” yang mengkritik anggota parlemen lokal dari partai berkuasa Presiden Muhammadu Buhari melakukan korupsi.

Pihak keluarganya mengaku, bahwa Ado Dahiru memang menjadi target pencarian. "Hal ini jelas, kepergiannya adalah penculikan oleh beberapa kepentingan yang marah oleh lagu terbarunya yang terkena korupsi di kalangan legislator," kata Atiku Mustapha AFP kepada punchng.com.

"Kami percaya bahwa mereka menculiknya sebagai peringatan bagi kritikus lain seperti dia. Mereka hanya ingin memberangus kritik," lanjut Mustapha.

Mengapa Musik ?

Musik memang dapat menembus banyak dimensi dalam kehidupan manusia, hal tersebut dapat dilihat dari banyaknya musisi yang berkontribusi melawan korupsi. Mengapa musik menjadi media efektif penyampaian pesan?

Dalam bukunya yang berjudul “Psikologi Musik”, Djohan, seorang dosen pascasarjana ISI mengatakan, musik adalah sarana untuk mengungkapkan perasaan. Di sisi lain, musik juga mampu untuk menggugah pendengarnya. Musik bekerja melalui gelombang vibrasi yang menggetarkan selaput telinga, gelombang vibrasi itu akan menyebar dari telinga menuju pusat auditori otak. Untuk itu, musik diakui mempunyai kekuatan untuk menggugah emosi.

Selain itu, musik juga memberikan manfaat langsung dengan organisasi sosial dan memiliki kualifikasi untuk menyatukan energi dalam masyarakat. Bila mencermati berbagai suku prasejarah, maka kita akan menemukan musik mampu menjadi media untuk mempromosikan identitas kelompoknya. Musik juga mampu mengikat rasa kebersamaan dan semangat. Misalnya penggunaan musik yang kerap dijadikan media untuk memberikan semangat keberanian menuju medan perang.

Musik diakui dapat menjadi perantara menyampaikan perasaan dan membangkitkan serangkaian emosi. Kekuatan musik dapat ditemukan pada kemampuannya yang mampu menyentuh emosi paling lembut seperti gembira, sedih, marah, takut, dan lain-lain.

Hal itulah yang membuat musik tidak pernah berhenti memberikan sumbangan dalam berbagai aspek kehidupan manusia, termasuk mengganggu tidur para koruptor.

Baca juga artikel terkait KORUPSI atau tulisan lainnya dari Alexander Haryanto

tirto.id - Musik
Reporter: Alexander Haryanto
Penulis: Alexander Haryanto
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti