tirto.id - Sebelum candu kopi dan memasuki dunia padat aktivitas, saya jarang sekali tidur di atas pukul 23.00. Orangtua pun membiasakan saya untuk tidur awal secara teratur supaya bisa bangun dengan segar pada pagi harinya.
Katanya, kebiasaan bangun pagi membuat badan lebih sehat dan pikiran tak bakal mandek ketika menjalani aktivitas sepanjang hari. Namun, terima kasih pada perkenalan awal saya dengan Piala Dunia pada 2006, serentetan tugas sekolah, ujian, dan tugas kuliah pada tahun-tahun berikutnya, saya pun perlahan bertransformasi menjadi ‘manusia kalong’.
Kegandrungan terhadap permainan di komputer serta ajakan berkumpul untuk sekadar mengobrol atau makan-minum dari teman-teman selepas kerja juga berkontribusi terhadap kebiasaan saya untuk tetap terjaga sampai ayam tetangga piket berkokok.
Kini, di tengah lingkaran teman-teman yang biasa bekerja sejak pagi hingga petang, saya adalah minoritas lantaran sering baru terbangun sekitar pukul 09.00. Itu pun berkat gonggongan anjing-anjing saya yang mendesak minta main dan minta sarapan.
Beberapa menyarankan saya untuk mulai ‘hidup sehat’ dengan teratur tidur sebelum pukul 12.00, persis anjuran Bapak-Ibu semasa saya bocah. Macam-macam kejelekan dari kebiasaan tidur pada larut malam atau bahkan dini hari mereka paparkan kepada saya. Buat sebagian orang, menjadi tukang bergadang adalah momok, sementara para ‘manusia pagi’ dipandang lebih tinggi derajatnya.
Bahkan dulu, saya suka mendengar ujaran dari para saudara, “Anak perawan nggak pantas bangun siang-siang,” untuk mengkritik kebiasaan tidur perempuan-perempuan gemar bergadang macam saya.
Sekali dua kali, tebersit di kepala saya untuk melakukan sugesti teman-teman tadi. Namun, cuma seumur jagung saya mampu kembali menjadi manusia pagi. Perasaan bersalah terhadap diri sendiri karena tak mampu memelihara tubuh pun terkadang muncul.
Perasaan bersalah yang dihadapi para tukang bergadang seperti saya, seharusnya tidak berlebihan. Sejumlah riset ternyata menunjukkan ada beberapa keuntungan dari kebiasaan orang tidur larut. Salah satunya riset yang dilakukan oleh Gale dan Martyn.
Gale dan Martyn (1998) adalah para periset yang penelitiannya berangkat dari ujaran populer Benjamin Franklin, “cepat tidur dan bangun lebih pagi membuat seseorang lebih sehat, makmur, dan bijaksana.” Ingin menguji validasi asumsi Franklin, mereka pun melakukan studi terhadap 1229 responden yang terdiri dari manusia pagi dan tukang bergadang. Hasilnya, mereka tak menemukan bukti bahwa kebiasaan bangun pagi berelasi dengan kesehatan, kondisi sosial ekonomi, serta kemampuan kognitif seseorang.
Menariknya, Gale dan Martyn juga menemukan bahwa tukang bergadang justru cenderung berpotensi meraih pendapatan lebih tinggi. Membaca hasil studi ini, dapat diasumsikan bahwa mereka yang gemar bergadang memanfaatkan waktu lebih pada malam hari untuk lebih produktif, entah itu dengan belajar, berkarya, atau meneruskan tugas-tugas kantor yang pada akhirnya mendorong performa dan prestasi mereka.
Sementara psikolog Richard Roberts dari University of Sydney dan Patrick Kyllonen dari Air Force Research Lab menemukan dalam penelitian mereka bahwa ketika diberikan beberapa tes kecerdasan, skor para tukang bergadang sedikit mengungguli manusia-manusia pagi untuk mayoritas tes. Di samping itu, Roberts dan Kyllonen juga menemukan perbedaan signifikan dari kecepatan kerja memori dari kedua tipe responden mereka.
Dalam situs Health Nut News, Erin Elizabeth mengutip berbagai hasil penelitian yang menunjukkan macam-macam keuntungan menjadi tukang bergadang. Studi dari Catholic University of the Sacred Heart, Milan, misalnya, menyatakan tukang bergadang memiliki kecenderungan lebih kreatif .
Sementara, penelitian dari University of Madrid yang mengobservasi 1000 remaja mengindikasikan para tukang bergadang berkemampuan logika lebih baik dibanding manusia-manusia pagi. Studi lain yang datang dari The University of Leige, Belgia, menunjukkan bahwa manusia pagi cenderung lebih cepat lelah mentalnya dibanding tukang bergadang.
Saat diberikan serangkaian tes 10,5 jam setelah kedua tipe responden terbangun, tukang bergadang tampak siaga lebih lama daripada manusia pagi. Satu lagi, dikutip dari NYMag, berdasarkan studi dari University of Westminster, Inggris, manusia pagi yang bekerja lebih dini dari pukul 7.21 condong memiliki level kortisol—hormon yang diasosiasikan dengan stres—yang lebih tinggi dan terus meningkat seiring berjalannya hari.
Boleh-boleh saja berita ini jadi kabar baik dan justifikasi buat tukang-tukang bergadang, termasuk saya. Namun, yang mesti diingat adalah tak melulu kegiatan dalam keseharian dan dunia profesional sejalan dengan jam biologis para manusia kalong.
Fleksibilitas yang disertai pemeliharaan stamina tetap jadi yang utama. Tak lupa, waktu terjaga sampai lewat tengah malam sepatutnya diisi dengan aneka aktivitas produktif atau penuh guna bagi seseorang supaya ujaran "bergadang boleh bergadang karena ada artinya" dapat diamini.
Penulis: Patresia Kirnandita
Editor: Patresia Kirnandita