Menuju konten utama

Berdamai dengan Penyakit Seribu Wajah

Didiagnosis lupus bukanlah akhir dari segalanya. Para penderita lupus masih bisa menjalani hidup seperti orang-orang yang tak memiliki masalah dengan sistem imunnya.

Berdamai dengan Penyakit Seribu Wajah
Tangan memegang pita ungu, salah satu simbol untuk memperingati Hari Lupus Sedunia. Getty Images/iStockphoto

tirto.id - Dua tahun lalu, Moses Runtuwene didiagnosis menderita autoimun dengan potensi lupus. Moses tinggal di Bogor dan usianya 31 tahun waktu itu. Diagnosis lupus didapat Moses setelah berganti-ganti dokter. Awalnya ia merasakan pusing, lemas, rasa sakit di sekujur badan, dan sering mimisan.

Saat diperiksa ke salah satu dokter di Bogor, ia didiagnosis gejala tipus. Tak mudah percaya dengan diagnosis itu, Moses dibawa oleh kakaknya ke rumah sakit di Jakarta. Darah dan organ tubuhnya diperiksa dan semuanya dalam kondisi baik-baik saja. Trombosit, hemoglobin, dan tekanan darahnya normal. Fungsi organ vital seperti jantung, hati, dan yang lainnya juga tak bermasalah.

“Biasanya, kalau semua baik, tetapi kondisi pasien buruk, kemungkinan besar urusannya sama sistem imun,” ujar sang dokter kepada Moses seperti ditirukannya kepada Tirto, Selasa (9/5).

Moses lalu menjalani tes Antinuclear Antibody (ANA Test), sebuah tes laboratorium khusus untuk mengetahui sistem imun. Saat itu, ANA Profile Moses positif. Dia terbukti menderita autoimun dengan potensi Systemic Lupus Erythematosus (SLE) atau yang lebih dikenal dengan Lupus.

Mendengar itu, Moses frustasi dan beberapa kali ingin bunuh diri. Ia mengibaratkan tubuhnya waktu itu seperti ponsel yang baterainya soak. Sehari saja beraktivitas, ia butuh istirahat tiga hari. Waktu itu, dia berpikir tak akan bisa melakukan apa-apa lagi di hidupnya.

Namun, dukungan dari orang-orang terdekat membuat Moses percaya dia masih bisa melakukan banyak hal. Setelah istirahat penuh dan rutin minum obat, penyakit yang diidap Moses mulai bisa dikontrol, tubuhnya mulai bisa beraktivitas.

Sejak tahun lalu, Moses sudah aktif bekerja lagi sebagai fasilitator. Saat bekerja, ia tak tampak seperti orang yang sedang sakit. Kondisi fisiknya tak sesehat dahulu memang. Dia tak bisa terkena sinar matahari yang terlalu terik. Tubuhnya juga lebih gampang lelah. Sabtu pekan lalu kondisinya sempat menurun karena Selasa sampai Jumat bekerja seharian. Badannya sakit, kepalanya pusing, ia bahkan kesulitan berjalan. Tetapi saat wawancara dengan Tirto berlangsung, kondisinya membaik. Hanya pusing di kepalanya yang belum benar-benar hilang.

Di Indonesia, Yayasan Lupus Indonesia menyebutkan ada 12.700 orang dengan lupus pada 2012. Jumlah ini meningkat menjadi 13.300 jiwa pada 2013. Belum ada data terbaru tentang ini.

Lupus Foundation of America mengestimasikan ada sekitar lima juta orang di dunia yang menderita lupus. Moses adalah salah satu di antaranya. Selain Moses, Shahnaz Asnawi Yusuf, perempuan berusia 27 tahun asal Medan juga didiagnosis lupus tahun lalu. Shahnaz melalui proses sekitar tiga bulan sampai ia benar-benar tau diagnosis penyakit yang dideritanya.

Shahnaz sempat bekerja sebagai wartawan di Jakarta. Saat kondisi tubuhnya menurun dan berobat ke rumah sakit, ia sempat didiagnosis tipus. Lalu, pernah juga didiagnosis thalasemia. Lupus memang menunjukkan gejala-gejala menyerupai penyakit lain, sehingga mendiagnosisnya dianggap sulit, apalagi jika dokter yang menangani tidak terbiasa dengan pasien lupus.

Infografik Hidup Dengan Lupus

Tahun lalu, kondisi fisik Shahnaz memang benar-benar parah, bahkan untuk berlama-lama duduk dan menatap layar monitor saja dia tidak kuat. Matanya sering kering, lututnya sakit. Lupus yang dideritanya menyerang kelenjar.

Pernah suatu kali Shahnaz terbangun tengah malam dan merasakan matanya sangat kering sehingga sakit ketika kelopak matanya ditutup. Waktu itu, dia belum mendapat informasi soal tear subtitute, cairan pengganti air mata. Jadi, dia berusaha keras agar bisa menangis sehingga matanya basah. Dia mengambil bawang, tetapi tidak mempan. Dia lalu mencoba meneteskan cairan soft lens, tetapi tak dirasakan apa-apa di matanya.

Kini, kemanapun ia pergi, Shahnaz membawa tear subtitute. Dia juga selalu membawa jaket, masker, dan payung. Saat ini lupus Shahnaz sedang tidak aktif, dan ia harus terus menjaganya demikian. Ia masih rutin meminum obat meskipun dosisnya sudah jauh berkurang dibandingkan tahun lalu. Dia juga pantang makan terigu dan makanan apapun yang mengandung susu.

Menurut situs resmi Lupus Foundation of America, lupus adalah penyakit inflamasi kronis yang disebabkan oleh sistem kekebalan tubuh yang keliru sehingga mulai menyerang jaringan dan organ tubuh sendiri. Inflamasi akibat lupus dapat menyerang berbagai bagian tubuh, termasuk jantung, kulit, sendi, sel darah, paru-paru dan yang lainnya.

Moses dan Shahnaz pernah terpuruk dengan kondisi tubuhnya yang melemah. Tetapi, saat ini keduanya sudah jauh membaik. Mereka sudah bisa bekerja dan menikmati liburan. Awal tahun ini, Shahnaz nekad ke pantai meski ia harus pakai payung, jaket, dan masker agar tak terpapar terik matahari.

Di Indonesia, ada banyak sekali komunitas yang mengumpulkan orang-orang dengan lupus untuk saling berbagi informasi dan memberikan semangat. Yayasan Lupus Indonesia, salah satunya. Ketua yayasan ini, Tiara Savitri adalah juga penderita lupus. Anak laki-laki Tiara juga mengidap lupus. Namun, penyakit itu tak menghambat keduanya untuk terus menjalani hidup. Ibu dan anak itu, bersama anggota YLI lainnya bahkan pernah mendaki pegunungan Himalaya.

Menurut Tiara, yang paling penting dari hidup dengan lupus adalah menerima penyakit itu, tetapi tetap menjaga semangat hidup. Dia percaya, keseimbangan antara pengobatan medis dan pola hidup sehat bisa membuat orang dengan lupus menjalani hari tanpa merasakan sakit. Selamat Hari Lupus Sedunia!

Baca juga artikel terkait LUPUS atau tulisan lainnya dari Wan Ulfa Nur Zuhra

tirto.id - Kesehatan
Reporter: Wan Ulfa Nur Zuhra
Penulis: Wan Ulfa Nur Zuhra
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti