Menuju konten utama
Edusains

Mitos Helm Viking Bertanduk yang Dilanggengkan Budaya Pop

Di layar lebar, kita sering melihat gambaran sosok Viking yang mengenakan helm bertanduk. Namun, apakah gambaran tersebut benar berdasarkan sejarah?

Mitos Helm Viking Bertanduk yang Dilanggengkan Budaya Pop
Ilustrasi Viking. FOto/iStockphoto

tirto.id - Sosok tinggi besar, janggut lebat, wajah garang, dan mengenakan helm bertanduk. Barangkali begitulah gambaran banyak orang ketika membayangkan sosok seorang Viking.

Gambaran demikian memang telah dipopulerkan melalui berbagai produk budaya populer, mulai dari kartun Looney Tunes, ketika Elmer Fudd menjelma sosok Viking dalam episode "What's Opera, Doc?", sampai karakter-karakter Asgardian—Odin, Thor, Loki, dll.—dalam komik terbitan Marvel. Tanpa helm bertanduk, seolah penggambaran seorang Viking belum lengkap.

Harus diakui bahwa helm bertanduk merupakan salah satu ciri khas paling ikonik dari penggambaran sosok Viking dalam budaya populer. Akan tetapi, tahukah Anda bahwa itu semua hanyalah rekayasa belaka?

Kenyataannya, tidak pernah ada Viking yang mengenakan helm bertanduk sebagaimana gambaran di film-film, komik-komik, atau kartun-kartun. Lantas, bagaimana ceritanya sampai-sampai hoaks semacam ini justru bisa menjadi bagian paling ikonik dalam depiksi karakter Viking tersebut?

Fakta Arkeologis Helm Viking

Zaman Viking berlangsung sekitar tahun 800 hingga 1100 Masehi. Periode ini ditandai dengan eksplorasi, perdagangan, dan invasi ke berbagai wilayah Eropa.

Ketika sudah sedemikian rupa dipengaruhi produk budaya populer, amatlah mudah kita membayangkan orang-orang Viking melakukan invasi dengan mengenakan helm bertanduk sembari berseru lantang.

Namun, citra tersebut tidaklah konsisten dengan temuan arkeologis selama ini. Artefak-artefak sejarah tentang Viking yang telah ditemukan sama sekali tidak menunjukkan keberadaan helm bertanduk. Alih-alih begitu, orang Viking biasanya malah mengenakan helm sederhana dan praktis yang terbuat dari perpaduan besi dan kulit. Fungsi helmnya pun simpel: melindungi kepala para prajurit dan bukan untuk menakut-nakuti musuh seperti helm para samurai di Nippon.

Penemuan yang paling signifikan terkait helm Viking adalah helm Gjermundbu, yang ditemukan di Norwegia pada dekade 1940-an. Helm tersebut, yang berasal dari sekitar abad ke-10, merupakan satu-satunya contoh helm era Viking yang ditemukan dalam kondisi utuh. Bentuknya bundar, terbuat dari besi, dan memiliki pelindung mata, tetapi tidak ada tanduk dekoratif. Karya-karya seni Zaman Viking pun biasanya cuma menggambarkan para prajurit mengenakan helm sederhana, atau bahkan tidak memakainya sama sekali.

Bahwa orang Viking tidak mengenakan helm bertanduk, sebenarnya bisa dengan mudah dipahami. Pasalnya, helm bertanduk justru bakal merugikan dalam pertempuran. Helm itu akan lebih berat dan gampang direnggut oleh musuh. Itulah mengapa orang-orang Viking, pada kenyataannya, mengenakan helm yang fungsional dan jauh lebih mudah diproduksi secara massal.

Erik the Red

Erik the Red. FOTO/Wikipedia

Muasal Mitos Helm Bertanduk

Selidik punya selidik, depiksi semacam itu baru muncul pada abad ke-19 atau nyaris satu milenium setelah Zaman Viking berakhir.

Salah satu tokoh yang paling berpengaruh dalam menyebarkan mitos ini adalah komposer Jerman, Richard Wagner. Dalam opera epiknya, Der Ring des Nibelungen, Wagner berusaha menghidupkan kembali mitologi Nordik. Seorang perancang kostum, Carl Emil Doepler, lantas menciptakan pakaian berdesain kompleks yang mencakup helm bertanduk untuk karakter-karakter "mirip" orang Viking.

Selain itu, ada pula karya-karya seniman Skandinavia, Gustav Malmström, yang menggambarkan Viking dengan helm bertanduk dalam berbagai buku dan majalah. Inspirasi Malmström berasal dari penemuan helm-helm seremonial Zaman Perunggu yang berhiaskan tanduk dan sayap.

Helm-helm bertanduk Zaman Perunggu bukanlah milik bangsa Viking. Lokasi penemuannya pun jauh lebih luas, mencakup Denmark hingga Pulau Sardinia di Italia. Helm itu juga tidak pernah digunakan untuk bertempur, melainkan hanya untuk upacara atau ritual tertentu.

"Kelakuan" seniman-seniman abad ke-19 itulah yang kemudian melahirkan imaji akan penampilan bangsa Viking dengan helm bertanduk. Namun, penggambaran itu wajar karena sebenarnya ketika itu helm Viking utuh tanpa tanduk belum ditemukan. Oleh karenanya, menjadi masuk akal apabila imaji-imaji itu sempat menjadi kebenaran yang disepakati bersama, meskipun akhirnya terbantahkan oleh bukti arkeologis konkret.

Mitos-mitos Lainnya

Sebenarnya, di samping perkara helm, ada beberapa mitos atau kesalahpahaman lain tentang Viking. Namun, sama seperti masalah helm bertanduk, miskonsepsi ini pun lagi-lagi muncul dari imaji yang dilahirkan dari berbagai karya serta penuturan yang kurang bertanggung jawab.

Pertama, soal kebersihan. Tak jarang, Viking digambarkan sebagai bangsa barbar yang jorok dan tidak mengenal grooming. Faktanya, ada banyak temuan arkeologis yang menunjukkan betapa tingginya kepedulian orang Viking pada kebersihan serta perawatan diri. Artefak sisir, pinset, sampai pisau cukur telah ditemukan di berbagai kuburan Viking, sebagaimana ditulis dalam buku Children of Ash and Elm: A History of the Vikings (2020) karya Neil Price.. Mereka tak cuma bersih, tetapi juga ingin selalu tampil menawan.

Mitos kedua adalah soal citra Viking sebagai agresor yang kejam. Viking memang kerap kali melakukan invasi ke berbagai wilayah, khususnya di Eropa. Namun, bukan berarti mereka tak berbudaya karena, di tempat asalnya, banyak dari mereka yang berprofesi sebagai petani, pedagang, dan pengrajin terampil.

Ekspedisi Viking di Eropa lebih banyak dihabiskan dengan berdagang atau sekadar melakukan eksplorasi. Bahkan, jalur perdagangan Viking membentang dari Skandinavia hingga ke Timur Tengah. Kota-kota yang dulu ramai disinggahi Viking, seperti Dublin di Republik Irlandia dan York di Britania Raya, kini menjadi kota yang berkembang pesat.

Ilustrasi Viking

Ilustrasi Viking. FOto/iStockphoto

Ada pula mitos yang menyebut bahwa serdadu Viking mengenakan kulit hewan sebagai pakaian. Padahal, sama seperti orang-orang Eropa kebanyakan, bangsa Viking mengenakan pakaian praktis yang disesuaikan dengan lingkungan, termasuk tunik wol dan celana. Saat pertempuran berlangsung, mereka juga mengenakan zirah dari rantai atau kulit, perisai bundar, serta helm sederhana seperti yang sebelumnya sudah dibahas.

Keempat, ada mitos yang menyebut bahwa hanya ada satu kelompok Viking. Faktanya, Viking berasal dari berbagai bagian Skandinavia yang termasuk wilayah dari Norwegia, Swedia, dan Denmark modern. Setiap kelompok Viking memiliki tradisi, dialek, dan sistem politik, yang berbeda. Kelompok-kelompok itu memang memiliki kesamaan satu dengan lainnya, tetapi bukan berarti mereka merupakan satu entitas utuh.

Mitos terakhir tentang Viking adalah bahwa mereka menolak kekristenan. Anggapan ini awalnya mungkin benar karena para Viking kerap kali menyerang biara-biara Katolik di Britania. Akan tetapi, dalam perkembangannya, seiring dengan makin intensnya interaksi dengan penduduk Eropa lain, banyak orang Viking dan Skandinavia yang akhirnya memeluk Kristen. Makin banyaknya orang Skandinavia yang memeluk Kristen sekaligus menjadi penanda berakhirnya Zaman Viking.

Lepas dari itu, sebenarnya istilah vikingbelum diketahui pasti muasalnya. Namun, salah satu teori yang populer menyebut, kata itu berasal dari bahasa Norse Kuno, viking yang artinya 'bajak laut'. Jika benar demikian, istilah viking semestinya cuma bisa disematkan pada mereka yang menjelajah laut, menjadi perompak, dan melakukan invasi. Sementara itu, para petani, pengrajin, dan pedagang, di Skandinavia barangkali lebih cocok disebut Norsemen atau "Orang-orang dari Utara".

Pada intinya, ceritera tentang Viking sudah kadung berkelindan begitu lama dengan sekumpulan mitos dan misinformasi. Bahkan, dengan sudah banyaknya temuan-temuan arkeologis yang membuktikan sebaliknya, berbagai informasi tak benar mengenai Viking masih sulit dienyahkan. Untuk ini, kita bisa menjadikan produk budaya pop sebagai kambing hitamnya.

Citra Viking dengan helm bertanduk, yang bertahan hingga kini, bukanlah hoaks biasa, melainkan bukti kekuatan cerita dan imajinasi budaya. Namun, yang tidak boleh dilupakan, Viking adalah orang-orang yang kompleks dan tidak bisa digeneralisasi begitu saja. Hidup mereka dibentuk oleh eksplorasi, perdagangan, dan kemampuan beradaptasi. Dengan memahami kebenaran di balik mitos-mitos ini, kita dapat menghargai warisan mereka dengan cara yang lebih bernuansa dan akurat.

Baca juga artikel terkait VIKING atau tulisan lainnya dari Yoga Cholandha

tirto.id - Mild report
Kontributor: Yoga Cholandha
Penulis: Yoga Cholandha
Editor: Fadli Nasrudin