tirto.id - Profesor Zainal Muttaqin bekerja seperti biasa pada Sabtu, 21 Maret 2020 lalu. Ia adalah dokter spesialis bedah yang praktik di RSUP Kariadi Semarang. Zainal bukan dokter khusus yang menangani pasien COVID-19.
Hari itu ia bersama bersama timnya, terdiri dari tiga peserta pendidikan dokter spesialis (PPDS), mengoperasi seorang anak penderita hidrosefalus. Operasi bedah berjalan lancar. Semua tim menjalankan standar operasional yang telah ditetapkan, termasuk menggunakan alat pelindung diri (APD) standar operasi bedah.
Sebelum operasi, pasien dicek menyeluruh dari darah hingga rontgen paru-paru. Tak ada gejala medis atau keluhan yang mengarah pada tanda-tanda terinfeksi COVID-19.
Tiga hari selepas operasi, salah satu anggota tim yang menangani pasien tersebut tiba-tiba demam. Zainal minta tiga orang tersebut diperiksa karena mengalami gejala COVID-19.
"Tanggal 24 Maret 2020 ada yang demam, diperiksa tanggal 26 Maret 2020 tiga orang. Hasilnya keluar tanggal 1 April 2020. Satu dari tiga itu positif [COVID-19]," kata Zainal kepada reporter Tirto melalui sambungan telepon, Senin (20/4/2020).
Mengetahui rekan sejawatnya positif COVID-19, Zainal meminta seluruh timnya yang belakangan disebut sebagai klaster bedah RSUP Kariadi untuk tes swab, meskipun mereka semua tak ada gejala dan sehat.
Zainal meminta agar 30 orang di-swab untuk uji laboratorium meskipun tak ada gejala COVID-19. 30 orang yang diperiksa terdiri dari PPDS, dokter, perawat dan dokter spesialis tujuh orang termasuk dirinya.
Tiga puluh orang di-swab dua kali, yakni pada 6 April dan 8 April 2020. Hasil pemeriksaan tanggal 6 keluar pada tanggal 13 April 2020. Semuanya dinyatakan negatif.
"Yang pemeriksaan pada 8 April, [hasilnya] keluar 15 April itu yang positif spesialis ada 4 orang termasuk saya. Residen 16 orang," ujar Zainal yang juga merupakan Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro Semarang itu.
Dua puluh orang yang dinyatakan positif itu 80 persen di antaranya adalah orang tanpa gejala (OTG). Semua tenaga medis, kata dia, berisiko tinggi terpapar COVID-19 tanpa gejala.
Oleh sebab itu, menurutnya, penting untuk melakukan kontak tracing dan melakukan pemeriksaan laboratorium terhadap semua tenaga kesehatan di seluruh fasilitas layanan kesehatan.
Jangan Salahkan Pasien COVID-19
Zainal bilang ia tak sepakat dengan pemberitaan media yang terkesan membesar-besarkan soal pasien yang tak jujur riwayatnya di tengah pandemi COVID-19.
Kenyataannya, kata dia, pasien memang sulit untuk mengungkap riwayatnya karena stigma terhadap pasien COVID-19 dan kondisi sosial masyarakat.
"Suasana sosial itu belum mendukung untuk mengaku. Wong ada jenazah positif COVID-19 aja ditolak kok. Jadi orang itu takut kalau diketahui sakit, karena tanpa gejala," ungkapnya.
Orang saat ini, kata Zainal, khawatir jika dia diketahui positif COVID-19 bisa ditolak masuk rumah sakit, bahkan tidak dilayani.
Seperti halnya kasus yang ia alami. Ia sebetulnya tak pernah mengetahui apakah pasien yang ia operasi itu positif COVID-19 atau tidak.
Meskipun belakangan setelah ditelusuri bahwa pasien tersebut pernah dirawat di kawasan zona merah, namun belum ada hasil laboratorium yang menunjukkan pasien tersebut positif COVID-19.
Kemungkinan terpapar bukan hanya dari pasien. Ada juga kemungkinan paparan dari orangtua pasien tersebut yang setiap saat menunggui dan secara tidak langsung kontak dengan para dokter.
Namun, lagi-lagi saat itu belum ada hasil tes yang menunjukkan orangtua pasien tersebut positif COVID-19. Setelah dirawat, pasien tersebut juga langsung kembali ke provinsi asal.
"Karena enggak ada gejala, ya kami tidak berpikir ke sana [ke arah COVID-19]. Kita enggak menyalahkan pasien," kata Zainal.
Menurut Zainal, pasien dan keluarganya memiliki ketakutan terhadap stigma sosial yang selama ini terjadi apabila mereka diketahui positif COVID-19.
Oleh sebab itu, kata dia, situasi sosial yang serba takut dan menimbulkan stigma ini yang harus diubah. Tak seharusnya ada penolakan baik jenazah atau pasien positif COVID-19 yang hendak mengisolasi diri di rumah.
Stigma Negatif Pasien COVID-19 Harus Dihapuskan
Zainal dan koleganya mengalami sendiri bagaimana stigma sosial itu membuat ketakutan. Sebelum ia dinyatakan positif COVID-19, terlebih dahulu terdapat perawatan di RSUP Kariadi yang yang jenazahnya ditolak lantaran positif COVID-19.
Tak sampai di situ, para koleganya yang saat ini menjalani isolasi bersama dirinya di Hotel Kesambi Hijau Semarang juga mendapatkan stigma negatif. Salah seorang dokter rekannya tersebut bercerita keluarganya mendapatkan penolakan dari warga.
"Dia tinggal di kompleks perumahan yang cukup elite [...] di perumahan itu tetangganya mempersoalkan. Tetangganya ribut kalau bisa jangan tinggal di sini dulu," cerita Zainal.
Akhirnya rekan seprofesinya itu membawa serta istri dan empat orang anaknya yang masih kecil ikut melakukan isolasi di tempat yang telah disediakan oleh Pemerintah Provinsi Jawa Tengah.
Rekan dokter lain juga mendapatkan perlakuan yang sama, kata Zainal. Salah satu kasus ada dokter yang melakukan isolasi mandiri di rumah yang akhirnya ditolak oleh warga.
"Ada teman kita dokter yang melakukan isolasi mandiri di rumah sudah 12 hari. Tetangganya enggak terima. Hari ke-13 diminta tetangganya untuk pergi akhirnya gabung dengan kami," ujarnya.
Ia ingin stigma sosial terhadap pasien COVID-19 di masyarakat dapat diputus. Edukasi pada masyarakat dan tindakan tegas seperti proses hukum terhadap penolak jenazah perlu dilakukan.
"Kami positif. Beri kami kesempatan untuk isolasi diri. Kami ini bukan kaya kuman yang harus dimusnahkan. Kami dokter makanya kami tahu caranya biar enggak menulari orang lain," kata dia.
57 Tenaga Medis RSUP Kariadi Positif Covid-19
Direktur Utama RSUP Kariadi Semarang Agus Suryanto menyatakan sejak Januari hingga pertengahan April 2020 terdapat 57 pegawai yang positif COVID-19. Dua di antaranya dinyatakan meninggal dunia.
"Pasien COVID-19 yang dirawat dari Januari hingga pertengahan April. Jumlah ODP itu mencapai 296 dan PDP 313. 112 orang dinyatakan positif yang di antaranya 57 itu pegawai RSUP Kariadi," kata Agus dalam keterangannya melalui video, Jumat (17/4/2020).
Untuk pegawai RSUP Kariadi yang meninggal sampai hari ini, kata Agus, ada dua orang. Satu sudah terkonfirmasi positif COVID-19. Sedangkan satu lagi masih menunggu hasil pemeriksaan.
Berdasarkan hasil tes pemeriksaan pada 14 April 2020, ada 34 pegawai yang mayoritas merupakan dokter. Ia mengoreksi adanya informasi bahwa terdapat 46 yang positif.
"Setelah kami telusur ternyata ada dua nama [yang sama] kemudian ada keluarganya pasien yang ikut dalam satu rangkaian [data]," kata dia.
Komposisi sebagian besar yang positif itu, kata Agus, orang tanpa gejala (OTG). Setidaknya, kata dia, yang positif COVID-19 ada enam dokter spesialis yang terdiri dari empat spesialis bedah syaraf dan dua masing-masing spesialis penyakit dalam dan anak.
Selain itu, ada 24 orang Peserta Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) yang 15 di antaranya merupakan PPDS bedah. Selain itu, ada enam dokter umum, dua fisioterapi satu tenaga administrasi dan satu tenaga perawat.
Berdasarkan penelusuran penyebab banyaknya dokter yang terinfeksi COVID-19 ini karena salah satu lamanya identifikasi pasien positif COVID-19. Hal ini yang terjadi pada pasien bedah.
Awalnya pasien tersebut bukan pasien COVID-19. Kemudian pasien dirawat oleh satu kelompok bedah syaraf yang ternyata pasien tersebut positif COVID-19.
Penyebab lain dokter yang terinfeksi jumlahnya meningkat, kata Agus, karena tertular dari sesama dokter.
"Selain itu, kemungkinan terjadi penularan saat penyimpanan APD kemudian penyimpanan APD pasca operasi, dll. Itu yang perlu ditingkatkan," tambahnya.
Periksa Seluruh Tenaga Medis & Buka Datanya
Ketua Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Kota Semarang Elang Sumambar mengatakan sesuai arahan Presiden, sudah seharusnya seluruh tenaga medis baik di klinik atau pun fasilitas kesehatan di tingkatan mana pun untuk dilakukan tes swab.
Berkaca dari kasus RSUP Kariadi, menurutnya, pemeriksaan harus dilakukan semakin menyeluruh.
"Supaya kita di dalam melayani juga tidak malah menjadi transmisi menulari pasien kita. Karena semakin banyak OTG," kata Elang saat dihubungi reporter Tirto, Senin (20/4/2020).
Di sisi lain, setelah dilakukan tes menyeluruh juga harus diumumkan data berapa jumlah tenaga medis yang terpapar. Hal ini, menurutnya, penting untuk orang-orang yang berada di garis depan penanganan pasien COVID-19.
"Mestinya data seperti itu dibuka saja. Nanti jadi bom waktu di belakang," kata dia.
"Jika memang ada tenaga medis yang terpapar COVID-19 ya mereka tinggal menjalankan protokol dan prosedur penyembuhannya. Itu bukan sesuatu yang aib. Itu respons yang bisa kita lakukan. Bukan jadi agen penularan tapi jadi agen yang justru penyembuhan," pungkas Elang.
Penulis: Irwan Syambudi
Editor: Maya Saputri