Menuju konten utama

Beda Sepeda Jokowi dan Sukarno

Bagi-bagi sepeda oleh Presiden Joko Widodo disebut sebagai cara mendekatkan diri kepada rakyat. Jauh sebelum Jokowi melakukan itu, Presiden Sukarno sudah lebih dulu melakukannya untuk mendengar petani Marhaein.

Beda Sepeda Jokowi dan Sukarno
Joko Widodo (kedua kiri) bersama sejumlah penggiat bersepeda, mengayuh sepeda mereka dari jalan Taman Suropati ke Balaikota, Jalan Merdeka Selatan, Jakarta, Jumat (1/11). ANTARA FOTO/Widodo S. Jusuf/ss/Spt/13.

tirto.id - Video bagi-bagi sepeda oleh Presiden Joko Widodo itu menjadi viral, 4 Mei 2016. Jokowi yang saat itu menghadiri peringatan Isra Mikraj di Pondok Pesantren Tegalrejo, Magelang, Jawa Tengah, membagi-bagikan sepeda kepada para santri. Syarat buat mendapatkan sepeda dari sang presiden adalah dengan menjawab pertanyaan.

Belakangan video bagi-bagi sepeda itu menjadi viral karena santri yang maju ke panggung, tempat Jokowi memberikan kuis, menyampaikan jawaban yang bikin orang tergelak. Saat itu, seorang santri asal Pekalongan, Muhammad Azka Fikri, diberi pertanyaan untuk menyebutkan tiga nama menteri dalam kabinet kerja.

"Tiga saja nama menteri, nama pendeknya ndak apa-apa?" ujar Jokowi.

"Nomor 1 Bu Megawati…" kata Azka, disambut gelak tawa para santri.

Ia pun melanjutkan, “Nomor dua, Ahok.” Kembali para santri tertawa riuh.

“Nomor tiga, Prabowo,” kata Azka. Sontak hadirin tambah tergelak.

Jokowi tak kuasa menahan tawa mendengar jawaban Azka. Ia lantas meminta si bocah mengambil sepeda yang telah disiapkan di samping kiri tempat Jokowi memberikan sambutan.

Sejak video itu viral, bagi-bagi sepeda oleh Presiden Joko Widodo makin dikenal. Apalagi saban bagi-bagi sepeda, ada saja jawaban aneh-aneh dan jadi viral di linimasa media sosial. Saking rutinnya bagi-bagi sepeda oleh Jokowi, ucapannya “Sudah ambil sepedanya sana” jadi bahan guyonan.

Terakhir, dua pekan lalu, 9 Maret. Jokowi mengundang Persatuan Artis Penyanyi, Pencipta Lagu, dan Pemusik Republik Indonesia ke Istana Negara. Tak ada kuis dalam acara itu. Namun saat Raisa dipanggil Jokowi, penyanyi lagu "Mantan Terindah" itu pun menanyakan kepada Jokowi tentang sepeda.

“Saya dapat sepeda, Pak?"

"Nanti semua yang maju dikasih sepeda," jawab Jokowi.

Menurut Kepala Sekretariat Presiden Darmansyah Djumala, bagi-bagi sepeda oleh Presiden Jokowi sejatinya untuk mendekatkan diri kepada masyarakat.

Anggaran buat membeli hadiah sepeda itu, kata Djumala, diambil dari dana bantuan sosial untuk presiden. “Dari APBN,” kata Djumala saat dihubungi Tirto, Kamis kemarin (23/3). Ia menjelaskan, saban acara yang dihadiri masyarakat, biasanya pihak Istana Negara menyiapkan hadiah lima sampai tujuh sepeda. Jumlah ini bisa bertambah sesuai berapa banyak masyarakat yang hadir.

“Jadi sepeda itu merupakan wadah komunikasi presiden dengan rakyatnya,” ujar Djumala.

Ia menjelaskan, ide kuis bagi-bagi sepeda ini, demikian kata Djumala, digerakkan oleh Jokowi yang ingin menanamkan "nilai-nilai kebangsaan kepada masyarakat melalui pertanyaan-pertanyaan dalam kuis."

“Jadi, dalam rangka menyebarkan nilai kebangsaan itu, presiden mengajukan beberapa pertanyaan yang isi pertanyaan menyangkut masalah kenegaraan seperti Pancasila, nama suku bangsa, nama pulau,” katanya.

Bey Triadi Machmudin, kepala Biro Pers Istana Negara, mengatakan bahwa ide bagi-bagi sepeda memang permintaan Presiden Jokowi. Menurut Bey, ide ini sarana berkomunikasi antara presiden dan rakyat. Selain itu, sepeda juga digambarkan memiliki makna untuk mencapai tujuan.

“Sepeda itu juga olahraga yang sehat dan ramah lingkungan. Tapi filosofinya untuk mencapai tujuan tersebut,” kata Machmudin, Rabu (22/3).

Infografik HL Sepeda Jokowi

Sukarno dan Sepeda

Perkara polah presiden dan sepeda, Presiden Sukarno punya cerita. Sepeda jadi bagian kecil tetapi sangat penting dalam kehidupan Bung Karno. Lewat sepedalah, Bung Karno mengalami sejumlah peristiwa tak terlupakan, salah satunya dengan pemuda Marhaen yang kemudian jadi cikal bakal ideologi sosialis-marhaenis.

Dalam autobiografi Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat (2007), Bung Karno berkata, “Hari itu aku mendayung sepeda berkeliling mengolah pengertian yang baru.” Kata itu dilontarkan Bung Karno usai bertemu petani bernama Marhaen dalam perjalanannya mengayuh sepeda tanpa tujuan di selatan kota Bandung. Daerah yang dilintasi Bung Karno merupakan daerah pertanian, tempat para petani mengerjakan sebidang kecil sawah. Saat mengayuh ke tempat itu, mata Bung Karno tertuju kepada Marhaen, petani yang mengerjakan sawah seorang diri dengan pakaiannya yang lusuh.

Kepada Marhaen, Bung Karno melontarkan pertanyaan, "Apakah engkau memiliki tanah ini bersama-sama dengan orang lain?"

Marhaen pun menjawab, "Oh, tidak, Gan. Saya sendiri yang punya." Marhaen menjelaskan jika sawahnya adalah warisan keluarga.

Banyak pertanyaan dilontarkan Bung Karno kepada Marhaen, dari alat yang digunakan untuk mengolah sawah hingga hasil panen. “Bagaimana sawah yang begini kecil bisa cukup untuk seorang istri dan empat orang anak?” kata Bung Karno.

Bung Karno menyudahi perbincangan dengan Marhaen. Sambil mengayuh sepedanya keliling kampung, Bung Karno berpikir tentang konsep marhaenisme dan untuk kemudian dipaparkannya dalam rapat pemuda. Menurut Bung Karno, Marhaen adalah orang kecil dengan alat produksi minim dan hanya cukup untuk dirinya sendiri. Dari sinilah konsep sosial marhaenisme itu lahir.

“Marhaenisme adalah sosialisme Indonesia dalam praktik,” kata Bung Karno.

Sukarno memang punya cerita dengan sepeda. Dalam Soekarno Poenja Tjerita (2016), sepeda juga menjadi saksi kejahilan Sukarno kepada polisi yang rajin menguntitnya, praktik "rumah kaca" pemerintahan kolonial atas kaum dan tokoh pergerakan.

Ceritanya, Sukarno saat menggowes sadar ia dikuntit polisi. Ia memperlambat mengayuh sepeda untuk mengelabui si polisi. Begitu melintasi pematang sawah, Bung Karno berhenti. Ia menaruh sepedanya dan berjalan melintasi pematang, lalu memasuki rumah koleganya. Polisi tak jadi mengikuti Sukarno karena takut sepedanya hilang.

Ceriya lain. Orang-orang tentu sering melihat foto Sukarno bersepeda dengan Fatmawati, istrinya. Kejadiannya pada 1950 ketika Bung Karno mendapatkan undangan dari presiden pertama India, Rajendra Prasad. Ia diundang untuk merayakan kemerdekaan bangsa India dari penjajahan Inggris.

Ketika melakukan kunjungan ke Taj Mahal, ban mobil yang ditumpangi pasangan itu kempes. Alhasil, Sukarno dan Fatmawati keluar dari dalam mobil untuk menunggu ganti roda. Saat itulah, Bung Karno menyapa warga India yang sedang bersepeda dan berbincang sejenak. Entah apa yang disampaikan Bung Karno, yang pasti warga India itu menyerahkan sepeda kepada Bung Karno.

“Ayo, Fat,” kata Sukarno kepada istrinya.

Sambil melangkah ragu mendekati Bung Karno, Fatmawati melontarkan pertanyaan kepada istrinya, “Apakah kita akan melanjutkan perjalanan dengan sepeda. Masih jauh untuk sampai di Taj Mahal. Apa reaksi para petugas protokol kenegaraan India nantinya? Tamu negara kok boncengan sepeda.”

Namun, Sukarno nekat saja. “Sudah siap," katanya kepada Fatmawati. "Ayo kita bersepeda.”

Sukarno pun mengayuh sepeda dan pasangan itu menyusuri jalan menuju Taj Mahal di Uttar Pradesh.

Baca juga artikel terkait PRESIDEN JOKOWI atau tulisan lainnya dari Arbi Sumandoyo

tirto.id - Humaniora
Reporter: Arbi Sumandoyo
Penulis: Arbi Sumandoyo
Editor: Fahri Salam