tirto.id - Gambaran orang Toraja di masa lalu terekam dalam film dokumenter Moeder Dao (1992), yang disutradarai Vincent van Monikemdam. Dalam Film itu tergambar aktivitas orang-orang Toraja—yang nyaris semuanya mengenakan cawat—bersama kerbau-kerbaunya. Kerbau-kerbau itu diikat di batu-batu besar seperti menhir. Dalam dokumenter itu hanya ada seorang pemuka masyarakat tak cuma bercawat. Ia memakai baju kurung serta songkok—seperti orang Bugis.
Di masa sekarang, orang-orang Toraja biasa menghadiri acara rambu' solo atau upacara kematian dengan pakaian hitam. Orang Toraja menganggap warna hitam sebagai salah satu warna penting. Menurut Otto Mitting, seorang pemandu wisata, orang-orang Toraja mengenal warna hitam, putih, kuning, dan merah.
Warna hitam, menurut Otto, dibawa oleh orang-orang Belanda-Kristen yang masuk ke Tana Toraja pada awal abad 20. Memang sudah jadi kebiasaan di negara Barat yang memakai warna hitam untuk menghadiri perkabungan.
“Mereka (orang-orang Belanda) bawa pakaian. Dulu orang Toraja hanya pakai cawat. Sebelum orang Belanda datang, kata orang-orang tua, orang-orang berpakaian putih,” ujar Otto. Ada niatan dari orang-orang Belanda—yang membawa ajaran Kristen itu—agar tradisi rambu solo hilang, tapi hal ini nyatanya sulit.
Pada masa lalu, ketika masyarakat Tana Toraja hidup dalam kasta-kasta, tak semua orang boleh melaksanakan rambu solo. Biasanya prosesi ini hanya dilakukan oleh golongan bangsawan.
“Dulu itu tidak boleh kalau ada hamba dalam pesta kematian,” kata Pendeta Matius Toding. Jika mereka meninggal dunia, boleh langsung dikubur dan mereka hanya perlu memotong babi.
Hal ini tentu berbeda dari sekarang. “Sekarang ini siapa saja bisa (asal punya uang),” kata Matius.
Menurut Otto Mitting, rambu solo boleh tidak diadakan jika keluarga dalam keadaan miskin. Cukup memukul tempat makan babi agar didengar tetangga. Namun, lebih banyak orang Toraja mengedepankan budaya siri’ alias malu. Karena tak ada akhir batas waktu kapan diadakan rambu solo, mereka lebih menanti dan berusaha mengadakannya.
“Buat kami orang Toraja, kalau kami meninggal, kami harus selesaikan kami punya ritual,” kata Otto.
Di masa lalu, jumlah kerbau yang dipotong tak sefantastis sekarang, bisa lebih lebih dari 24 ekor. Saat ini jumlah kerbau yang dipotong bisa mencapai seratusan ekor. Artinya, uang yang digelontorkan untuk acara rambu solo bisa sangat besar.
Menurut Diks Pasende, pengajar Sekolah Tinggi Teologi Indonesia Timur yang masih terhitung orang Toraja, rambu solo untuk bangsawan yang menyembelih 24 ekor sudah dianggap sah pada masa lalu. Sebelum 1905, bahkan ada ritual budak atau pembantu ikut disembelih untuk menemani bangsawan yang meninggal dunia—seperti dalam tradisi di Mesir Purba atau Cina Kuno. Pemerintah kolonial Belanda kemudian melarang hal ini.
Kesan Adu Gengsi dalam Rambu Solo
Banyak orang menilai, saat ini rambu solo sudah mengalami pergeseran. Ditemukan kesan ada adu gengsi dalam mengadakan upacara tersebut. Tak heran jika jumlah kerbau begitu fantastis. Kerbau-kerbau ini adalah tunggangan untuk mengantarkan orang meninggal dan sebagai penghormatan terakhir.
Memberi penghormatan terakhir dan memberi seterbaik mungkin kepada orang yang meninggal, kerap menjadi alasan utama kenapa harga kerbau mahal atau harus dibeli dalam jumlah besar. Tak jarang, pesta rambu solo dengan harga mahal itu harus ditanggung dengan keadaan berat luar biasa oleh orang-orang Toraja. Banyak orang Toraja di luar Tana Toraja bekerja mati-matian demi rambu solo.
Pendeta Larry Holmes berkata bahwa tak jarang rambu solo membuat keluarga berutang. Sisi baiknya, rambu solo membuat orang-orang Toraja bekerja lebih giat dibanding yang lain. Saat saya datang ke Toraja untuk menyaksikan sebuah prosesi rambu solo, misalnya, keluarga di sana mengklaim menghabiskan dana miliaran rupiah.
Soal besar dan ramainya acara rambu solo, tentu tak terlalu bikin pusing pemerintah daerah.
Banyaknya jumlah kerbau serta babi yang dipotong tentu memengaruhi jumlah pajak yang diterima oleh pemerintah daerah. Ada pajak Rp140.000 untuk tiap ekor babi dan Rp200.000 untuk tiap ekor kerbau. Uang pajak itu tersalur ke pemerintah daerah, gereja, dan pemerintah desa. Dalam setiap acara rambu solo, setidaknya pihak gereja menerima bagian daging.
Meski dianggap memberatkan bagi keluarga, rambu solo membuat orang-orang di kampung kebanjiran daging. Selalu ada tokoh adat menerima jatah daging yang banyak, yang tentu tak akan mampu dihabiskan sendiri. Sayangnya, banyak daging dari rambu solo ini kemudian beredar ke pasar ketimbang ke tetangga. Orang-orang Toraja harusnya menjadi golongan orang Indonesia dengan konsumsi daging yang lebih memadai ketimbang orang-orang Indonesia dari daerah dengan basis agama Islam yang kuat.
Sudah pasti juga rambu solo dengan rangkaian upacara yang unik dan seru telah menarik wisatawan. Menurut Diks Pasende, dan kenyataan di lapangan, orang-orang Toraja sudah terbiasa dengan pariwisata. Di musim libur anak sekolah, nyaris selalu ada rambu solo di kampung-kampung di Toraja. Kampung mereka, terutama ketika ada acara rambu solo, kerap didatangi para wisatawan, seperti halnya di Pulau Bali.
Terkait rambu solo, orang Toraja menjadi etnis yang memelihara budaya pengawetan mayat.
Di masa lalu, jenazah diawetkan dengan ramuan tradisional seperti dedaunan kayu. Hal ini sulit ditemui sekarang. Pembuat ramuan semakin langka. Sekarang jenazah diawetkan lewat suntikan formalin.
Dalam banyak kasus, jenazah bisa awet bertahun-tahun. Budaya pengawetan mayat sulit ditemui. Orang-orang mungkin lebih ingat Mesir dengan Mumi ketimbang jenazah orang Toraja sebelum rambu solo. Dan, bagi orang Toraja, biasanya tak ada rasa takut untuk tidur bersama mayat tersebut.
Jenazah itu diletakkan di tongkonan, rumah adat Toraja, dipercaya sebagai jiwa yang sakit. Lewat prosesi rambu solo yang komplet selama sepekan, dengan menunggangi arwah kerbau dan diiringi tarian badong, jenazah itu diantarkan menuju gerbang langit.
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Fahri Salam