tirto.id - Debat perdana capres-cawapres yang digelar di Hotel Bidakara, Jakarta Selatan, Kamis malam, 17 Januari salah satunya bahas soal terorisme. Cawapres Ma'ruf Amin yang saat itu minim bicara mendapat kesempatan memaparkan konsep penanganan terorisme yang ditawarkan pasangan calon nomor urut 01.
Ma’ruf yang sengaja dipasang mengulas isu terorisme awalnya menyatakan bahwa tindakan perusakan di bumi harus dihukum dengan keras dan berat. Terorisme, kata Ma’ruf, harus diberantas hingga ke akar-akarnya.
Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) nonaktif itu menyiratkan masalah akar tak lepas dari masalah pelajaran agama. Ma’ruf menyatakan MUI pun telah mengeluarkan fatwa bahwa terorisme bukanlah jihad.
Sebagai ulama dan tokoh Nahdlatul Ulama (NU), jawaban Ma’ruf sangat sesuai. Dia menyebut terorisme haram dilakukan karena menimbulkan kerusakan atau ifsad.
Selain itu, Ma'ruf menekankan perlunya peran organisasi keagamaan saat menjawab pertanyaan utama soal penegakan tindak kejahatan terorisme agar tak bertentangan dengan hak asasi manusia.
“Dalam menanggulangi terorisme di masa yang akan datang, kami akan mengajak ormas, organisasi masyarakat khususnya organisasi keagamaan,” kata Ma’ruf saat debat perdana, di Hotel Bidakara, Jakarta Selatan, Kamis (17/1/2019).
Dalam pertanyaan kedua dengan tema terorisme soal pencegahan dini dan deradikalisasi, Ma’ruf menyatakan perlu adanya pemaparan penyebab orang menjadi radikal terlebih dahulu. Jika karena faktor keagamaan, maka Ma’ruf menekankan perlunya doktrin untuk meluruskan penyimpangan itu.
Namun, kata dia, jika radikalisme tersebut menyangkut masalah ekonomi dan sosial, maka penyelesaian bisa dilakukan dengan cara berbeda.
“Melalui pemberian lapangan kerja dan juga santunan yang bisa mengembalikan mereka ke jalan yang lurus. Saya kira ini harus kita kaji betul, kenapa dia menjadi radikal,” kata cawapres nomor urut 01 itu.
Sementara Jokowi yang mendapat porsi minim dalam tema ini menekankan perlunya pemahaman soal hak asasi manusia pada penegak hukum. Hal ini diperlukan agar aparat betul-betul tidak melanggar HAM terduga pelaku terorisme. Sayangnya, Jokowi tak menjelaskan secara konkret.
Sedangkan capres nomor urut 02, Prabowo Subianto tak melandasi perkataannya soal penanganan terorisme ini dengan embel-embel kitab suci ataupun agama. Dia justru menegaskan persepsi agama Islam erat dengan terorisme adalah salah total.
“Jadi, stigmatisasi bahwa seolah-olah radikal itu selalu dicap kepada orang Islam, saya menolak itu. Saya setuju deradikalisasi, saya dukung usaha-usaha kemanusiaan,” kata Prabowo.
Prabowo mengatakan dirinya paham betul soal masalah terorisme. Sebab, dia bersama Luhut Binsar Panjaitan membentuk pasukan antiterorisme yang pertama, yakni Satuan 81/Gultor (Penanggulangan Teror) yang dibentuk pada tahun 1982. Karena pengalamannya tersebut, dia menuding terorisme justru berasal dari luar negeri.
“Masalahnya adalah karena pengalaman saya itu, saya mengetahui seringkali terorisme ini dikirim dari negara lain. Dan sering juga dibuat nyamar. Seolah-olah teroris itu dari orang Islam, padahal itu sebetulnya dia itu bukan dikendalikan oleh orang yang mungkin juga bukan orang Islam,” kata Prabowo.
Respons Dua Kubu Pendukung
Wakil Direktur Saksi Tim Kampanye Nasional (TKN) Jokowi-Ma'ruf, Lukman Edy mengatakan pernyataan Ma’ruf yang menitikberatkan pada pemahaman agama dalam kasus terorisme bukan berarti mendiskreditkan agama tertentu, termasuk Islam.
Politikus PKB ini justru menganggap pernyataan Ma’ruf adalah untuk menyadarkan masyarakat tak ada ajaran agama yang mengajak untuk berbuat “radikal” atau mengarah pada tindakan terorisme. Ma’ruf, kata Lukman, memahami betul akar masalah terorisme ini.
“Pak Kiai Ma’ruf penting menyampaikan itu karena image yang dibangun oleh publik, oleh negara Barat misalnya, memang menuduh Islam sebagai pelaku teroris. Kiai Ma’ruf sebagai ulama ingin memberikan klarifikasi pada publik bahwa Islam yang melakukan teror itu adalah Islam yang salah,” kata Lukman kepada reporter Tirto, di Hotel Bidakara usai debat.
Namun, Lukman yang tergabung dalam tim persiapan debat Jokowi-Ma’ruf ini tak menganggap apa yang disampaikan Prabowo soal penyebab terorisme karena kemiskinan sebagai sesuatu yang salah. Hanya saja, kata dia, konsep yang ditawarkan Ma’ruf jauh lebih lengkap daripada lawannya itu.
“Dulu kami bisa mengidentifikasi masalah terorisme itu soal kesenjangan, tapi pada akhir-akhir ini teroris justru dari golongan menengah yang melakukan aksi teror. Karena itu, Kiai Ma’ruf menyinggung dari hulu sampai hilir,” kata Lukman.
Menurut Lukman, pemahaman agama yang salah yang harus diluruskan. “Hilirnya soal penegakan hukum dari aparat yang harus dimaksimalkan,” kata politikus PKB itu.
Berbeda dengan Anggota Dewan Pembina Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandiaga, Amien Rais yang menilai jika akar masalah terorisme bukan soal agama, tetapi kemiskinan.
“Di mana-mana kemiskinan itu menuntut ketidakadilan. Ketidakadilan menyebabkan kezaliman. Kezaliman itu sangat sensitif untuk kemudian digerakkan oleh orang-orang yang mau melakukan terorisme itu,” kata Amien.
Meski demikian, Amien tidak menyebut pernyataan dan pendapat Ma’ruf keliru. Hanya saja, kata dia, apa yang diucapkan dan ditawarkan Prabowo lebih konkret daripada yang disampaikan Ma’ruf Amin.
“Bisa saja ajaran agama ada yang ekstrem dan lain-lain, tapi memang akarnya itu kemiskinan,” kata politikus PAN ini.
Dinilai Tak Paham Masalah Terorisme
Peneliti Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Khairul Fahmi menyesalkan pernyataan Ma’ruf saat debat. Sebab, tidak ada solusi dari penindakan pelaku terorisme tanpa melanggar HAM. Selain itu, kata Khairul, karena pernyataan Ma’ruf merujuk pada hukuman di Alquran.
Hal tersebut, kata Khairul, seakan-akan mengimplikasikan pelaku terorisme adalah mereka yang beragama Islam. Padahal pelaku terorisme tidak berkaitan dengan agama dan bisa berasal dari golongan mana saja.
“Pak Ma’ruf, kan, seolah-olah mengatakan [salah tafsir] ajaran Islam adalah penyebabnya,” kata Khairul kepada reporter Tirto. “Padahal kita selama ini berupaya mencoba memisahkan antara kesadaran beragama ini dengan tindakan terorisme.”
Selain itu, Khairul juga menganggap Prabowo terlalu menyederhanakan masalah terorisme yang disebut berasal dari luar negeri. Khairul justru menganggap saat ini pengaruh dari luar negeri tidak terlalu signifikan.
“Justru bukan dari luar negeri memengaruhi kita, tapi terkadang orang-orang itu yang ingin mencari sendiri tentang terorisme dari internet,” kata Khairul.
Khairul menambahkan “Kedua kubu ini sama-sama tidak tepat dan tidak utuh memandang persoalan terorisme.”
Direktur Institute for Policy Analysis of Conflict (IPAC) Sidney Jones juga pernah menyangkal apa yang disampaikan Prabowo. Sidney justru menyebut pengaruh kelompok teroris yang berbaiat pada ISIS yang berada di luar negeri semakin melemah.
“Kalau kita lihat pelaksanaan di daerah lain, justru pada saat kelompok teroris mulai menurun pengaruhnya, mereka mencari taktik-taktik yang spektakuler untuk muncul di depan umum dan dapat perhatian,” kata Sidney di Hotel Ashley setelah ramai teror bom di Surabaya dan Jakarta, pada 22 Mei 2018.
Penulis: Felix Nathaniel
Editor: Abdul Aziz