tirto.id - Kementerian Energi dan Sumber Daya MIneral (ESDM) menyatakan cadangan nikel di Indonesia bisa habis dalam 7 tahun, usai tahun 2022.
Pasalnya, dari potensi sumber daya yang ada, tidak semua bisa ditambang karena berbagai faktor seperti perizinan dan konflik lahan. Hal ini menjadi salah satu alasan pemerintah mempercepat pelarangan ekspor nikel ke awal tahun 2020.
"Ini hanya 7,3 tahun padahal cadangan sebenarnya 42,67 tahun, tapi itu perlu waktu mendapat izin akses lingkungan termasuk potensi masalah sosial," ucap Andri Budhiman Firmanto Kasubdit Pengawasan Usaha Eksplorasi Mineral ESDM di Le Meridien, Rabu (2/10/2019).
Berdasarkan data Badan Geologi per 2019, kata Andri, Indonesia sebenarnya memiliki total 3,5 miliar ton cadangan bijih nikel.
Rinciannya, 2,8 miliar ton bijih nikel sebagai cadangan terkira untuk 42 tahun ke depan atau belum tentu dapat diambil meski sudah tidak perlu eksplorasi. Sisanya, 700 juta ton bijih nikel yang sudah dibuktikan atau saat ini bisa ditambang sampai 7 tahun ke depan.
Namun, cadangan sebesar 2,8 miliar ton saat ini dinilai belum tentu bisa diandalkan karena berbagai faktor yang membuatnya tidak mudah diakses. Dengan demikian, cadangan yang tersisa 7 tahun ke depan belum tentu akan bertambah signfikan.
Kondisi tersebut menurut Andri menjadi dasar pemerintah melakukan percepatan sebagai upaya pencegahan agar cadangan tidak habis.
Belum lagi, pemerintah telah menerbitkan Perpres nomor 55 Tahun 2019 tentang kendaraan listrik sehingga sumber daya yang ada perlu disiapkan bagi industri baterai yang kabarnya akan dibangun.
Perkiraan ESDM saat ini, per 2021, akan ada kebutuhan 27 juta ton bahan baku nikel. Mereka yang menggunakan antara lain PT Smelter Nikel Indonesia di Banten, PT Adhikara Cipta Mulia dan PT Vale Indonesia di Sulawesi Tenggara, PT Halmahera Persada di Maluku Utara.
Di samping itu, ada pula penggunaan nikel untuk keperluan bagi pabrik baterai di Morowali, Sulawesi Tengah.
Ketua Umum Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia (Perhapi), Rizal Kasli menambahkan, kebutuhan nikel untuk diolah di smelter saja bisa mencapai 76,89 juta ton per tahun.
Angka itu diperoleh dari 38 smelter yang diperkirakan akan selesai pada tahun 2022 untuk keperluan memproses bijih nikel kadar tinggi (piromet) meskipun saat ini baru 16 yang sudah beroperasi.
Untuk bijih nikel kadar tinggi atau kandungan lebih dari 1,7 persen, hanya tersedia total cadangan sebesar 920 juta ton. Bila diasumsikan bahwa cadangan terkira bisa digunakan, ketahanan pasokan hanya bisa 12 tahun.
Sebaliknya, kondisi nikel kadar rendah (kurang dari 1,7 persen Ni) sedikit lebih baik karena total cadangannya masih tercatat sebanyak 2,3 miliar ton.
Jumlah tersebut cukup memenuhi pasokan 100 tahun ke depan. Meski demikian nikel jenis tersebut belum tentu dapat memenuhi kebutuhan smelter.
“Kalau 12 tahun kita khawatir yang bangun smelter sekarang enggak bisa berlangsung dengan kadar rendah saja. Kalau mau yang masih potensi sumber daya 1,9 miliar ton kita eksplorasi agar bisa jadi cadangan,” pungkas Rizal.
Penulis: Vincent Fabian Thomas
Editor: Hendra Friana