tirto.id - Mochtar Riady belum habis. Setelah sempat didera krisis, Grup Lippo masih bertahan kuat dengan bisnis yang semakin menggurita. Lippo menggeluti bisnis properti, hipermarket, asuransi, media, ojek online, perbankan, dan masih banyak lagi ragamnya.
Dari semua gurita bisnis Grup Lippo, yang patut disimak adalah sektor perbankan. Dalam sebuah wawancara khususnya dengan Bloomberg, Mochtar Riady mengungkapkan rencananya untuk mengembalikan kejayaan bisnis perbankannya.
Chairman Lippo Group berusia 87 tahun itu berencana membesarkan bank yang kini dimilikinya, PT Bank Nationalnobu atau Bank Nobu. Bank Nobu merupakan bank kecil yang dibeli Grup Lippo pada 28 September 2010. Ia berencana menjadikan Bank Nobu sebagai kendaraan untuk beragam layanan digital seperti pembayaran elektronik.
“Perbankan masa depan adalah e-banking,” jelas Mochtar Riady dalam wawancaranya dengan Bloomberg.
“Targetnya sangat tinggi, sangat besar, tetapi kami akan memulainya dengan kecil. Ini menurut Laozi,” jelas Mochtar Riady, mengutip seorang filsuf Cina.
Lippo ingin menggaet konsumen Asia Tenggara yang semakin meningkat penggunaan platform elektroniknya untuk pembayaran tagihan atau pembelanjaan, termasuk juga transaksi perbankan harian.
Ia memperkirakan Indonesia akan mengikuti Cina, yang sudah melangkah ke pembayaran digital dan teknologi, yang menguntungkan sejumlah perusahaan seperti Alibaba.
Runtuhnya Lippo
Perkembangan Bank Nobu akan menandai kembalinya Mochtar Riady ke dunia perbankan. Grup Lippo sempat kehilangan lini perbankan akibat badai krisis moneter yang melanda Indonesia pada 1997/1998 silam.
Bank Lippo merupakan hasil merger antara Bank Perniagaan dan Bank Umum Asia. Cikal bakalnya sudah ada sejak 1948. Tangan dingin Mochtar Riady berhasil membuat Bank Lippo menjadi salah satu bank swasta terbesar di tanah air.
Cobaan besar terjadi pada 1995, ketika Bank Lippo dilanda rush yang dahsyat dan mengerikan. Mochtar Riady dalam otobiografinya Manusia Ide (2016) menjelaskan, Bank Lippo terkena rush karena adanya rumor kontraktor dan pemasok proyek Sentul milik Grup Lippo yang tidak mendapatkan bayaran yang wajar, kecuali memberikan komisi kepada oknum direktur keuangan. Kasus tersebut kemudian dikaitkan dengan kesehatan Bank Lippo.
“Berita gosip ini disebarluaskan kepada masyarakat oleh oknum pimpinan cabang serta bank pesaing. Sebagian nasabah tanpa mengecek kebenarannya beramai-ramai menarik simpanannya di bank. Inilah awal cerita terjadinya rush di Bank Lippo,” tulis Mochtar Riady.
Rush sebenarnya bukan hal baru yang menimpa Bank Lippo. Namun, yang terjadi pada 1995 itu merupakan yang terbesar dan dahsyat. Bank Lippo sudah meminta Bank Indonesia untuk memberikan penjelasan, tetapi menurut Mochtar tidak ada respons.
“Kami terpaksa melalui mass media mengumumkan setop beroperasi. Segala risiko dan penyelesaiannya kami serahkan kepada Bank Indonesia,” ungkapnya.
Bank Lippo akhirnya bisa diselamatkan setelah lima konglomerat sahabat Mochtar Riady, Liem Sioe Liong (BCA), Eka Wijaya (BII), Usman Admajaja (Bank Danamon), Ramli (Bank Bali), Sjamsul Nursalim(BDNI) membuat surat akan menyediakan dana cadangan 3-5 hari. Badai rush pun mereda, dan kepercayaan terhadap Bank Lippo secara berangsur pulih.
Peristiwa itu memberikan pengalaman berharga bank Bank Lippo untuk memperkuat manajemen internalnya. Setelah itu, Bank Lippo terus memperkuat kesehatannya agar bisa mengantisipasi setiap serangan yang muncul tiba-tiba.
Krisis moneter kemudian datang. Hampir semua bank di Indonesia limbung, tak terkecuali Bank Lippo. Pada 1999, Mochtar Riady terpaksa harus melepaskan mayoritas sahamnya di Bank Lippo kepada Pemerintah Indonesia terkait dengan rekapitulasi aset bank bermasalah. Pemerintah Indonesia harus mengucurkan dana Rp6 triliun, sehingga selanjutnya menguasai 59 persen saham di Bank Lippo.
Bank Lippo kemudian dikelola oleh Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). Dalam rangka mengembalikan uang pemerintah, BPPN kemudian melakukan serangkaian divestasi, termasuk Bank Lippo. Bank tersebut akhirnya terjual kepada konsorsium Swissasia Global dengan nilai Rp1,25 triliun. Swissasia kemudian melepas kepemilikannya di Bank Lippo kepada Khazanah Berhard, Malaysia senilai $350 juta.
Sementara berdasarkan RUPS Bank Lippo pada 2005, Mochtar Riady resmi meninggalkan Lippo dan dunia perbankan.
Pada 3 Juni 2008, Bank Lippo merger dengan Bank Niaga menjadi Bank CIMB Niaga. Merger itu merupakan konsekuensi dari aturan kepemilikan tunggal atau single presence policy (SPP) yang ditetapkan Bank Indonesia. SPP mewajibkan kepemilikan tunggal bagi pemegang saham pengendali di lebih dari satu bank. Khazanah Berhard selaku pemilik Bank Niaga dan Lippo memutuskan merger.
Khazanah sebelumnya memiliki Bank Lippo melalui Santubong Investment BV dan Greatville Pte Ltd. Khazanah juga memiliki Bank Niaga sebesar 62,4 persen melalui CIMB Group.
Membeli Bank Nobu
Pada 2008, Lippo resmi kehilangan Bank Lippo. Dua tahun kemudian, Lippo memulai langkah kecilnya masuk ke dunia perbankan dengan membeli Bank Nobu. Ketika itu, Bank Nobu hanyalah sebuah bank kecil yang ketika dibeli hanya memiliki satu kantor pusat di kawasan Jembatan Lima, Jakarta Barat.
Bank Nobu dulunya bernama Bank Alfindo Sejahtera. Bank tersebut dimiliki Alfi Gunawan, yang juga merupakan pemilik perusahaan air mineral Ades, melalui PT Gunawan Sejahtera. Ketika itu, Bank Nobu sedang membutuhkan pertolongan untuk pengembangan usaha. Gayung bersambut dengan grup Lippo. Kini, Bank Nobu sudah memiliki kantor pusat yang mentereng di Gedung Granada.
Setelah dikuasai Lippo, aset Bank Nobu meningkat pesat. Pada 2011 asetnya hanya Rp333,83 miliar, pada 2015 sudah meningkat pesat menjadi Rp6,703 triliun. Demikian pula laba bersihnya pada 2011 hanya Rp1,92 miliar, sudah melonjak menjadi Rp18,21 miliar pada 2015.
Kredit yang disalurkan juga sudah berlipat-lipat dari hanya Rp162,77 miliar pada 2011 menjadi Rp3,482 triliun pada 2015. Demikian pula dana pihak ketiga yang dihimpunnya sudah melonjak dari Rp200,14 miliar menjadi Rp4,801 triliun.
Dengan semua perkembangan yang pesat di bawah kendali Bank Lippo, bukan tidak mungkin jika Bank Nobu menjadi sebuah kendaraan untuk membawa kembali kejayaan Mochtar Riady di dunia perbankan.
Penulis: Nurul Qomariyah Pramisti
Editor: Suhendra