tirto.id - Badan Legislasi (Baleg) DPR RI bersama pemerintah dan DPD sepakat sanksi pidana dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan tidak akan dimasukkan dalam Daftar Inventarisir Masalah (DIM) di Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja (Ciptaker). Dengan demikian bagian tersebut masih diatur dalam peraturan lama.
"Sanksi pidana terkait dengan UU Ketenagakerjaan tetap seperti di UU existing. Apakah disetujui?" tanya Ketua Baleg DPR RI Supratman Andi Agtas dalam Rapat Panitia Kerja RUU Ciptaker di Jakarta, Sabtu (26/9/2020), dikutip dari Antara. Para hadirin lantas setuju.
Dalam UU Ketenagakerjaan, sanksi pidana diatur dalam Pasal 183 hingga Pasal 189.
Misalnya soal pelanggaran mekanisme PHK. Pasal 184 menyebut sanksi pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Supratman juga mengatakan rapat sepakat semua DIM yang berhubungan dengan Putusan MK mengenai UU Ketenagakerjaan akan disesuaikan. "Sedapat mungkin tidak hanya terkait dengan amar putusan, namun juga pertimbangannya."
Ada sejumlah Putusan MK atas berbagai pasal dalam UU 13/2003. Antara lain tentang perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT), upah, pesangon, hubungan kerja, pemutusan hubungan kerja (PHK), penyelesaian perselisihan hubungan industrial, dan jaminan sosial.
Supratman juga mengatakan telah disepakati upah minimum padat karya akan dikeluarkan dari DIM RUU Ciptaker setelah terjadi keputusan tripatrit. Upah minimum kabupaten juga tetap ada.
Dia juga mengatakan telah disepakati bahwa penggunaan Tenaga Kerja Asing (TKA) tetap ada sesuai dengan ketentuan UU Ketenagakerjaan, namun ada penambahan terkait klaster keimigrasian dalam RUU Ciptaker.