tirto.id - “You can be gay or lesbian, and still be a good muslim,” kata perempuan berhijab coklat muda itu di depan kamera.
Adegan kemudian beralih kepada seorang pria yang tengah melipat sajadah yang sebelumnya ia pakai beribadah. Ia kemudian menceritakan kisahnya, tentang satu hal yang ia istilahkan sebagai jihad cinta.
“Jihad bukan melulu perang suci. Jihad adalah perjuangan. Dan saya tengah menjalani jihad cinta sekarang ini,” katanya.
Cuplikan tersebut adalah adegan-adegan dalam A Jihad For Love, satu film yang menceritakan muslimah dan muslimin LGBT di negara Libanon, Arab Saudi, Pakistan, Prancis, hingga Afrika Selatan.
Film ini direkam oleh Parvez Sharma, seorang sutradara film yang juga coming out (melela) sebagai gay. Film ini menjadi satu dokumenter penting untuk melengkapi dokumen sosial kita perihal keragaman seksual yang masih tabu dibicarakan di tengah masyarakat, terlebih Indonesia.
Dari film sejenis ini, penonton dari tradisi mainstream bisa menyimak ihwal “mereka yang kita anggap berbeda” dalam menjalani hidupnya.
Penolakan semacam ini terjadi juga pada Jahed Choudhury (24), laki-laki asal Darlaston, Inggris yang melela bahwa dirinya gay. Masjid yang selama ini ia kunjungi selama 15 tahun terakhir tidak lagi mengizinkannya masuk. Tidak hanya itu, Jahed juga dihajar oleh laki-laki muslim di tempat ia tinggal dan sesampainya di rumah ia mendapati pintu rumahnya penuh dengan cat dengan tulisan "homo." Jahed bahkan dikirim kerabatnya untuk umrah guna “mengobati” orientasi seksualnya.
Bagi pihak yang bersikap bermusuhan terhadap homoseksualitas, bullying seperti terjadi pada Jahed dianggap sebagai konsekuensi yang harus Jahed dapatkan karena "pilihannya." Padahal, kebanyakan kaum LGBT menghayati seksualitas sebagai hal yang alamiah alias sesuatu yang datang "dari sananya", bukan pilihan hidup. Saat manusia dilahirkan, mereka tidak bisa memilih tubuh seperti apa yang akan dimiliki, termasuk orientasi seksual.
Terlepas perdebatan apakah orientasi seksual adalah perkara natural atau kultural, masalah LGBT memang memunculkan banyak pertentangan, terlebih di kalangan religius. Tantangan-tantangan yang dihadapi Jahed akan kita temukan juga di seluruh belahan dunia, termasuk di Indonesia.
Kaum lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT) umumnya menghadapi tantangan hukum dan prasangka yang tidak dialami oleh penduduk non-LGBT. Norma umum cenderung tak menyetujui, bahkan bersikap bermusuhan terhadap, homoseksualitas. Hal ini berdampak kepada kebijakan publik. Tak semua negara mengakui pernikahan sesama jenis.
Namun, pertentangan dan penolakan yang ia dapatkan dari teman-teman sekeyakinannya, tidak menghalangi Jahed melangsungkan pernikahannya dengan Sean Rogan (19) awal Juli yang lalu. Pada upacara sederhana di kantor pendaftaran pernikahan sipil Walsall, Jahed resmi menikah dengan Sean dengan mengenakan busana muslim.
Pernikahan Jahed dan Sean tersebut bukanlah pernikahan muslim sesama jenis pertama yang pernah terjadi. Sebelumnya Sahar Mosleh dan Maryam Iranfar, dua perempuan muslim asal Iran, juga melakukan pernikahan sesama jenis di Stockholm, Swedia. Maryam mencintai Mosleh meski pasangannya menderita cacat.
Setelah menjalin hubungan selama sembilan tahun, mereka akhirnya memutuskan menikah di Swedia karena Iran melarang hubungan antarpasangan homoseksual.
Pernikahan antarpasangan homoseksual muslim ini biasanya dipandu oleh penghulu muslim. Di Amerika, terdapat seorang ustad asal Amerika pertama yang menerima pernikahan sesama jenis. Adalah Imam Daayiee Abdullah, yang juga seorang gay, dia menolong pasangan homoseksual untuk mengikat janji yang diklaim secara islami. Abdullah sudah sejak tahun lalu menjadi penghulu dari banyak pasangan sejenis muslim yang ingin menikah secara sah menurut ritual agama.
Dalam hukum Islam sendiri dijelaskan bahwa muslim menghendaki pernikahan antarlawan jenis, yaitu laki-laki dengan perempuan. Pernikahan tak dilihat semata untuk memenuhi hasrat biologis, tapi juga ikatan suci yang diniatkan untuk mempertahankan keturunan.
Dua lembaga/organisasi besar Islam di Indonesia, NU dan Muhammadiyah menganggap LGBT adalah permasalahan bersama masyarakat. Ketua Muhammadiyah Haedar Nashir pernah mengatakan Muhammadiyah mengecam keras perilaku LGBT. Ia juga menyatakan bahwa penyebaran LGBT tidak bisa berlindung di bawah HAM. Untuk itu, Haedar Nasir meminta pemerintah tidak perlu takut menghadapi desakan dunia internasional, yang mendukung perilaku LGBT.
Sementara itu, Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin mengatakan persoalan lesbian, gay, biseksual, dan transgender merupakan tantangan bagi para pendakwah.
Menag Lukman Hakim Saifuddin, dengan nada yang lebih ramah, mengimbau lembaga-lembaga keagamaan perlu mengambil langkah positif untuk mencari dan menggali akar penyebab seseorang menjadi lesbian, gay, biseksual dan transgender, serta melakukan upaya penanggulangan yang berbasis pendekatan agama dan ilmu jiwa.
"Kita tidak boleh memusuhi dan membenci mereka sebagai warga negara, tapi bukan berarti kita membenarkan dan membiarkan gerakan LGBT menggeser nilai-nilai agama dan kepribadian bangsa," kata Lukman dalam rapat kerja dengan Komisi VIII DPR di Kompleks Parlemen.
Dalam penelitian yang dipublikasikan oleh Journal of Homosexuality, Baden Offord menjelaskan bahwa sejauh ini hukum nasional Indonesia tidak mengkriminalisasikan homoseksualitas. Hal ini berarti, Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) tidak menganggap perbuatan homoseksual sebagai suatu tindakan kriminal; selama tidak melanggar hukum-hukum lain yang lebih spesifik; antara lain hukum yang mengatur mengenai perlindungan anak, kesusilaan, pornografi, pelacuran, dan kejahatan pemerkosaan.
Perbuatan homoseksual tidak dianggap sebagai tindakan kriminal, selama hanya dilakukan oleh orang dewasa (tidak melibatkan anak-anak atau remaja di bawah umur), secara pribadi (rahasia/tertutup, tidak dilakukan di tempat terbuka/umum, bukan pornografi yang direkam dan disebarluaskan), non-komersial (bukan pelacuran), dan atas dasar suka sama suka (bukan pemaksaan atau pemerkosaan).
Sementara itu, di belahan dunia yang lain, terdapat beberapa negara yang menghukum mati para pelaku homoseksual, yaitu di Afghanistan, Brunei, Iran, Mauritania, Nigeria, Arab Saudi, Sudan dan Yaman. Sedangkan di Kuwait, pemerintah mensahkan hubungan homoseksual antara perempuan, namun mengharamkan perbuatan homoseksual antara lelaki.
Sejauh ini, perkawinan sesama jenis telah dilegalkan di sejumlah negara beberapa di antaranya adalah Inggris, Swedia, Afrika Selatan, Belanda, Kanada, Finlandia, Denmark, Prancis, New Zealand, Norwegia, Portugal, Skotlandia, Spanyol, Uruguai, Argentina, Belgia, Kolombia, dan Amerika Serikat.
Sementara itu, Turki, Lebanon, dan Albania juga telah membuka perbincangan mengenai pengesahan perkawinan sesama jenis. Adapun Albania telah menandatangani sebuah dokumen PBB yang mendukung hak LGBT.
Penulis: Yulaika Ramadhani
Editor: Maulida Sri Handayani