tirto.id - Dadang, 45 tahun, tertidur pulas di kursi sopir di dalam bajajnya. Kakinya menjuntai ke luar jendela karena tak muat di dalam. Kepalanya terkulai hingga melewati pembatas antara kursi sopir dengan kursi penumpang. Mulutnya sedikit menganga, tanda ia kelelahan.
Dari dalam kendaraan roda tiga itu, terdengar musik dangdut yang tak saya ketahui benar judul lagu dan penyanyinya. Bisingnya jalanan ibu kota tak berhasil menginterupsi rasa kantuknya. Ia tetap tertidur, tak menyadari kedatangan saya.
Rekan-rekannya sesama sopir bajaj nampak berbincang-bincang di trotoar Stasiun Jakarta Kota. Beberapa dari mereka mengisap rokoknya dalam-dalam. Bau pesing menguar dari air selokan yang hitam lantaran kerap dijadikan toilet darurat para sopir bajaj, bemo, ataupun angkot.
Beberapa saat kemudian, Dadang terbangun. Ia mengusap-ngusap wajahnya untuk mengumpulkan nyawa. Saya menghampiri bermaksud untuk menggunakan jasanya.
"Kemana, Neng?" tanyanya sembari mematikan musik dangdut yang disetel dengan volume cukup tinggi.
"Ke Jiexpo Kemayoran berapa, Pak?"
"Tiga lima, deh."
"Tiga puluh boleh?"
Ia berpikir sejenak kemudian mengangguk lemah. Saya langsung mengisi kursi penumpang.
"Kalau mau main handphone, duduknya di sebelah kanan ya, Neng. Takut kena jambret," pesannya. Nasihat itu sudah biasa saya dengar tiap naik bajaj sejak tahun 1997.
Dadang baru tiga tahun menekuni pekerjaan itu. Sebelumnya ia bekerja di bidang farmasi. Entah sebagai apa, ia enggan mendeskripsikannya dengan jelas. Setelah beralih profesi beberapa kali, ia akhirnya memutuskan banting setir menjadi sopir bajaj.
Awal menjadi sopir, Dadang masih menggunakan bajaj oranye khas Jakarta, itupun milik orang lain. Ia harus setor sebanyak Rp100 ribu tiap hari.
"Kalau enggak dapat segitu sehari gimana?"
"Ya terpaksa nombok," kata Dadang. Ia bercerita sambil sesekali menghindari pejalan kaki atau kendaraan lain dengan cekatan.
Akhirnya setahun belakangan ia memutuskan untuk membeli bajaj sendiri secara kredit. Dalam sehari ia mendapat penghasilan bersih Rp100 ribu per hari. Itupun kalau sedang ramai. Dulu ia bisa mengumpulkan hingga Rp200 ribu per hari, namun sejak disrupsi bisnis transportasi berkat kehadiran ojek online, penghasilannya roboh.
"Sekarang untuk dapat Rp100 ribu sehari aja susahnya minta ampun," keluh Dadang.
Hal yang sama juga dirasakan Zaynudin, 51 tahun, yang saya temui saat sedang mengetem di Stasiun Gondangdia. Dia menawari saya untuk naik bajajnya.
"Gambir... Senen... Gambir... Senen."
Dua lokasi itu saja yang kerap ditawarkan Zaynudin dan juga rekan-rekannya di pangkalan bajaj Gondangdia.
"Memang biasanya penumpang ke arah sana," kata Zaynudin.
Saya meminta diantarkan ke Stasiun Kota kepada sopir bajaj lain sebelumnya.
"Yuk, tujuh puluh ribu,"
Mahal juga. Saya lalu memilih menuju Senen. Jaraknya hanya dua kilometer lebih sedikit. Zaynudin mematok harga Rp20 ribu. Sedangkan ke Gambir Rp25 ribu. Tarif itu seragam dengan sopir bajaj lain.
Tujuh kilometer dari Stasiun Kota dengan berkaos sederhana, bertopi, handuk di leher, seorang pria duduk di bangku sopir bajaj. Dia adalah Rian, 25 tahun.
"Ke Monas berapa, Pak?” tanya saya pada Rian ketika waktu menunjukkan pukul 09.45.
Rautnya yang nampak masih muda itu agak terkejut. Dia berhenti menghitung lembaran uang kertas di tangannya, lalu berkata, "Rp25 ribu."
Saya menawar Rp20 ribu. Laki-laki itu berpikir sejenak dan mengiyakan dengan penuh keraguan.
"Kalau Rp15 ribu?" tawar saya lagi.
"Jangan. Muternya jauh," sebutnya.
Seketika gemuruh knalpot bajaj memekakkan telinga. Bajaj itu melaju membawa saya yang sepakat membayar Rp20 ribu. Dia mengantar saya pertokoan kawasan Sarinah yang pada Sabtu pagi (13/10/2018) itu, sudah cukup banyak kendaraan berlalu lalang.
Rian baru menjadi sopir bajaj sekitar 3 tahunan. Beberapa pekerjaan telah ia jajal sebelumnya. Mulai dari menjadi kernet bus Kopaja hingga menjual gorengan.
"Tidak ada pilihan lain, selain sopir bajaj. Saya cuma lulusan SD," kata dia.
"Saya enggak ada SIM buat jadi sopir bus,” lanjut Rian. “Saya juga enggak punya motor. Jadi sopir ojek online, malah jadi nambah beban biaya.”
Saat tahu ada kesempatan menjadi sopir bajaj, ia langsung beralih kerja hanya dengan modal menunjukkan KTP kepada pemilik bajaj. Dia tetap memilih pekerjaan itu, meski menyadari peminat moda transportasi makin sepi.
"Penumpang bajaj sudah sangat jarang. Mbak ini penumpang pertama saya hari ini," ujarnya.
Mulai pukul 08.00 WIB, ia sudah mulai ngetem di Sarinah untuk mencari penumpang. Biasanya hingga pukul 23.00 WIB. "Seharian kalau sepi bisa 7 penumpang. Kalau ramai bisa 10, 11, ke atas," ujarnya.
Ia mengatakan biasanya ramai penumpang terjadi pada Sabtu dan Minggu, di wilayah Tanah Abang.
Bersaing dengan Ojol dan Transjakarta
Sembari menyetir bajaj birunya, Zaynudin mengeluhkan kehadiran ojek online yang kini menggerus penghasilannya sehari-hari.
"Gimana ya? Mereka lebih mudah dan murah. Kami tersaingi di sini," keluh pria asal Tangerang itu.
Kendati demikian, ia tak berpikir untuk beralih menjadi pengojek online. Tiga puluh tahun menjadi sopir bajaj membuatnya terbiasa dengan kondisi demikian.
Sedangkan Rian mengatakan, keberadaan busway yang semakin intens dan luas wilayah operasinyanya, mempersempit kesempatan wilayah kerjanya. Apalagi ada ojek dan taksi daring yang semakin marak.
"Pernah kami [sopir bajaj] ribut sama ojek online, tapi enggak sering juga. Mereka kalau nyetir kadang kayak yang punya jalan, seenaknya," keluh Rian.
Terkait kenyamanan dan keamanan penumpan, kata Rian, bajaj yang dikendarainya telah rutin diikutkan uji kendaraan (KIR) setiap 6 bulan sekali. Sehingga ia memastikan rem, sein, wiper, klakson, dari bajajnya bekerja dengan baik.
"KIR biasa yang mengurusi bos yang punya bajaj ini," ujarnya.
Persaingan usaha juga terjadi di antar sopir bajaj. setiap sopir bajaj memiliki aturan sendiri untuk mencari penumpang. Misalnya, Rian ini, memiliki wilayah operasi untuk mencari penumpang sebatas di wilayah Sarinah, Thamrin, Tanah Abang, dan sekitarnya.
"Tapi buat nganteraja ke daerah lain enggak papa. Tapi enggak ngetem," ujarnya.
Tarif yang ia patok, hanya berdasarkan perkiraan. Jarak terjauh, dari Sarinah ke Ancol tarifnya Rp70 ribu hingga Rp80 ribu.
Besar Pasak Daripada Tiang
Zaynudin memiliki tiga orang anak, sementara Dadang mempunyai satu. Keduanya mengaku dengan keadaan persaingan saat ini, mereka cukup kesulitan memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Beruntung bagi Zaynudin yang sudah memiliki rumah di daerah Tangerang, hasil kerja keras puluhan tahun sebagai sopir bajaj. Sehingga tak perlu keluar ongkos sewa rumah.
Kedua anaknya pun sudah lulus kuliah. Hanya tinggal membiayai bungsunya dan kebutuhan seperti listrik sebesar Rp200 ribu per bulan dan makan sehari-hari. Saat ini, ia biasanya hanya mendapat Rp50 hingga 100 ribu per hari, setelah dipotong setoran kepada pemilik bajaj.
"Ya dicukup-cukupin. Sebenarnya sih, enggak cukup," kata Zaynudin.
Sedangkan Dadang, ia masih harus membayar sewa rumah per bulan sebesar Rp800 ribu. Belum lagi bayar cicilan bajaj sebesar Rp1,8 juta yang baru lunas dalam empat tahun ke depan. Alhasil ia harus mengetatkan pengeluaran untuk penuhi kebutuhan istri dan tiga anaknya.
"Kalau kredit bajaj sendiri kan, lama-lama jadi punya sendiri. Lagian perawatannya juga enggak sering. Ini saja belum pernah maintenance. Masih bagus-bagus saja," terangnya.
Sedangkan Rian, bapak anak satu ini, mengatakan hanya mengantongi pendapatan Rp40 ribu hingga Rp50 ribu per harinya. "Kadang dapet cepek pas bener-bener ramai. Kalau Rp200 ribu susah dapet, cari penumpangnya aja susah," ujarnya.
Pendapatan itu setelah dipotong dengan biaya sewa bajaj per hari Rp100 ribu, biaya beli bensin Rp20 ribu per hari, dan ada juga biaya keamanan untuk preman saat ngetem.
"Di Tanah Abang yang banyak palak-nya buat ngetem. Bayarnya Rp2 sampai Rp3 ribu setiap ngetem. Maksa-maksa gitu, kalau enggak ngasih di usir. Kalau ngetem di daerah Sarinah enggak ada palaknya," ujarnya.
Pendapatan yang minim membuatnya sering kali menunggak membayar uang kontrakan di Pejompongan, maupun uang sewa bajaj. Dia bersyukur belum pernah sampai diusir oleh pemilik kontrakan.
"Buat bayar bensin, listrik, kontrak sering pas-pasan. Jadi, saya sering nunggak bayar uang setoran bajaj untuk nutup kebutuhan sehari-hari. Pernah nunggak [setor uang sewa bajaj] seminggu," ungkapnya.
Laki-laki yang telah merantau di Jakarta sejak 2007 ini, mengatakan pernah mengalaminya dan akhirnya dia berpindah bos untuk dapat "narik" bajaj lagi. "Udah bebarapa kali pindah bos. Lupa ini bos keberapa. Cari setoran, pusing," ujarnya.
Para bos bajaj, kata dia, biasanya mengerahkan orang semacam preman untuk mengambil bajaj yang dibawa para sopir yang menunggak setor bayar. "Bisa [diambil] di jalan, di rumah [sopir bajaj]. Sudah diincar," ujarnya.
Tak Lagi Belepotan Oli
Pada saat Basuki Tjahja Purnama (Ahok) menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta, seluruh bajaj oranye diwajibkan beralih ke bajaj biru dengan bahan bakar gas. Mau tak mau, keduanya manut. Awalnya, mereka menyambut gembira kebijakan ini.
"Jadi enggak belepotan oli lagi. Lebih nyaman juga," kata Zaynudin. Tapi toh konversi itu, tak serta-merta menaikkan penghasilannya sebagai sopir bajaj. Penumpang tetap jarang datang.
Lagipula Stasiun Pengisian Bahan Bakar Gas (SPBG) juga tak banyak tersebar. Jika harus mengisi bahan bakar, ia harus ke daerah Pulo Gadung atau Pesing terlebih dahulu.
Sebagai pekerja yang kerap menghabiskan sebagian besar waktunya di jalan, keduanya kerap dihadapkan dengan kejadian tak terduga di jalanan ibukota. Misalnya saja, saat harus diberhentikan orang untuk membawa korban kecelakaan. Mereka harus berkejaran dengan waktu untuk membawa korban ke rumah sakit terdekat, tanpa dibayar.
"Yah jalani saja. Namanya orang minta tolong kan," kata Dadang. Rute terjauh yang pernah ditempuh Dadang adalah ke daerah Serpong hingga Bogor. Biasanya ia membawa penumpang dari Pasar Asemka yang membawa banyak barang bawaan.
Setia dengan Bajaj
Alfina, Hanna, Indah, tiga teman sekolah di salah satu SMK swasta Bekasi mengaku bangga menggunakan bajaj dan menurut ketiga siswi kelas 11 itu, bajaj perlu dilestarikan keberadaannya.
"Bajaj kan merupakan transportasi yang sudah lama di Indonesia, bisa jadi ciri khas. Jadi seharusnya dilestarikan," ujar para remaja usia 16 tahun ini kepada saat saya temui di depan Perpustakaan Nasional, Jakarta, Sabtu (13/10/2018).
Ketiganya menikmati perjalanan menggunakan bajaj. Sudah sering kali mereka menggunakan bajaj dari tempat penjualan buku di Kwitang ke Perpustakaan Nasional.
"Sering naik bajaj. Berasa bisa lebih ngerasain suasana Jakarta sambil nikmati anginnya," ungkap ketiganya. Naik bajaj, tambah Alfina, lebih murah dari pada naik taksi online bertiga dari Kwitang.
Sementara itu, Tina, 25 tahun, yang saya temui usai turun dari bajaj di depan Monas bersama temannya mengatakan, naik bajak bisa lebih praktis. Tanpa perlu order pakai gawai maupun naik busway menggunakan kartu elektronik. Meski harus lihai menawar harga.
"Lebih cepat naik bajaj. Tadi saya dari Tanah Abang mau ke Monas sini. Bayar Rp20 ribu, tadinya diminta Rp 40 ribu," ujarnya kepada saya, Sabtu (13/10/2018).
Penulis: Restu Diantina Putri
Editor: Dieqy Hasbi Widhana