tirto.id - Perbudakan pekerja paksa kulit hitam di Amerika telah berakhir. Tapi catatan hitam sejarah manusia abad 18-19 itu masih ada hingga kini. Perbudakan selalu menemukan gaya barunya di tiap zaman. Di tahun ini fenomena tersebut secara gamblang dipaparkan lewat hasil laporan Indeks Perbudakan Global (IPG) 2016.
Laporan IPG tahun ini merupakan rilis yang ketiga kalinya. Kendati masing-masing negara memiliki definisi perbudakan sendiri, metode riset IPG masih berpegang pada standar terminologi perbudakan sebagai situasi eksploitasi manusia—di mana budak tak bisa menolak atau pindah karena ancaman, kekerasan, pemaksaan, penyalahgunaan kekuasaan, atau tipu muslihat.
Budak Terbanyak Ada di Asia
Laporan IPG 2016, yang dikerjakan oleh Walk Free Foundation, menyebut ada kurang lebih 45,8 juta budak modern di seluruh dunia. Jumlah ini meningkat dari dua tahun sebelumnya. PG 2014 mencatat ada 35,8 juta budak modern di dunia.
Sebanyak 58 persen budak modern itu hidup di lima negara, yang semuanya ada di Asia. India menempati posisi teratas dengan 18,35 juta orang, diikuti Cina dengan 3,39 juta orang, Pakistan 2,13 juta orang, Bangladesh 1,53 juta orang, dan Uzbekistan 1,23 juta orang.
Negara-negara dengan budak dalam jumlah yang besar pun tak jauh berbeda dengan data tahun sebelumnya. Daftar tahun sebelumnya adalah India dengan 14,2 orang, Cina 3,24 juta orang, Pakistan 2,05 juta orang, Uzbekistan 1,20 juta orang, dan Rusia 1,04 juta orang. Bangladesh menjadi negara dengan peningkatan paling besar yakni sebanyak 820.000 orang dalam kurun waktu dua tahun saja.
Sementara bila ditelisik dari rasio budak dan jumlah penduduk, Korea Utara (Korut) berada di posisi teratas. Rasio budak di negeri komunis itu mencapai 1:20, alias satu dari 20 penduduk Korut merupakan budak. Uniknya, praktik ini didukung dan bahkan diorganisir pemerintah. Kurang lebih 100.000 budak asal Korut dikirim ke Cina atau Rusia dipekerjakan di sektor pertanian, perkayuan, konstruksi, tambang, dan industri garmen tanpa upah pantas.
Tidak hanya di Korut, praktik perbudakan juga terjadi di negara lain. Ragam praktik perbudakannya pun lebih variatif. Merujuk Protokol Perdagangan Manusia PBB tahun 2000, praktik perbudakan modern terjadi pada ranah prostitusi, eksploitasi seksual, buruh paksa, pernikahan paksa, dan perdagangan organ.
Uniknya, menurut IPG, mayoritas perbudakan modern justru terjadi di negara itu sendiri. Kisaran angkanya mencapai 85-90 persen. Sisanya adalah perbudakan lintas negara. Contohnya di India dan Pakistan. Di sana seringkali seluruh anggota keluarga menjadi budak di pabrik manufaktur, garmen, pabrik pembuatan batu bara, pertanian, atau sektor konstruksi.
Di lihat dari sisi pemilik modal, praktik perbudakan ini memang sangat menguntungkan. Dengan upah buruh setara dengan budak, keuntungan dari sistem perbudakan modern sangat menjanjikan. Organisasi Buruh Internasional (ILO) menduga perbudakan modern telah memberikan keuntungan sekitar 150 miliar dolar AS per tahun bagi para pemilik modal.
Ironisnya, sekitar 122 produk yang dibuat di 58 negara itu merupakan hasil kerja dari buruh yang diperlakukan sebagai budak. Dunia mengkonsumsi produk-produk dari buruh tangkap ikan di Thailand, bocah Kongo penambang berlian, anak pemetik kapas di Uzbekistan, gadis cilik India penjahit bola, hingga buruh garmen tanpa upah layak di Bangladesh atau Pakistan.
Aksi Negara-negara Sedunia
Laporan IPG selalu diniatkan sebagai tamparan bagi negara-negara untuk bergerak melawan perbudakan modern sejak dimulainya praktik globalisasi. Di satu sisi, ledakan populasi, kemiskinan, korupsi menyebabkan perbudakan global terus lestari. Jika pemerintah suatu negara tak mampu mengatasinya, niscaya perbudakan global akan terus ada.
IPG 2016 memberi catatan positif kepada beberapa negara selama setahun kemarin karena telah berusaha keras melawan perbudakan global. Belanda, Amerika Serikat (AS), Inggris, Swedia, Australia, Portugal, Kroasia, Spanyol, Belgia, dan Norwegia adalah negara-negara yang mendapatkan apresiasi IPG 2016. Negara-negara tersebut dinilai memiliki kebijakan politik kuat, sumber daya cukup, serta dukungan dari masyarakat sipil untuk menjaga akuntabilitas pemerintahnya.
Sejak tahun 2014, Inggris dan AS telah menguatkan perlawanan itu di ranah legislatif. Inggris telah mengesahkan Modern Slavery Act. Regulasi ini tak memberikan kesempatan pada praktik perbudakan sekaligus memberikan perlindungan penuh terhadap korban. Pada praktiknya, Komisioner Anti-Perbudakan Independen Inggris telah melakukan sejumlah penangkapan terhadap beberapa pelaku di Leicestershire, Greater Manchester, dan Cumbria.
Tahun ini, Inggris bergabung dengan kelompok negara-negara yang berkomitmen menerapkan akuntabilitas bagi pelaku bisnis. Mereka juga akan membuat laporan tahunan untuk bahan evaluasi. Sayang, langkah positif ini baru diikuti empat negara: Inggris, Brasil, Amerika Serikat, dan Australia.
Di Amerika Serikat, baru-baru ini Presiden Barack Obama menutup celah dalam undang-undang yang sebelumnya berpeluang meloloskan barang impor buatan pekerja anak-anak masuk ke AS. Sejak April lalu, petugas di perbatasan AS menyita barang-barang yang diduga atau memang dibuat oleh buruh anak-anak.
Penguatan atas peraturan serupa juga dilakukan pemerintah di nagara-negara lain. Di Mauritania, pemerintah negara itu menetapkan dan berusaha keras menerapkan undang-undang anti-perbudakan sejak setahun silam. Korban perbudakan bisa menindaklanjuti kasusnya ke meja hijau.
Kebijakan anti-perdagangan yang melibatkan produk hasil perbudakan juga diteken di Singapura, dengan beberapa penyesuaian agar selaras dengan standar internasional.
Di Tanzania, ada pelatihan khusus bagi aparat kepolisian untuk menanggulangi kasus perdagangan manusia. Pelatihan ini masuk ke kurikulum akademi kepolisian Tanzania.
Sedangkan di Haiti, pelatihan bagi calon petugas perburuhan baru difokuskan agar mereka mampu mengidentifikasi kasus-kasus eksploitasi anak-anak.
Perlindungan bagi para korban juga terus diupayakan, salah satunya oleh pemerintah Yordania. Pemerintah Yordania membentuk pasukan khusus untuk menangani kasus perdagangan manusia dan memberikan perlindungan untuk korban kekerasan berbasis gender.
Tak mau ketinggalan, Peru pun demikian. Kementerian Bidang Perempuan dan Populasi Rentan setempat telah sukses mendirikan penampungan untuk korban perdagangan anak.
Di Armenia, undang-undang Bantuan untuk Korban Perdagangan dan Eksploitasi Manusia telah disetujui dan mulai berlaku pada bulan Juni 2015. Tujuannya agar ada prosedur standar dalam proses idenifikasi, dukungan, perlindungan, dan reintegrasi bagi korban.
Bagaimana dengan Indonesia?
Awal April 2015, pemerintah Indonesia bekerja sama dengan International Organisation for Imigration (IOM) menyelamatkan lebih dari 2000 nelayan dari sebuah tempat terpencil di wilayah Maluku. Aksi penyelamatan dimulai saat Associated Press membeberkan kondisi tak manusiawi para nelayan di Benjina, sebuah area terpencil di Aru Tengah, Kepualauan Aru, Maluku.
Setelah dilakukan pemeriksaan awal dari pemerintah Indonesia, operasi penyelamatan pun dilaksanakan. Hasilnya ada lebih dari 370 nelayan yang diamankan di Tual. IOM melakukan identifikasi kepada para korban dan menyediakan kebutuhan mendasar seperti makanan, tempat tinggal, layanan kesehatan fisik dan layanan kesehatan psikologi.
Setelah dilakukan pengecekan secara menyeluruh, jumlah korbannya meningkat menjadi 656 nelayan, termasuk anak-anak dan lansia. Pada operasi penyergapan selanjutnya, ditemukan kurang lebih 475 korban baru di 77 pelabuhan di Ambon dari total 230 pelabuhan yang dicurigai menjadi titik penempatan nelayan-nelayan yang malang itu.
Semua korban berhasil dipulangkan ke asalnya masing-masing lewat bantuan IOM, kedutaan masing-masing negara dan/atau atau perusahaan ikan yang bersangkutan. IOM juga membantu para korban perdagangan manusia dengan tindakan yang serupa. Investigasi kasus ini mengakibatkan pencabutan izin dari pemerintah Indonesia untuk empat kelompok bisnis, 18 perusahaan dan 388 kapal pencari ikan. Lima warga negara asing dan tiga orang asli Indonesia yang bertindak sebagai otak kejahatan pun dijebloskan ke bui selama tiga tahun.
Namun, respons pemerintah Indonesia terhadap perlawanan perbudakan perlu ditingkatkan. Menurut rangking IPG 2016 di kawasan Asia Pasifik, Indonesia baru diberi rating B, sama seperti Bangladesh, Nepal, Vietnam, Sri Lanka, Thailand, dan India. Indonesia mesti berusaha untuk meningkatkan kinerja agar mampu seperti Filipina dan Selandia Baru dengan rating BB, atau akan lebih baik lagi jika mengikuti jejak Australia dengan rating BBB-nya.
Untuk usaha itu, kerja sama antara pemerintah, LSM, aparat keamanan, dan para jurnalis adalah harga mati. Elemen-elemen tersebut perlu terus berada di garis depan demi masa depan dunia yang bebas dari perbudakan dalam segala variannya.
Andrew Forrest selaku pendiri dan direktur Walk Free Foundation, menyebut usaha perlawanan perbudakan tersebut bukanlah catatan akademik semata. Melainkan sebuah panggilan bagi para pemimpin dunia untuk bertindak. Bukan dalam bungkus kepura-puraan, tetapi bisa bertindak dengan akurat dengan melibatkan kepala pemerintahan, para pelaku bisnis, dan tak ketinggalan segenap elemen masyarakat sipil.
“Mereka harus menggunakan kekuasaan, tanggung jawab, kekuatan, serta kehendak kolektif yang kuat agar kita bisa bahu-membahu mengakhiri praktik perbudakan di dunia,” tegasnya.
Penulis: Akhmad Muawal Hasan
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti