tirto.id - “Mohon bantuan semua member ICJ, jika menemukan anak kecil umur 11 tahun atas nama Asnawi, pergi dari Ponpes Darul Qur'an Jogja untuk pulang ke rumah orang tuanya tapi sampai malam ini (Kamis, 24/11/2016) belum sampai.”
Informasi kemanusiaan semacam ini berseliweran di halaman grup Facebook Info Cegatan Jogja (ICJ). Isinya tak hanya seputar informasi orang hilang, tapi member ICJ saling mengingatkan modus kejahatan, razia palsu, sidang SIM, cara mengurus KTP, dan banyak persoalan yang dekat dengan kehidupan sehari-hari warga Yogyakarta.
ICJ lahir untuk mengatasi persoalan-persoalan sosial yang tak tersentuh pemerintah ataupun luput dari pemberitaan media mainstream. Para member ICJ justru mempercayai jaringan masyarakat via online khususnya Facebook.
Kehadiran ICJ tak lepas dari peran Yanto Sumantri, seorang pendiri grup ini tinggal di wilayah Dongkelan, Yogyakarta. Pria yang sehari-hari bekerja sebagai teknisi smartphone ini mengungkapkan grup ICJ dibangun bersama sembilan rekannya pada 2013.
Yanto dan pendiri grup lainnya rata-rata mahasiswa dan berasal dari luar daerah. Mereka merasa informasi sederhana seperti handphone jatuh di jalan penting untuk di-share agar pemilik menjadi lebih mudah untuk menemukan kembali. Gerakan di dalam grup Facebook ini masih sesuai dengan ide awalnya, memberikan informasi kebutuhan-kebutuhan yang tak diperhatikan oleh banyak orang.
Namun, setiap informasi yang beredar memang perlu diverifikasi karena tidak semuanya valid. Ruang terbuka saling komentar antar member jadi sarana validasi informasi yang efektif terhadap kebenaran informasi yang diposting dalam ICJ.
“Kadang-kadang ada info yang palsu, tapi dengan banyak member di situ bisa dipastikan ada orang lain yang lebih tahu informasi itu kemudian memvalidasi informasi tersebut,” kata Yanto.
Dengan informasi yang valid, beberapa masalah yang awalnya susah dicari jalan keluarnya, mampu diatasi dengan mudah. Beberapa kasus seperti barang hilang, sang pemilik bisa menemukan kembali barang miliknya karena memantau ICJ.
“Kami ingin masyarakat mau memahami keadaan masyarakat di luar sana, manfaatkan informasi itu tanpa menunggu atau mengadu ke instansi, terutama untuk kepolisian dan instansi pemerintah dengan melihat informasi yang diposting di ICJ ya harapannya bisa bergerak cepat,” kata Yanto.
Setelah ditinggalkan oleh beberapa pendirinya, grup ICJ tak lantas mati. Anggotanya malah makin bertambah. ICJ terus berkembang dengan anggota mencapai 359.460 orang (25 November 2016). Jumlah ini terus dinamis, setiap seminggu sekali permintaan anggota terus bertambah, tapi di sisi lain dalam sehari ada 100-an anggota yang diblokir oleh pengelola. Para pengurus ICJ menerapkan aturan tetap, bila ada anggota yang melanggar aturan maka akan diblokir dari grup. Member tidak boleh memposting artikel yang mengandung SARA, pornografi, hak cipta milik orang lain, promosi produk, provokasi, dan sebagainya.
“Grup ini bukan untuk ajang bully dan provokasi tapi untuk berbagi informasi yang bermanfaat dan dibutuhkan oleh orang lain,” kata Yanto.
Para anggota pun tak hanya berinteraksi di dunia maya, sesekali mereka kopi darat dengan menggelar pertemuan rutin mingguan di wilayah masing-masing. Selain itu, setiap dua atau tiga bulan sekali juga diadakan pertemuan dalam skala besar. Di luar pertemuan rutin, anggota yang saling mengenal akan saling mengunjungi.
ICJ tak hanya sebagai sarana komunitas sosial di dunia maya maupun dunia nyata bagi membernya. Grup facebook ini sudah dianggap sebagai pengganti media koran, bahkan lebih dari itu. Orang-orang bisa mengetahui informasi secara real time dan mencoba saling membantu, dari urusan kendaraan bermasalah hingga persoalan di jalan.
“Member ICJ bisa saling tolong menolong pada saat itu juga,” kata Adrianda Chandra Kusuma, member ICJ.
ICJ merupakan salah satu bukti bahwa media sosial tak hanya disesaki oleh saling membenci dan kabar bohong. Lewat media sosial, anggota ICJ bisa saling membantu sesamanya.
Penulis: Mutaya Saroh
Editor: Suhendra