tirto.id - Rina Anjarwati, seorang bidan di desa Tubanan, Jepara, Jawa Tengah, sering menemukan keluhan pada sistem pernapasan dari para pasien yang berobat. Keluhannya seputar sesak nafas, batuk, pilek, dan tak mengenal musim alias terjadi setiap hari. Anak-anak, yang daya tahannya tak sekuat orang dewasa, menjadi pasien yang paling rajin berobat ke tempat Rina bekerja.
Rina mengungkapkan cerita tersebut kepada Greenpeace Indonesia. Cerita Rina hanyalah satu dari sekian banyak testimoni yang dikumpulkan dari penduduk yang tinggal di sekitar PLTU batu bara Tanjung Jati B Jepara. Greenpeace mengumpulkan testimoni warga sekitar untuk mengetahui efek negatif atas polusi yang setiap hari diproduksi pembangkit listrik tersebut.
Merujuk laporan kolaborasi Greenpeace dan Universitas Harvard pada Agustus 2015 silam, gangguan sistem pernafasan adalah efek paling ringan akibat polutan batu bara. Pada tingkat lebih parah, dampak buruk hadirnya PLTU batu bara di Jepara—dan tempat-tempat lain di Indonesia maupun dunia—dapat memburuk menyebabkan kematian dini.
Sekadar info, Tanjung Jati B Jepara adalah PLTU batu bara dengan jumlah produksi energi listrik sebesar 2640 MW. PLTU ini sudah beroperasi sejak 2006 lalu. Sayang, energi yang dihasilkan dari pembakaran batu bara untuk menghasilkan tenaga uap itu mesti dibayar dengan nyawa penduduk sekitar. Angka mortalitasnya gigantis. Hingga tahun 2012 saja, Greenpeace memperkirakan emisi PLTU Jepara diestimasi telah menyebabkan 1.020 kematian dini per tahun.
Menurut data Greenpeace, 20 kematian anak-anak pada usia di bawah usia lima tahun diakibatkan oleh infeksi akut saluran pernafasan dan 90 kematian diakibatkan penyakit pernafasan kronis. Sebanyak 60 kematian disebabkan oleh kanker paru-paru obstruktif kronis, 400 kematian diakibatkan penyakit jantung iskemik, dan 450 kematian akibat stroke.
PLTU batu bara dan emisi yang dihasilkan lewat cerobong asapnya menyebabkan masyarakat terpapar bahan-bahan beracun, ozon, dan logam berat. Logam berat tersebut mencangkup cadmium, nikel, kromium, arsenik, timbal, merkuri, nitrogen oksida, dan sulfur oksida.
Penyebabnya, menurut laporan Greenpeace, partikel-partikel halus polutan batu bara menembus ke dalam paru-paru dan aliran darah. Penyakit yang timbul mulai dari kanker, serangan asma, ganguan fungsi paru-paru, hingga gangguan perkembangan paru-paru pada anak.
Sementara itu di tingkat nasional, korban akibat polutan batu bara bisa jadi lebih banyak. Mengingat di pulau Jawa dan Bali saja, Indonesia memiliki kurang lebih 13 PLTU batu bara. Di luar pulau Jawa dan Bali, Indonesia memiliki 25 PLTU batu bara baru yang akan segera dibangun mulai dari Aceh hingga Papua. Pembangkit listrik yang menghasilkan partikel-partikel polutan berbahaya itu saat ini mengakibatkan kematian dini sekurang-kurangnya untuk 6.500 jiwa per tahun di Indonesia.
Penyebab utamanya masih berkutat pada penyakit stroke yaitu 2.700 jiwa, penyakit jantung iskemik sebanyak 2.300 jiwa, kanker paru-paru sejumlah 300 jiwa, penyakit paru-paru obstruktif kronik sebanyak 400 jiwa, serta penyakit pernafasan dan kardiovaskular lainnya sebanyak 800 jiwa.
Jika rencana pemerintah untuk menambah puluhan PTLU batu bara baru terlaksana seluruhnya, maka Greenpeace memperkirakan angka korban akan melonjak menjadi sekitar 15.700 jiwa per tahun. 6600 orang terkena stroke, 5.600 orang menderita jantung iskemik, 2.700 orang mengalami penyakit pernafasan dan kardiovaskular lainnya, dan 800 orang terjangkit kanker paru-paru.
Angka itu hanya berlaku di Indonesia. Di dunia, 3 juta orang per tahun mengalami kematian dini akibat polusi udara, estimasi total korban kematian dini akibat emisi PLTU batu bara mencapai 21.200 jiwa per tahunnya.
Memaksakan PLTU Tinggi Emisi
Kendati korban telah berjatuhan, pemerintah Indonesia masih bernafsu untuk membangun sebanyak-banyaknya PLTU batu bara guna menyuplai kebutuhan listrik yang terus meningkat. Menurut situs resmi PT PLN, pertumbuhan penjualan listrik untuk PLN pada Januari 2016 saja mencapai 7,54 persen. Pertumbuhan ini relatif tinggi dibanding tahun lalu yang tidak pernah lebih dari 3,7 persen.
Serapan terbesar dari kebutuhan listrik itu masih didominasi sektor industri. Selain itu, pemerintah berdalih pembangunan PLTU batu bara juga untuk mengatasi kelangkaan listrik di kawasan PLTU maupun daerah lain.
Mengapa pemerintah terobsesi dengan PLTU batu bara? Dari segi bahan bakar utama, batu bara mudah disimpan, ditransportasikan, dan digunakan, tak seperti sumber energi primer lain. Aksesnya di seluruh dunia pun mudah. Di Indonesia cadangannya pun masih berlimpah. Dari segi proses operasional, PLTU batu bara selalu kontinu, mudah diprediksi, dan dapat diandalkan sebab mampu bekerja selama 24 jam non-stop.
Dari sekian banyak alasan, alasan harga yang murah adalah yang utama. Apalagi kini harga baru bara terus menurun hingga mencapai 52 persen sejak 2011. Dengan biaya produksi dan operasional yang murah-meriah, tak heran pemerintah Indonesia menjadikan PLTU batu bara sebagai pembangkit tenaga listrik terfavorit.
Sayang, rendahnya harga produksi dan operasional PLTU batu bara menjadi murahan jika juga turut memproduksi dampak buruk bagi lingkungan hidup di sekitarnya.
Dampak mengerikan bagi manusia yang telah dipaparkan hanya satu bagian dari kerusakan ekosistem secara menyeluruh. Tak hanya mencemari udara, PLTU plus tambang batu baranya juga meracuni tanah serta perairan di sekitar pembangkit.
Dalam konteks global, Badan Energi Internasional atau IEA mengungkapkan bahwa bahan bakar batu bara menyumbang 44 persen dari total emisi CO2 global dan sumber terbesar emisi gas rumah kaca yang memicu perubahan iklim.
Konsekuensi yang fatal, ekstensif, dan global dari PLTU batu bara tak digubris pemerintah. Presiden Joko Widodo justru makin bergegas ingin menyelesaikan rencana pembangunan PLTU-PLTU yang mangkrak sejak 10 tahun lalu. Salah satunya adalah PLTU Batang.
Pada awal Juni lalu, Presiden Joko Widodo menjadi saksi diserahkannya financial closing (kesepakatan pembiayaan) setelah setahun sebelumnya meresmikan pembangunan proyek PLTU Batang. Penyerahan financial closing menjadi dasar bagi pemerintah untuk mendesak investor proyek agar segera merealisasikan PLTU Batang selambat-lambatnya pada 2019 nanti.
“Ini adalah proyek besar yang bisa memberikan pesan bahwa untuk kebutuhan dan keperluan rakyat, pemerintah akan ikut menyelesaikan masalah yang ada. Karena kita tahu, kalau proyek ini tidak dimulai, saya sudah membayangkan 2019 itu byarpet-nya akan tambah meluas. Ini karena kebutuhan listrik setiap tahun bertambah, bertambah dan bertambah,” ungkap Jokowi sebagaimana dikutip laman resmi PT PLN.
Padahal, Greenpeace menyebut, emisi polutan udara PLTU Batang diproyeksikan akan menyebabkan 780 kematian dini per tahun. Ini termasuk 340 kematian akibat stroke, 300 kematian akibat penyakit jantung siskemik, 40 kematian akibat kanker paru-paru, 70 kematian akibat penyakit pernapasan kronis dan 10 kematian dari anak-anak kecil karena penyakit pernapasan akut.
Ditinggalkan Negara Maju
Dengan menggenjot PLTU batu bara, Indonesia bisa disebut ketinggalan zaman. Faktanya, banyak negara-negara di dunia yang mulai meninggalkan pembangkit listrik berbahan bakar batu bara.
Di Amerika Serikat (AS) misalnya, sebanyak 200 PLTU batu bara dijadwalkan akan ditutup. Sebanyak 24 perusahaan batu bara telah berhenti beroperasi dalam tiga tahun terakhir dan seperenam dari perusahaan tersisa telah mengalami kerugian. Sebaliknya, AS akan menambahkan 46 gigawatt kebutuhan listriknya dari energi-energi terbarukan, antara lain dari angin, matahari, serta teknologi panas bumi.
Langkah serupa ditiru Cina. Sejak beberapa tahun terakhir negeri tirai bambu dikritik habis-habisan oleh dunia internasional karena pembakaran batu bara di pembangkit listriknya menghasilkan polusi mematikan. Belakangan, Cina mulai meninggalkan batu bara untuk sumber pembangkit listriknya.
Menurut laporan International Energy Agency, pembangkit listrik tenaga batu bara Cina pada kuartal pertama 2015 mengalami penurunan 3,7 persen, sedangkan pembangkit listrik tenaga air naik 17 persen. Sementara pembangkit listrik tenaga angin dan tenaga surya naik lebih dari 20 persen. Sebaliknya, penjualan batu bara Cina juga menurun 4.7 persen di kuartal tersebut dibandingkan dengan waktu yang sama di tahun 2014. Impor batu bara juga menurun drastis sebesar 40 persen di periode yang sama.
Vietnam tak mau ketinggalan. Di akhir Januari 2015, negeri komunis itu mengumumkan akan merivisi kembali rencana pengembangan energinya untuk menghentikan pembangunan pembangkit batu bara baru dan beralih ke sumber tenaga angin, matahari, dan energi efisiensi.
Perdana Menteri Vietnam menegaskan , tak ada kesempatan untuk batu bara. “Ada kebutuhan untuk memonitor isu-isu lingkungan, terutama dalam pemantauan ketat dari pembangkit listrik tenaga batu bara, untuk meninjau rencana pengembangan semua pembangkit listrik tenaga batu bara dan menghentikan setiap pengembangan listrik tenaga batu bara baru, untuk mulai menggantikan batubara dengan gas alam,” ungkapnya seperti dilansir dari laman Greenpeace Indonesia.
“Untuk bertanggung jawab melaksanakan semua komitmen internasional dalam mengurangi emisi gas rumah kaca, untuk mempercepat investasi dalam energi terbarukan, termasuk mekanisme pasar bangunan, kebijakan mendorong dan inisiatif, dan menarik investasi untuk energi surya dan angin,” lanjutnya.
India juga telah mengabarkan berita buruk bagi produsen batu bara internasional. Menteri Energi India Piyush Goyal pada awal tahun ini juga menyatakan akan bergerak cepat guna mewujudkan visi energi bersih dari Perdana Menteri Narendra Modi. Permintaan impor batu bara India telah jatuh dan harga produksi tenaga surya disana menjadi lebih murah dibanding pembangkit batu bara baru di Indonesia.
Langkah konkretnya adalah dengan membatalkan empat proposal PLTU batu bara dengan total kapasitas 16 gigawatt. Pembatalan Ultra Mega Power Plants (UMPP) yang terbentang dari Chhattisgarh, Karnataka, Maharashtra, dan Odisha itu menandakan keseriusan India dalam visi energi bersihnya
Tak dapat dipungkiri, kebutuhan listrik secara nasional dari negara-negara tersebut termasuk besar, apalagi untuk Cina dan India yang secara ekonomi sedang bergerak meninggalkan negara-negara asia lain. Namun, negara-negara tersebut juga belajar atas dampak buruk yang laten atas pemanfaatan PLTU batu bara. Tujuannya tentu demi penyediaan ekosistem yang sehat bagi warganya, bukan ekosistem yang mengancam.
PLTU batu bara di Indonesia seharusnya menjadi pilihan yang benar-benar terakhir. Ada banyak opsi pemanfaatan energi bersih dan terbarukan, mengingat potensi angin, matahari, panas bumi, gelombang laut, dan sumber energi terbarukan lain di Indonesia juga amat melimpah.
Indonesia memiliki 40 persen cadangan panas bumi dunia dengan kapasitas melebihi 29.000 megawatt, namun hingga saat ini yang dimanfaatkan baru 4 persen. Negara ini juga memiliki ribuan mil garis pantai di ratusan pulaunya dengan kecepatan angin yang konstan. Pemanfaatan energi matahari hanya 12 megawatt, padahal Indonesia berada di lintasan khatulistiwa dan menerima sinar matahari lebih banyak dari negara lain di dunia dengan potensi 4,8 kWh/m2/hari.
Meski pembangunan energi-energi tersebut lebih memakan biaya, tetapi ada jaminan keamanan dan kesehatan yang jelas di masa depan. Sebaliknya, meski produksi energinya mampu diandalkan dalam waktu yang cepat, namun PLTU batu bara juga mengorbankan nyawa penduduk sekitar dalam jumlah yang tak sedikit di waktu-waktu yang akan datang.
Alih-alih mengklaim sebagai langkah kemajuan, obsesi pemerintah Indonesia terhadap bahan bakar fosil, terutama batu bara, adalah sebuah kemunduran.
Penulis: Akhmad Muawal Hasan
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti