Menuju konten utama
Corona COVID-19

Bagaimana Wuhan Pulih dan Membuka Diri setelah 'Terkunci' 2 Bulan

Wuhan akan kembali membuka diri pada 8 April setelah dua bulan lockdown dan mengalami penurunan kasus positif COVID-19.

Bagaimana Wuhan Pulih dan Membuka Diri setelah 'Terkunci' 2 Bulan
Ilustrasi Wuhan. foto/istockphoto

tirto.id - Eskalasi kasus Corona COVID-19 di Indonesia semakin tajam. 23 hari sejak pengumuman kasus positif pertama, tepatnya pada 25 Maret kemarin, penderita positif virus mematikan ini telah mencapai angka 790 atau bertambah 105 kasus baru dalam satu hari.

Negara-negara lain juga masih berjibaku dengan pandemi ini. Per 24 Maret, Badan Kesehatan Dunia (WHO) mencatat jumlah kasus positif COVID-19 di Korea Selatan berjumlah 9.037, Italia 63.927, dan Iran sebanyak 23.049.

Total, per 24 Maret, ada 372.757 orang di seluruh dunia terjangkit virus ini. Di antara mereka ada yang sembuh, namun ada pula yang tak tertolong.

Saat dunia sedang kacau-kacaunya, Wuhan di Provinsi Hubei, Cina, dikenal sebagai 'kota kelahiran' SARS-CoV-2, justru perlahan mulai pulih. Para ahli memprediksi pandemi akan berakhir di kota ini pada akhir Maret.

Hal ini dibuktikan pula dengan pencabutan lockdown pada 8 April mendatang oleh otoritas setempat bagi penduduk yang memiliki 'kode hijau' atau dinyatakan sehat. Demikian dilansir BBC.

Pada 17 Maret, untuk pertama kalinya sejak virus ini ditemukan pada akhir Desember 2019, Wuhan melaporkan zero new case. Kendati demikian, pada 24 Maret muncul satu kasus baru setelah sekitar seminggu penuh tidak ada penambahan. Otoritas setempat beralasan mereka tidak mencatat kasus positif yang tidak melapor ke rumah sakit atau mereka yang positif namun tidak memiliki gejala.

Di hari yang sama, Cina melaporkan 78 kasus baru, 74 di antaranya merupakan penularan dari luar negeri atau imported case.

Kasus-kasus impor yang juga terjadi di Korea Selatan dan Singapura ini dikhawatirkan menjadi “gelombang kedua” penyebaran virus di Negeri Tirai Bambu itu.

Brutal, Namun Efektif

Wuhan ‘mengunci’ diri dari dunia luar sejak 23 Januari, saat wabah ini mulai memangsa ratusan orang. Mereka mengunci total kota mulai dari transportasi, kegiatan perekonomian, hingga pelayanan publik.

Hanya dalam beberapa jam setelah pengumuman lockdown, transportasi dari dan menuju kota ditutup total tanpa pengecualian, bahkan untuk perjalanan seorang diri atau kebutuhan darurat medis.

Sekolah dan kampus memperpanjang hari libur. Seluruh pertokoan tutup kecuali toko bahan makanan dan obat. Beberapa daerah bahkan hanya memperbolehkan satu orang anggota keluarga keluar membeli kebutuhan pokok tiap dua hari sekali.

Perlahan, kebijakan ini mulai diterapkan secara agresif. Petugas mulai mendatangi rumah-rumah penduduk untuk mengecek kesehatan–yang mengingatkan pada kebijakan checking basement yang dilakukan Nazi Jerman pada era Perang Dunia II–dan memaksa yang sakit untuk diisolasi.

Pengawasan kemudian meningkat ke seluruh daratan Cina. Hal ini dilakukan karena pemerintah pusat khawatir penyebaran virus dari orang-orang yang keluar Wuhan sebelum lockdown diberlakukan masif.

Otoritas Wuhan bahkan sempat-sempatnya memperingatkan negara lain untuk lebih memperhatikan keselamatan tim medis yang ada di garda depan penanggulangan pandemi sejak beberapa pekan terakhir. Mereka memperingatkan itu karena melihat banyak petugas yang bekerja tanpa dilengkapi alat pelindung diri yang memadai.

Banyak pihak, termasuk para ahli dan organisasi HAM seperti Amnesty International, menyayangkan keputusan ini. Kebijakan itu dinilai akan merugikan warga dan buruk secara ekonomi.

Terlebih, tidak pernah ada karantina massal dengan jumlah sebesar ini di era modern. Wuhan ditempati oleh 11 juta penduduk. 10 juta warga di kota sekitarnya juga ikut terdampak atas kebijakan lockdown ini.

The Guardian menyebut kebijakan ini brutal, namun toh efektif. Kendati demikian, asisten profesor Kesehatan Masyarakat dari Yale School Chen Xi mengatakan tidak semua metode perlu diadopsi negara lain.

“Saya pikir karantina massal sulit dilakukan dan tidak terlalu diperlakukan. Hubei mengambil kebijakan karena mereka cukup lama mengisolasi diri sehingga mereka memiliki kapasitas lebih untuk mengatasi krisis ini.” katanya.

Xi menambahkan, opsi yang memungkinkan dapat dilakukan negara lain antara lain berupa social distancing, diagnosis awal, karantina awal, dan perawatan lebih awal untuk orang dalam pemantauan (ODP).

Di Indonesia, Presiden Joko Widodo tak mengambil opsi lockdown baik untuk Jakarta atau Indonesia secara keseluruhan. Alasannya, setiap negara memiliki karakter, budaya, dan kedisplinan yang berbeda-beda, katanya di Istana Merdeka, Jakarta, Selasa (24/3/2020), seperti dikutip dari Antara. Kendati demikian, pemerintah juga tak melakukan diagnosis, imbauan social distancing, atau upaya preventif lain lebih awal saat COVID-19 mulai mewabah.

Mungkin karena itulah Indonesia tercatat sebagai salah satu negara dengan tingkat kematian akibat COVID-19 tertinggi di dunia yakni, 7,34 persen per 25 Maret 2020.

Baca juga artikel terkait PANDEMI CORONA atau tulisan lainnya dari Restu Diantina Putri

tirto.id - Kesehatan
Penulis: Restu Diantina Putri
Editor: Rio Apinino