tirto.id - Satu pagi di awal Oktober 2014, di Pintu Tol Kalimalang 2 Tol Lingkar Luar Timur, sebuah mobil Toyota Land Cruiser melesat kencang jelang pintu tol. Untungnya palang penutup pada pintu tol terbuka seketika.
Pengemudi Land Cruiser itu adalah Dahlan Iskan, yang saat itu masih menjabat menteri BUMN sedang melakukan uji coba yang sukses alat On Board Unit (OBU) pada pintu tol otomatis. Dengan teknologi ini, pengendara mobil tak perlu bersusah-susah membuka kaca jendela untuk bertransaksi tunai atau menempel kartu non tunai di pintu tol.
Beberapa tahun setelah kejadian itu, gagasan penerapan teknologi OBU sedang disiapkan pemerintah, bersamaan dengan kebijakan penggunaan transaksi non tunai di pintu-pintu tol yang berlaku penuh mulai 31 Oktober 2017. Bedanya, penerapan OBU baru akan berlangsung Desember 2018. Teknologi ini juga sering disebut multi lane free flow (MLFF) alias pembayaran di pintu tol tanpa henti.
Baca juga:Pengguna Tol Tak Perlu Transaksi Tunai di Tol Desember 2018
Teknologi transaksi tol tanpa henti ini telah lama dipikirkan kalangan akademisi. William S. Vickrey, ekonom asal Amerika Serikat pemenang hadiah Nobel di bidang Ekonomi, pada akhir dekade 1950-an merupakan sosok pencetus sistem pembayaran tol secara elektronik yang memungkinkan pengendara tak menghentikan laju kendaraannya saat bertransaksi di gerbang tol.
Vickrey, yang melakukan studi masalah transportasi di Washington DC, menyatakan perlunya otomatisasi secara elektronik pembayaran tol dengan memanfaatkan transponder yang dipasang pada setiap kendaraan.
Vickrey dalam jurnalnya berjudul “Pricing in Urban and Suburban Transport” menyatakan bahwa ia berharap harga transponder yang kelak dipasang pada tiap kendaraan tak lebih mahal dari $20 per unit. Penggunaan sistem otomatis ini berguna pula untuk memudahkan pemberlakuan pembedaan tarif tol antara jam sibuk dan waktu normal. Serta pembedaan tarif tol pada wilayah-wilayah tertentu. Namun, meski gagasannya lahir di AS, tapi penerapannya terjadi di luar Negeri Paman Sam.
Norwegia tercatat merupakan salah satu negara pertama yang menerapkan sistem pembayaran tol secara elektronik sejak 1986. Di Amerika Serikat, merujuk sebuah jurnal berjudul “Hitching a Ride: Every Time You Take a Drive, the Goverment is Riding With You” karya Benjamin Burnham menyatakan bahwa implementasi pemikiran Vickerey baru diwujudkan pada suatu sistem pembayaran bernama IPass pada 1993 di Illinous, Amerika Serikat.
Kala itu jalan tol 1-355 North-South adalah tol pertama yang menerapkan teknologi ini. Sejak pertama diterapkan, penggunaan IPass di Amerika Serikat terbilang sukses. Pada awal 2005 lalu, diperkirakan terdapat 1,9 juta transponder IPass yang dipasang di berbagai kendaraan milik warga Amerika Serikat.
Selain IPass, Amerika Serikat juga memiliki varian lain bernama E-ZPass. E-ZPass merupakan sistem pembayaran elektronik yang digagas oleh 7 agensi tol independen yang tergabung dalam wadah bernama Interagency Group. E-ZPass kali pertama diimplementasikan di sebuah tol di New York bernama New York Thruway pada Agustus 1993. Pada awal 2005, E-ZPass telah digunakan oleh 16 juta pengendara.
Baca juga: Ancaman Sesungguhnya Bukan Buruh Cina, Tapi Robot Pekerja
Teknologi serupa IPass dan E-ZPass juga diterapkan di Singapura melalui Electronic Road Pricing System (ERP). ERP merupakan kelanjutan sistem pembayaran memasuki kawasan Central Business District (CBD). Sebelum penerapan ERP, pemerintah Singapura memiliki dua skema pembayaran bagi pengendara yang memasuki kawasan CBD. Dalam jurnal berjudul “Road Pricing Singapore’s Expereince” karya Chin Kian Keong, dua sistem tersebut ialah Area License Scheme (ALS) dan Road Pricing Schemes (RPS).
Konsep ALS kali pertama mengemuka pada 1973 guna meningkatkan kualitas transportasi di Singapura. ALS mewajibkan para pengendara membeli terlebih dahulu lisensi memasuki kawasan khusus di Singapura yang menerapkan sistem pembayaran tersebut. Sementara RPS merupakan implementasi ALS pada jalan tol yang mulai diterapkan pada 1995.
Di Indonesia, sebuah bank milik pemerintah merilis sebuah alat bernama e-Tollpass. Mirip sebagaimana konsep yang digagas Vickrey, e-Tollpass memungkinkan pengendara memasuki tol tanpa perlu menghentikan laju untuk melakukan transaksi pembayaran layanan tol. Ini sebangun dengan konsep MLFF yang kelak akan diimplementasikan pemerintah tahun depan.
Dalam kerjanya, e-Tollpass hanya mewajibkan pengendara untuk menurunkan kecepatan kendaraan pada titik 10 km/jam. Memanfaatkan kartu uang elektronik yang dipasang di e-Tollpass, secara otomatis, saldo akan berkurang ketika memasuki gerbang tol. Sayangnya, penerapan e-Tollpass terbatas pada gerbang tol yang telah didukung perangkat teknologi ini. e-Tollpass saat ini baru bisa digunakan di 18 gerbang tol yang tersebar di Jabotabek.
Secara umum, IPass, E-ZPass, ERP, maupun e-Tollpass merupakan bagian dari suatu sistem manajemen lalu-lintas bernama Electronic Toll and Traffic Management (ETTM). Transponder, in-road sensor, dan sistem komputer dengan berbagai tujuan spesifik, merupakan perangkat wajib guna mengimplementasikan sistem otomatisasi jalan tol ini.
Transponder bisa dikatakan merupakan alat utama dari sistem otomatisasi jalan tol. Keutamaan ini terjadi karena transponder merupakan perangkat yang wajib dipasang di sisi kendaraan pengguna. Secanggih apapun pintu tol otomatis dengan berbagai perangkat otomatisasi, tanpa transponder yang terpasang di kendaraan, maka otomatisasi tak bisa bekerja.
Secara umum, transponder merupakan bagian dari suatu teknologi bernama Automatic Vehicle Identification (AVI). taknologi ini memiliki banyak teknik bagaimana transponder terhubung dengan komputer tol untuk memperoleh akses.
Pertama, teknik Inductive-Loop Systems, sebuah teknologi yang memanfaatkan frekuensi tingkat rendah yang dimanfaatkan suatu transponder untuk berinteraksi dengan sistem komputer pada pintu gerbang jalan tol. Kedua, Optical Systems, suatu teknologi yang memindai plat kendaraan atau barcode. Plat kendaraan atau barcode yang dipindai kemudian dicocokkan dengan basis data di komputer tol.
Ketiga, Active dan Passive RF System/Microwave Systems, merupakan suatu teknik yang memanfaatkan gelombang radio/microwave untuk berkomunikasi antara transponder dengan komputer. Transponder yang memanfaatkan teknologi Active dan Passive Radio Frequency System/Microwave Systems umumnya menggunakan frekuensi radio di rentang 900 hingga 928 MHz, 2.45 GHz, 5.8 GHz. IPass dan E-ZPass di Amerika Serikat menggunakan frekuensi radio di rentang pertama yang disebutkan.
Keempat, ada Surface Acoustical Wave, teknologi yang serupa dengan RF System namun menggunakan daya yang jauh lebih minim. Dalam konteks di luar teknik Optical Systems, cara kerja transponder terbilang sederhana. Burnham mengungkapkan bahwa ketika kendaraan memasuki gerbang tol, transponder yang terpasang di kendaraan akan menyala seketika selepas gelombang radio yang dipancarkan di jalan tol memantik transponder.
Umumnya, transponder akan terpantik menyala dalam jarak 6-9 meter dari sumber gelombang radio yang dipancarkan di tol. Kemudian, transponder yang telah menyala itu mengirimkan informasi akun penggunanya pada komputer tol yang telah terkoneksi dengan basis data. Secara otomatis, pembayaran memasuki area jalan tol terjadi selepas basis data pengguna dicocokkan dengan basis data di komputer tol. Dengan teknik ini pengendara tak perlu menghentikan laju dan bahkan mengurangi kecepatan.
Dapatnya transponder berkomunikasi dengan komputer tol terjadi karena di perangkat tersebut telah tercantum data-data pengendara. Ini mirip seperti kartu ATM yang di dalamnya telah termuat data-data si pemilik rekening bank. Dalam penerapan e-Tollpass, perangkat itu dimasukkan kartu uang elektronik yang ada dalam kendaraan.
Transaksi menggunakan sistem otomatisasi seperti ini membutuhkan waktu yang sangat cepat. Pemanfaatan alat seperti eTollpass memerlukan waktu 1 detik. Ini tentu sangat jauh lebih cepat dibandingkan bertransaksi menggunakan kartu uang elektronik yang membutuhkan waktu transaksi selama 4 detik apalagi bertransaksi secara manual yang setidaknya membutuhkan waktu 12 detik.
Tentu, penggunaan teknologi otomatis dalam memasuki jalan tol memang sangat diperlukan, terutama di Indonesia. Banyak kasus-kasus kemacetan yang terjadi di jalan tol di Indonesia disebabkan oleh tersendatnya kendaraan di gerbang tol. Dengan sistem otomatis dan tanpa menghentikan laju kendaraan, kasus-kasus kemacetan demikian akan mudah dihindarkan. Namun, secanggih apapun teknologi tentu tergantung dengan kesiapan sumber daya manusia di sisi pengelola tol, dan tentunya para pengguna.
Penulis: Ahmad Zaenudin
Editor: Suhendra