tirto.id - Isu banjir 10 juta buruh asal Cina ke Indonesia masih saja melanda masyarakat—terutama netizen. Pemerintah pun telah giat membantahnya dengan data yang valid, yakni menegaskan bahwa jumlah buruh asal Cina di Indonesia hanya 21.000. Isu itu, kata Presiden Jokowi, tak logis.
Sementara peredaran berita palsu masih banyak diyakini oleh sebagian besar masyarakat, ancaman kepada buruh di Indonesia dan negara-negara ASEAN lain sesungguhnya bukan buruh dari Negeri Tirai Bambu, melainkan proyek otomatisasi proses produksi. Artinya, buruh manusia di masa depan akan digantikan robot pekerja. Konstelasi persaingannya bukan lagi pribumi vs Cina, melainkan lebih luas lagi, yakni manusia vs robot.
Buruh asal Cina pun bisa jadi korban terbesar dalam persaingan ini. Pasalnya, baru-baru ini perusahaan pemanufaktur Foxconn berupaya memaksimalkan kualitas perakitan ponsel dengan cara menggantikan peran pekerja manusia dengan robot.
Dikutip dari DigiTimes pada Selasa (3/1/2016), General Manager Automation Technology Development Committee Foxconn, Dai Jia-peng, mengatakan perusahaannya memproduksi 10 ribu Foxbot (robot Foxconn) per tahun untuk mencapai target. Sedangkan yang telah beroperasi sebanyak 40 ribu Foxbot. Maret 2016, Foxconn mengklaim telah mengotomatisasi 60 ribu pekerjaan di salah satu pabriknya. Targetnya di tahun 2020, proses produksi yang melibatkan tenaga robot di pabrik Cina bisa mencapai 30 persen.
Salah satu pabrik Foxconn di Zhengzhou telah menerapkan fase kedua otomatisasi proses produksi dan tercatat mampu memproduksi 500 ribu unit iPhone. Dalam beberapa tahun ke depan, pabrik terbesar Foxconn tersebut menargetkan proses produksi bisa sepenuhnya melibatkan tenaga robot.
Adidas tak mau ketinggalan. Perusahaan perlengkapan olahraga raksasa asal Jerman itu mengumumkan bahwa di tahun 2017 ini akan mulai memproduksi sepatu dengan menggunakan jasa robot. Produksinya bukan lagi di negara-negara di Asia, namun di Jerman sendiri. Sebagamana dikutip The Guardian, Presiden Eksekutif Adidas Herbert Hainer berkata bahwa prototipe baru “Speedfactory” akan dibuat di di kawasan Ansbach, Jerman selatan.
Keputusan tersebut ditengarai akan lambat laun mengakhiri kerjasama produksi Adidas di sejumlah negara di Asia yang telah terjalin selama 20 tahun terakhir. Pabrik di Ansbach berada di lahan seluas 4.600 meter persegi. Salah satu alasan terbesar, manurut Heiner, adalah kemungkinan bahwa sepatu Adidas nanti diproduksi lebih cepat ketimbang produksi konvensional yang selama ini dibuat oleh tangan para buruh di Asia. Lebih lanjut lagi, hasil produksi akan lebih dekat dengan outlet penjualan.
Pabrik telah mengerjakan tes pertama yakni memproduksi 500 pasang sepatu sepanjang kuartal ketiga tahun lalu. Tahun ini Adidas akan memulai produksi skala besar bertemakan “Speed Factory” di Amerika Serikat. Adidas memproduksi 310 juta pasang sepatu di tahun 2015 dan membutuhkan tambahan 30 juta lagi per tahunnya agar bisa memenuhi targetnya tahun 2020 nanti.
Meski isu pemutusan hubungan kerja (PHK) banyak buruh di Asia dibantah oleh Heiner, namun pertambahnya angka pengangguran dinilai akan menjadi konsekuensi yang logis saat mesin dan robot mengambil alih pabrik. Enam sub-kontraktor Adidas di Cina menolak untuk berkomentar atas pendirian pabrik baru tersebut. Bahkan mereka tak tahu jika ada pabrik baru yang sedang dibangun.
Riset Organisasi Buruh Internasional (ILO) di tahun 2016 menyebutkan bahwa fenomena otomatisasi industri memberikan ancaman bagi 242,2 juta (56 persen) buruh manusia di seantero Asia Tenggara. Ancamannya pun merentang di berbagai bidang, mulai dari industri otomotif, garmen, retail, hingga bisnis outsourcing. Di Asia Tenggara, bisnis-bisnis tersebut kebanyakan dimiliki oleh perusahaan multinasional seperti Adidas yang "menitipkan" pabriknya di Indonesia, Thailand, Filipina, Kamboja, hingga Vietnam.
Ada lebih dari 60 persen buruh Indonesia dan 73 persen buruh Thailand di industri otomotif dan suku cadang yang terancam menjadi pengangguran akibat serbuan robot pekerja. Sementara itu di industri kelistrikan dan elektronik ancaman menanti 63 persen buruh Indonesia, 81 persen buruh Filipina, 74 persen buruh Thailand, dan 75 persen buruh Vietnam.
Di industri retail ancaman memburu 85 persen buruh Indonesia, 68 persen buruh Thailand,71 persen buruh Kamboja, dan 88 persen buruh Filipina. Di industri garmen, ancaman menyasar 64 persen buruh Indonesia, 86 persen buruh Vietnam, dan 88 persen buruh Kamboja. Sementara itu di bidang bisnis outsourcing, perkembangan robotisasi mengancam masa depan 89 buruh di Filipina.
Kekalahan Buruh di Negara Berkembang
Tahun lalu, Boston Consulting Group (BCG) mempublikasikan riset yang memprediksi adanya penurunan biaya operasional karyawan hingga 16 persen jika sebuah perusahaan menggunakan tenaga robot. Menurut hitung-hitungan bisnis, dalam jangka pendek, investasi pada robot tentu akan mempengaruhi cashflow. Namun, untuk jangka panjang, pekerja robot dinilai lebih murah seiring terus meningkatnya biaya buruh.
Fenomena ini barangkali tak akan menjadi bencana yang masif di negara-negara maju yang memiliki pekerja dengan tingkat skil yang relatif tinggi. Pemilik modal pun akan senang-senang saja sebab memiliki investasi yang cerah untuk jangka panjang. Namun lain halnya dengan buruh yang melimpah di negara-negara di Asia yang rata-rata memiliki skil rendah. Saat robot mengambil alih pabrik, mereka memiliki opsi bekerja yang lebih terbatas.
Laporan yang disusun Konferensi PBB tentang Perdagangan dan Pembangunan (UNCTAD) pada November 2016 menegaskan bahwa perkembangan robot di dunia industri memang memiliki kemungkinan untuk menghilangkan pekerjaan bagi 2/3 buruh di negara-negara berkembang. Sebagaimana dilansir Forbes, ancaman ini akan menyapu para buruh di Meksiko, Cina dan sebagiaan besar negara-negara di Asia, kawasan Amerika Latin, dan Afrika.
“Jika robot dianggap sebagai salah satu modal yang merupakan pengganti paling dekat bagi buruh berketerampilan rendah, maka penggunaannya nanti akan mengurangi pangsa tenaga kerja dalam total biaya produksi. Efek samping untuk negara-negara berkembang akan terlihat dengan cukup signifikan,” demikian paparan dari penulis laporan.
Kekalahan manusia atas teknologi ciptaannya sendiri masih belum terjadi hingga beberapa dekade ke depan, sebagaimana prediksi pengamat. Selama waktu tersebut berjalan, tak ada cara lain untuk mengantisipasinya kecuali inisiatif pemerintah sendiri untuk berinvestasi pada pendidikan keterampilan yang memadai bagi warganya.
Penulis: Akhmad Muawal Hasan
Editor: Maulida Sri Handayani