tirto.id - Dalam beberapa minggu terakhir, wacana pemerintah Provinsi Aceh yang akan melegalkan pernikahan poligami menimbulkan pro dan kontra.
Jauh sebelum Aceh mewacanakan pelegalan itu, poligami telah dipraktikkan secara luas dan menjadi tradisi bagi masyarakat Afrika di wilayah sub-Sahara dan sejumlah negara di Timur Tengah.
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada 2009 mencatat, ada 33 negara di dunia yang melegalkan pernikahan poligami maupun yang menerimanya di bawah hukum-hukum tertentu. Dari 33 negara itu, 25 di antaranya ada di Afrika.
Poligami tidak hanya berhenti di urusan rumah tangga, melainkan berdampak lebih besar. Mulai dari kemiskinan, ledakan populasi anak, eksploitasi anak dan kekerasan terhadap perempuan. Namun lebih dari itu, praktik poligami ternyata telah mendorong konflik hingga perang saudara. Setidaknya itu yang bisa dibaca dari artikel The Economist berjudul "The Link Between Polygamy and War" yang terbit pada Desember 2017.
Sudan Selatan, sebuah wilayah yang merdeka dari Sudan pada 2011, sejak 2013 sampai kini masih terus diguncang perang saudara yang berlarut-larut menyebabkan ratusan ribu nyawa melayang dan jutaan orang mengungsi. Paus Fransiskus dalam kunjungannya ke Sudan Selatan pada April 2019 sampai harus bertekuk lutut mencium kaki Presiden Sudan Selatan Salva Kiir dan selaku pemimpin oposisi Riek Machar, memohon agar peperangan disudahi.
Konflik antar etnis dan agama, lemahnya kepemimpinan, pejabat korup, rebutan sumber daya alam mungkin jadi faktor yang paling sering disebut ketika perang sipil mencuat. Namun, itu belum menampilkan keseluruhan cerita yang terjadi di kalangan akar rumput, yaitu poligami.
Di Sudan Selatan, di mana sekitar 40 persen pernikahannya adalah poligami, laki-laki bakal menikahi perempuan lebih dari sekali seiring dengan kekayaan mereka yang dirasa bertambah. Sementara seorang perempuan disebut sudah tua dan tak laku bila umurnya lewat 20 tahun.
Ini artinya, poligami hampir selalu dilakukan pria kaya. Ketika tren poligami membikin krisis perempuan, maka nilai mahar yang ditetapkan kepada para perempuan yang tersisa ikut naik. Tak jarang muncul kasus di mana seorang terpaksa perempuan menikah dengan pria yang tidak mereka cintai karena desakan keluarga yang menginginkan hewan ternak untuk bertahan hidup.
Kenapa hewan ternak jadi patokan?
Sebab tradisi pernikahan di sana juga sangat materialistik, seorang perempuan biasanya dihargai rata-rata 30 ekor sapi. Jika punya 10 anak perempuan, maka akan terkumpul 300 sapi dan bisa menjadi modal balik untuk mahar anak laki-laki ketika melamar perempuan lain.
Ini adalah persyaratan memusingkan bagi para pemuda lajang, pengangguran, atau hidup dalam kemiskinan. Bayangkan: kamu dianggap bocah sekaligus mendapat stigma karena belum menikah. Ketika ingin nikah, terbentur syarat yang berat.
Akhirnya, seringkali orang mencuri hewan ternak tetangga atau suku-suku sebelah. Dan ketika senjata api membanjiri negeri tersebut, maka perampokan ternak itu memicu kekerasan berdarah antarsuku. Tak mau kalah, para pemilik ternak sapi pun mempersenjatai diri dengan senapan atau minimal senjata tajam. Selain itu, memiliki senjata api bisa jadi alternatif ampuh bagi para pria Sudan untuk memaksa setiap perempuan yang ia temui agar mau menikah dengannya.
Keadaan makin parah ketika ketegangan yang awalnya skala kecil berubah menjadi perang saudara. Milisi-milisi pemberontak bermunculan dan merekrut para pria lajang yang tak mampu menikah. Para bujangan ini tertarik bergabung karena mereka bisa menjarah dan merampok. Dari harta rampokan itu, mereka bisa menikah.
Di Afrika Timur pada 2017, Muhammad Sanusi yang berkuasa di wilayah Kano di Nigeria Utara, berencana memberlakukan larangan pernikahan poligami kepada pria miskin karena bakal tidak mampu mencukupi kebutuhan keluarganya
Sanusi yang dikenal sebagai seorang ekonom dan mantan gubernur Bank Sentral Nigeria ini melihat ada hubungan antara poligami, kemiskinan, dan terorisme di negeri tersebut. Ia ingin mereformasi hukum di wilayah Muslim Kano dengan mendorong pelarangan pernikahan paksa dan menjadikan persetujuan pihak perempuan menjadi syarat mutlak ketika suami berpoligami.
“Kami di Utara (daerah Muslim) semua telah melihat konsekuensi ekonomi laki-laki yang tidak mampu mempertahankan satu istri dan menikahi empat perempuan. Mereka akhirnya menghasilkan 20 anak, tidak mendidik mereka, meninggalkan mereka di jalanan, dan mereka berakhir sebagai penjahat dan teroris,” ujarnya Sanusi yang juga punya empat istri, dikutip dari Face2Face Africa.
Sejak merdeka dari penjajahan Inggris tahun 1960, wilayah Nigeria utara tak banyak berubah dan jauh tertinggal ketimbang daerah lainnya seperti dalam hal angka melek huruf, akses ke perawatan kesehatan dan tingkat kemiskinan.
Kondisi ini diperparah dengan kemunculan milisi Boko Haram yang aktif melancarkan aksi teror dalam beberapa dekade terakhir. Mereka kerap menargetkan anak-anak untuk dijadikan milisi. Catatan UNICEF, pada 2016 kelompok ini merekrut sebanyak 2.000 anak.
Hubungan poligami dengan perang juga pernah diungkap oleh Satoshi Kanazawa dalam penelitiannya, “Evolutionary Psychological Foundations of Civil Wars” (2009). Dia menawarkan pandangan psikologis bahwa poligami menyisakan sejumlah besar pria lajang yang kalah bersaing mendapatkan istri, dan itu cenderung memicu konflik antarkelompok atau perang saudara.
Untuk mencari kecenderungan poligami dan perang saudara, Kanazawa memakai data Small and Singer's (1982) Correlates of War (COW) yang menyajikan data perang saudara maupun perang antarnegara dalam kurun tahun 1816 sampai 1980. Ia juga memakai data Encyclopedia of World Cultures (Levinson 1991-95) yang berisi uraian terperinci tentang praktik sosial dan budaya semua kelompok budaya yang dikenal di dunia.
Hasilnya, setelah diklasifikasi berdasarkan status sistem negara, perkembangan ekonomi, demokrasi, ketimpangan pendapatan, agama dan IQ nasional, kategori poligami muncul dan punya efek signifikan terhadap pengalaman perang saudara dalam sebuah bangsa. Semakin besar praktik poligami di suatu negara, semakin sering dan luasnya ia mengalami perang saudara.
Penjelasan lainnya yang disodorkan Kanazawa adalah ketika peperangan terjadi, ada kecenderungan populasi laki-laki banyak terkuras dan dengan demikian praktik poligami cenderung berpeluang besar terjadi. Apa yang diungkap Kanazawa setidaknya bisa dilihat dari kejadian di lapangan seperti salah satunya di Sudan Selatan yang sedang dilanda perang saudara.
Selain itu, perang sipil yang terjadi di Suriah sejak 2011 telah berdampak pada meningkatnya praktik poligami dan perceraian, seperti yang diwartakan AFP pada September 2016.
Tewasnya suami di medan pertempuran atau ditinggal pergi mengungsi ke luar negeri menyebabkan para istri yang memilih bertahan di kampung halaman terpaksa menjadi istri kedua dari para pria yang tersisa.
Catatan resmi pemerintah Suriah tahun 2015 menyebut, ada 30 persen pernikahan di negeri tersebut berstatus poligami. Angka ini meningkat pesat dibanding sebelum perang sipil meletus di mana pada 2010 poligami cuma sebesar lima persen.
Di Suriah, poligami yang dilakukan oleh komunitas Muslim dibolehkan dengan syarat-syarat ketat seperti adanya batasan perbedaan usia antara pihak laki-laki dan perempuan, jaminan bahwa suami dapat memenuhi kebutuhan para istri-istrinya termasuk membelikan rumah ketika istri lama menolak tinggal serumah dengan istri baru.
Tetapi dalam situasi kekacauan seperti ini, para hakim penegak hukum terpaksa melonggarkan aturan-aturan ketat tersebut. Karena alasan ekonomi, banyak perempuan yang mau dimadu.
"Perempuan yang dalam keadaan biasa akan menolak dipoligami, sekarang setuju untuk menikah dengan pria yang sudah menikah dan dapat memenuhi kebutuhan mereka serta memberi mereka rasa perlindungan," kata seorang psikolog Leila al-Sherif.
Editor: Nuran Wibisono