tirto.id - Profesor James Flynn dari University of Otago, Selandia Baru khawatir ketika nanti harus meninggalkan dunia kepada para generasi milenial. Di kampusnya, ia menemukan muridnya tidak berminat dengan masa lalu yang komplek dari dunia di sekeliling mereka. Padahal, secara akademis, mereka cemerlang dan memiliki potensi besar.
David Robson, kontributor untuk BBC kemudian menuliskan racauan profesor tersebut ketika mewawancarainya, “Mereka memiliki semua keterampilan di era modern ini. Namun, ketika keluar dari Universitas, mereka tidak ada bedanya dengan petani abad pertengahan yang terasing di dunia kecil mereka sendiri”.
Tudingan James Flynn yang terkenal terkait temuan Flynn Effect pada tes IQ ini boleh jadi merupakan konsekuensi dari benturan dua generasi yang hidup secara bersamaan di zaman sekarang. Antara generasi Boomer dan generasi X terhadap penerusnya, yaitu generasi milenial. Beberapa data memaparkan mengenai perilaku milenial selain keunggulan menguasai era digital modern dan lainnya, juga menunjukkan beberapa hal yang digelisahkan pendahulu mereka.
Survei Pew Research pada 2010 terkait pandangan milenial soal hidup dengan gaya ramah lingkungan menunjukkan, bahwa hanya 69 persen dari milenial memilih tindakan mendaur ulang kertas, plastik atau kaca bekas. Angka ini lebih rendah dari pendahulunya generasi X sebesar 77 persen dan generasi Boomer sebesar 72 persen. Ini juga diikuti oleh isu lain terkait anjuran pembelian produk ramah lingkungan, di mana milenial hanya menempati 53 persen dibanding orang tuanya yang memiliki persentase sedikit lebih baik sebesar 55 persen. Mengenai pembelian makanan organik, generasi Milenial hanya mencatatkan 36 persen dibanding generasi Y yang 38 persen.
Data terbaru yang dirilis World Economic Forum bersama Global Shapers Annual Survey 2016 menunjukkan, mayoritas para milenial masih mempertahankan isu-isu global seperti perubahan iklim, konflik, bencana dan krisis lainnya. Namun persentase masing-masing isu tidak mencapai 50 persen.
Survei yang dihimpun dari 26.000 milenial berusia 18-35 tahun di 181 negara ini menunjukkan, prioritas terbesar mereka ada pada perubahan iklim dan perusakan sumber daya alam dengan persentase total 45,2 persen. Milenial di Amerika Latin juga Karibia merupakan yang paling peduli terhadap pemanasan global dan perubahan iklim dengan persentase sebesar 51,8 persen, diikuti dari Asia Selatan sebesar 49,3 persen.
Keprihatinan mengenai konflik perang global berada di urutan kedua dengan persentase total 38,5 persen. Milenial yang memiliki keprihatinan terbesar dengan 54,3 persen ada di kawasan Eurasia, sedangkan di Timur Tengah dan Afrika Utara sebesar 50,3 persen.
Konflik agama berada di urutan ketiga, dengan total 33,8 persen menyatakan kepeduliannya. Ini terutama terjadi di Timur Tengah dan Afrika Utara sebesar 45,1 persen, Asia Selatan 44,1 persen, Eurasia 41,8 persen dan menyusul Eropa dengan 38,8 persen.
Hanya sebesar 15,1 persen milenial yang merasa prihatin atas krisis pangan dan ketersedian air. Milenial di Amerika Utara yang paling besar perhatiannya dengan 27,3 persen diikuti oleh milenial Eropa sebesar 21,5 persen.
Tentang akuntabilitas dan transparansi pemerintah juga korupsi, para milenial yang khawatir hanya sebesar 21,7 persen dengan proporsi terbesar 32 persen dari milenial di sub-Sahara Afrika. Diikuti wilayah Amerika Latin dan Karibia sebesar 27 persen, juga Timur Tengah dan Afrika Utara sebesar 23,2 persen.
Menyoal kebebasan politik dan stabilitas dunia, hanya mencatatkan sebesar 15,5 persen perhatian mereka dengan sekitar 19% dari milenial wilayah Asia Timur dan Pasifik merasa terganggu dengan kurangnya kebebasan politik dan stabilitas dunia. Diikuti kawasan Eurasia sebesar 18,9 persen.
Di sisi lain dari milenial, William Poundstone dalam bukunya berjudul Head in the Cloud yang baru terbit pada Juli lalu mengungkapkan hal yang lebih mendekati dari kegelisahan James Flynn di awal. Dia melakukan survei pengetahuan masyarakat di Inggris dan Amerika Serikat mulai dari budaya populer hingga fisika kuantum.
Hasilnya, lebih dari 50 persen mereka yang berumur di bawah 30 tahun tidak bisa menyebutkan nama laut terbesar di Bumi, istana yang dibangun oleh Louis XIV atau satelit pertama, tidak tahu siapa yang menemukan telegraf, radio atau phonograph. Juga tidak tahu mengenai kaisar Romawi yang dikatakan telah memainkan peran dalam terbakarnya Kota Roma.
Namun, sikap percaya diri dan narsistik khas generasi milenial juga ditunjukkan dalam survei World Economic Forum yang terbaru. Secara keseluruhan 70 persen responden milenial melihat dunia penuh dengan peluang dan 50 persen percaya bahwa mereka dapat secara aktif berkontribusi untuk pengambilan keputusan di negara mereka masing-masing.
Lantas, bisakah generasi milenial memandang dunia dengan tetap mengisi gap kekosongan terkait tuduhan kegagapan akan pengetahuan umum, sejarah dan isu-isu global? Atau para milenial justru telah memiliki sudut pandang yang lain dalam menjembatani masa lalu dan menyongsong masa depan?
Penulis: Tony Firman
Editor: Suhendra