tirto.id - Jumlah taksi dan ojek online semakin menjamur di DKI Jakarta. Persaingan memperebutkan penumpang pun kian ketat. Transportasi jadul seperti Metromini dan bajaj pun pelan-pelan ditinggalkan.
Bus kota seperti Metromini saat ini memang sudah tidak lagi diandalkan warga DKI Jakarta. Tak heran, bus yang lekat dengan warna oranye biru ini sering terlihat membawa sedikit penumpang. Tak jarang pula kosong melompong.
Saking sepinya penumpang, ada sopir bus kota yang berkelakar bahwa copet saja ogah naik Metromini. Beginilah nasib bus Metromini yang mulai beroperasi pada 1976 ketika Jakarta dipimpin Gubernur Ali Sadikin.
Bukan tanpa sebab jika bus berukuran sedang ini ditinggalkan penumpang. Metromini memiliki sederet persoalan, mulai dari maraknya kriminalitas, aksi ugal-ugalan sopir yang dikejar setoran, hingga usia bus yang sudah uzur (di atas 10 tahun).
Berkurangnya penumpang pada akhirnya membuat jumlah bus berukuran sedang di jalanan Ibukota turun drastis. Di luar Trans Jakarta, jumlah bus sedang pada 2015 tercatat 3.024 unit. Pada akhir 2018, jumlah bus itu tinggal 709 unit.
Tahun 2019 tampaknya menjadi tahun terakhir bagi Metromini. Pemprov DKI Jakarta telah mengeluarkan Perda No. 5/2014 tentang Transportasi yang melarang pengoperasian bus sedang berusia di atas 10 tahun.
Tapi, tak cuma bus berukuran sedang yang krisis penumpang. Bajaj pun mengalami nasib serupa. Gara-gara sulit mencari penumpang, populasi angkutan lingkungan di DKI Jakarta ini menurun drastis lebih dari 50 persen dibanding dua atau tiga tahun silam.
“Terakhir kami data, ada 14.000-15.000. Hari ini, data terbaru saya cek PTSP, tidak sampai 6.000 yang terdaftar di perizinan," kata Kepala Bidang Angkutan Jalan Dinas Perhubungan Provinsi DKI Jakarta, Massdes Aroufy dikutip dari Inews.
Aroufy mengaku upaya Pemprov DKI menyelamatkan bajaj dengan membagi rute di antara moda-moda transportasi umum menjadi tidak efektif karena ojek online sudah masuk hingga pelosok kampung.
Gandeng Mitra, Nasib Berbeda
Meski sama-sama mulai ditinggalkan, bukan berarti tidak ada upaya menyelamatkan Metromini dan bajaj. Metromini, misalnya, berencana membeli 100 bus sedang baru dan bergabung dengan PT Transportasi Jakarta (Trans Jakarta).
Jika rencana itu terwujud, Metromini akan menyusul Kopaja yang lebih dulu bergabung dengan Trans Jakarta pada 2015. Kopaja menjadi operator angkutan pengumpan (feeder) bus Trans Jakarta yang dibayar dengan sistem rupiah per kilometer.
Namun demikian, rencana kerja sama antara Metromini dan Trans Jakarta sampai saat ini belum disepakati. Imbasnya, rencana pengadaan 100 bus baru oleh Metromini juga belum dapat dilakukan.
“Itu dengan Trans Jakarta, kami siapkan Rp85 miliar. Sudah ada pembiayaannya, tetapi ini tanda tangan kontrak dengan Trans Jakarta lambat sekali jadi belum berani datangkan," kata Dirut Metromini Nofriadi dikutip dari Kontan.
Kerja sama dengan mitra bisnis juga bakal ditawarkan kepada para operator bajaj. Baru-baru ini, Grab berencana memperluas layanan transportasi online di Jakarta dengan menghadirkan layanan GrabBajay di aplikasi Grab.
Saat ini, Grab sudah bekerja sama dengan Dinas Perhubungan DKI Jakarta dalam penyediaan pemesanan bajaj secara online. Nanti, bajaj yang terdaftar dalam GrabBajaj adalah yang berbahan bakar gas.
“Sebagai perusahaan teknologi yang bervisi menjawab tantangan-tantangan transportasi lokal guna mewujudkan kebebasan transportasi untuk seluruh masyarakat Indonesia,” kata Kepala Kebijakan Publik Grab Indonesia Tri Sukma Anreianno dikutip dari Antara.
Layanan GrabBajay baru nantinya akan tersedia di lima titik Jakarta Pusat, yakni Stasiun Kota, ITC Manga Dua, Stasiun Mangga Besar, Stasiun Sawah Besar, dan Pasar Baru. Tarif yang dikenakan sebesar Rp3.000 per kilometer.
Lantas, apakah kerja sama tersebut mampu mengembalikan penumpang Metromini dan bajaj ?
Bagi Djoko Setijowarno, dosen di Universitas Katolik Soegijapranata dan peneliti transportasi, nasib kedua moda transportasi umum itu agaknya akan berbeda. Untuk Metromini, kerja sama itu akan menguntungkan mereka.
“Saya pikir [kerja sama] ini akan menguntungkan Metromini. Karena siapa lagi yang mau naik bus butut. Penghasilan juga aman lantaran bukan dari skema setoran, tapi dibayar per tarif kilometer,” tutur Djoko kepada Tirto.
Bisnis bus dalam kota juga cenderung cerah lantaran permintaan terhadap moda transportasi umum itu masih besar di DKI Jakarta. Angka pertumbuhan penumpang setiap tahunnya positif. Metromini nampaknya tak perlu ragu berinvestasi.
Yang dikatakan Djoko tak keliru. Lihat saja kinerja Trans Jakarta pada tahun lalu. Pada 2018, jumlah penumpang Trans Jakarta tumbuh 31 persen menjadi 190 juta penumpang dari tahun sebelumnya yang berjumlah 145 juta penumpang.
Sementara itu tawaran Grab untuk bekerja sama dengan operator bajaj tidak cukup kuat mengerek jumlah penumpang. Alasannya, jalan yang bisa diakses oleh bajaj di Jakarta selama ini dibatasi.
“Saya kasihan dengan bajaj ini. Moda angkutan resmi, tapi kalah dengan ojek. Padahal, dari sisi layanan dan keselamatan, bajaj lebih baik ketimbang motor. Tetap susah buat mereka meski digandeng Grab,” tutur Djoko.
Djoko memprediksi populasi bajaj akan habis hingga 10 tahun ke depan. Bajaj habis karena regulator tidak berlaku adil terhadap mereka dan justru lebih memprioritaskan motor. Padahal, motor sebenarnya bukan moda transportasi umum.
Perkiraan Djoko bisa jadi menjadi kenyataan jika melihat kondisi bajaj saat ini. Pada 2017, populasi bajaj di Jakarta mencapai 14.043 unit. Saat ini, populasi bajaj hanya sekitar 6.000 unit, turun 57 persen.
Editor: Windu Jusuf