Menuju konten utama

Bagaimana Membuat AI Agar Lebih Memahami Kebutuhan Penggunanya?

Upaya membuat AI lebih memahami penggunanya dilakukan MSI dengan banyak cara, salah satunya melengkapi produk-produk MSI dengan MSI AI Engine.

Bagaimana Membuat AI Agar Lebih Memahami Kebutuhan Penggunanya?
Dari kiri ke kanan: Nuran Wibisono (jurnalis senior Tirto.id), Derry Wijaya, Phd (Associate Professor Monash University Indonesia), Ronald Susanto (Channel Marketing MSI Indonesia), dan Karim Taslim (Ketua Komtap AI Aptiknas) berfoto bersama selesai acara MSI AI Cloud Class, How is AI Changing The World, Selasa (19/11). FOTO/tirto.id

tirto.id - Perusahaan teknologi MSI menggandeng Tirto.id menyelenggarakan MSI AI Cloud Class: How is AI Changing The World, Selasa (19/11). Dikemas dalam format webinar, kegiatan tersebut menghadirkan Ronald Susanto, Derry Wijaya, Phd, dan Karim Taslim sebagai pembicara.

MSI AI Cloud Class sendiri merupakan sebentuk komitmen dari MSI Indonesia untuk terus mendorong pengembangan teknologi dan diskursus seputar penggunaan Artificial Intelligence (AI) yang semakin hari semakin ramai diperbincangkan.

MSI AI Cloud Class: How is AI Changing The World diikuti ratusan mahasiswa dari sejumlah kampus di Indonesia, antara lain Politeknik Negeri Jakarta (PNJ), Telkom University, UIN Sunan Ampel, UIN Sunan Gunung Djati, Universitas Pendidikan Indonesia, dan Universitas Tarumanagara.

Selain mendapatkan ilmu, para peserta juga mendapatkan berbagai merchandise dari MSI Indonesia, termasuk doorprize berupa dua unit monitor dan dua unit laptop bagi peserta yang beruntung.

Sebelum sesi webinar dimulai, Adrian Lesmono, Consumer Business Lead Nvidia Indonesia–salah satu mitra MSI–menggarisbawahi peran AI dalam membantu manusia beraktivitas dan terus berinovasi. Meski begitu, Adrian menilai banyak orang salah kaprah memandang AI.

“Banyak sekali orang melihat AI sebagai solusi, padahal AI itu hanya tools, seperti kalkulator atau komputer,” kata Adrian.

Adrian menerangkan, berdasarkan penyimpanan, paling tidak ada dua jenis AI. Pertama, AI yang disimpan di Cloud, misalnya ChatGPT. Kedua, AI yang ditanam dalam device, contohnya ChatRTX keluaran Nvidia.

AI pertama, yang membutuhkan processing power besar dan kerap dinilai lebih unggul, bisa menjawab apa saja. Namun, pada saat bersamaan ia juga memiliki kelemahan: sering kali tidak memahami kebutuhan penggunanya serta tidak ada privasi.

“Ketika Anda membagikan banyak hal ke internet, itu besar sekali risikonya,” kata Adrian.

ChatRTX buatan Nvidia–terdapat dalam beberapa produk MSI–didesain sebagai solusi atas persoalan yang tak bisa diselesaikan oleh AI berbasis Cloud.

“AI jenis ini di-running di PC atau laptop, menyelesaikan masalah privasi, dan tidak memerlukan akses internet,” kata Adrian.

Keterangan Adrian mengenai kebutuhan daya yang besar pada AI berbasis Cloud diamini oleh Derry Wijaya, Phd, Associate Professor Monash University Indonesia. Derry menjelaskan, OpenAI GPT termasuk dalam kategori Large Language Model (LLM), sistem kecerdasan buatan yang dapat memahami dan menghasilkan human language dengan memproses data teks dalam jumlah besar.

Saat pertama kali diluncurkan, circa 2018, OpenAI GPT membutuhkan 110 juta parameter berdasarkan Bidirectional Encoder Representations from Transformers (BERT). Angka itu membengkak menjadi 175 miliar pada Open AI Gpt-3.

“GPT-4 dan seterusnya tidak dirilis lagi oleh OpenAI karena selain jumlahnya besar juga ada konsekuensinya terhadap biaya, jejak karbon, hingga air. Ada satu daerah yang kekeringan karena airnya habis dipakai untuk mendinginkan mesin-mesin yang dilatih menggunakan LLM itu,” papar Derry.

Derry mengingatkan sisi lain LLM yang diprogram untuk bisa menjawab apa saja pertanyaan penggunanya, sekalipun teknologi tersebut sama sekali tidak mengetahui kondisi serta kebutuhan si pengguna. Untuk contoh paling gelap, ChatGPT bahkan pernah membuat seseorang mengakhiri nyawanya sendiri.

“ChatGPT pintar, tapi tidak mengetahui apa pun tentang diri kita,” kata Derry.

Mengingat saat ini mesin jauh lebih pintar dari manusia–sebab data yang mereka baca sudah sedemikian besar jumlahnya–tantangan ke depan adalah membuat mesin yang lebih cerdas dalam mendengarkan instruksi manusia. Upaya ke arah sana dilakukan dengan banyak cara, salah satunya mengubah pendekatan LLM menjadi Specific Language Model (SLM). Dengan SLM, AI tidak hanya dapat memberi jawaban yang benar, tetapi juga sesuai dengan style serta keinginan dan kebutuhan penggunanya.

“SPL ke depannya akan dipergunakan, bagaimana data digunakan untuk kebutuhan dan preference kita,” kata Derry.

Didukung Momentum

Menurut Ketua Komite Tetap (Komtap) AI Asosiasi Pengusaha Teknologi Informasi dan Komunikasi Nasional (Aptiknas), Karim Taslim, penggunaan AI di Indonesia mendapatkan momentum luar biasa pada masa pandemi. Contohnya, pemerintah membolehkan telemedicine dilakukan, sedangkan di negara sekelas Singapura saja hal tersebut masih dilarang.

“Di Asia Tenggara, Indonesia akan menjadi barometer soal big data,” kata Karim.

Selain pandemi, momentum lain yang membuat kesadaran akan kebutuhan AI di Indonesia kian menguat juga mencuat lewat salah satu kasus di kawasan Cikarang, Jawa Barat. Karim menjelaskan, sebuah pabrik yang menerima pesanan untuk membuat sparepart kendaraan tiba-tiba menghentikan produksinya karena salah satu komponen mesinnya rusak. Usut punya usut, komponen tersebut tidak ada di Indonesia, sehingga harus dibeli dari Jepang, itu pun inden. Dampaknya, sudahlah proses pembuatan sparepart molor, perusahaan juga mendapat citra buruk dan kena penalti.

Dari peristiwa tersebut, kesadaran untuk memiliki teknologi yang dapat memprediksi kerusakan mesin mulai tumbuh.

“Setelah itu, predictive maintenance naik daun,” ungkap Karim.

Lewat Aptiknas, Karim menginisiasi Indonesia AI Innovation Challenge. Lewat forum tersebut, anak-anak muda di Indonesia ditantang untuk memberikan solusi atas berbagai persoalan lewat teknologi AI.

“Salah satu finalisnya baru berangkat diundang ke Dubai. Dia mengembangkan stetoskop, dibikin jadi smart, kemudian ditambahkan aplikasi untuk mengekstrak data. Hasilnya, alat ini bisa mendeteksi penyakit paru-paru dengan akurasi sudah tembus 90 persen lebih,” kata Karim.

Upaya membuat AI lebih memahami penggunanya dilakukan MSI dengan banyak cara, salah satunya melengkapi produk-produk MSI dengan MSI AI Engine.

“Nah, MSI AI Engine ini mungkin seperti dibilang tadi, bisa dianalogikan sebagai SLM, karena dia akan men-generate atau bergerak sendiri, sesuai dengan kebiasaan penggunanya,” kata Ronald Susanto, Channel Marketing MSI Indonesia.

Ronald menjelaskan, dengan MSI AI Engine, sebuah PC/laptop dengan jenis yang sama bisa memiliki kinerja berbeda, tergantung kebiasaan dan kebutuhan penggunanya. Jika sering difungsikan sebagai PC gaming, misalnya, MSI AI Engine akan berusaha membuat PC tersebut lebih stabil dari sisi performance.

“Sedangkan jika difungsikan sebagai PC atau laptop kerja, MSI Engine mungkin membuat baterainya lebih hemat daya, dan performance yang tadinya tinggi akan dengan sendirinya diturunkan, kurang lebih seperti itu,” kata Ronald.

Berikut adalah contoh laptop MSI yang sudah dilengkapi dengan MSI AI Engine.

Prestige 13 Evo

CPU: 13th Gen Intel® Core™ i7-1360P processor

12 cores (4 P-cores + 8 E-cores), Max Turbo Frequency 5.0 GHz

Operating Systems: Windows 11 Home

Display: 13.3" FHD+(1920x1200), IPS-Level, 100%sRGB(Typical)

Integrated Graphics: Intel® Iris® Xe (*Intel® Iris® Xe Graphics capability requires the system to be configured with dual-channel memory)

Memory: 16GB, LPDDR5-4800

Storage: 512GB*1 NVMe SSD PCIe Gen4

Battery: 4-Cell, 75 Whrs

Summit E13FlipEvo A12MT-046ID

CPU: 12 cores Intel® Core™

Operating Systems: Windows 11 Home

Display: 13.4" FHD+(1920x1200), 120 Hz Refresh Rate, IPS-Level, 100%sRGB(Typical)

Integrated Graphics: Intel® Iris® Xe (*Intel® Iris® Xe Graphics capability requires the system to be configured with dual-channel memory)

Memory: -

Storage: 1TB*1 NVMe SSD PCIe Gen4

Battery: 70 Whrs

Baca juga artikel terkait KELAS TIRTO atau tulisan lainnya dari Tim Media Service

tirto.id - Edusains
Penulis: Tim Media Service
Editor: Tim Media Service