tirto.id - Sehari sebelum duel leg kedua Piala Indonesia antara Arema FC vs Persib di Stadion Kanjuruhan, Malang, Jumat (22/2/2019) lalu, Hamka Hamzah menyuarakan kampanye anti-rasisme dan anti-kekerasan di kalangan suporter. Pada konferensi pers, bek veteran yang juga kapten Arema FC itu mengimbau suporter bisa melanjutkan perhelatan laga leg pertama yang nyaris tanpa hambatan.
"Untuk Aremania, ayo tunjukkan bahwa kali itu memang bisa dibuat contoh untuk suporter lain," ujarnya.
"Setop rasis dan anarkis. Kita lihat atas [PSSI] sudah mulai membaik, sekarang waktunya kita yang di bawah yang akan memperbaiki," imbuh Hamka.
Namun Hamka langsung kecewa tak lama setelah itu. Rupanya 'ribut-ribut' dalam pertandingan Arema FC vs Persib tidak bisa sepenuhnya dihindari.
Semua mencuat sejak beredarnya video perisakan sejumlah suporter terhadap mobil rantis yang memasuki kawasan Stadion Kanjuruhan. Kabar yang beredar menyebutkan bahwa suporter yang melakukan aksi tersebut adalah Aremania dan pemain yang berada di dalam mobil rantis tidak lain penggawa Persib.
Namun bukan berarti kubu tuan rumah jadi satu-satunya yang berperan dalam pusaran konflik. Belakangan beredar pula video yang memperlihatkan para pemain Persib membalas perlakuan tersebut dengan kata-kata kasar. Ada pula unggahan yang menunjukkan penggawa Maung Bandung mengacungkan jari tengah ke suporter.
Akibat dua video itu, manajemen Persib merilis permintaan maaf di laman resmi mereka.
"Mewakili keluarga besar Persib, saya menyampaikan permohonan maaf kepada Arema FC atas perbuatan atau perkataan pemain kami sepulang dari Stadion Kanjuruhan Malang, Jumat 22 Februari 2019 lalu," ujar Direktur Maung Bandung, Glenn Sugita.
Permintaan maaf tersebut justru disayangkan sejumlah Bobotoh--sebutan untuk suporter Persib. Mereka menilai ungkapan para penggawa Persib di dalam konten video yang tersebar adalah ekspresi biasa dan tidak punya maksud kasar.
Namun konflik sudah terlanjut berputar. Argumen tersebut kembali menyulut konflik di antara kedua kubu suporter, terutama lewat unggahan-unggahan di media sosial.
Konflik dalam duel Arema FC vs Persib pekan lalu membuat rekam jejak dalam pertemuan-pertemuan kedua kesebelasan kian kelam.
Pada April 2018, duel antara Singo Edan dan Maung Bandung juga berujung keributan. Tepatnya pada pekan keempat ajang Liga 1 2018, yang juga dihelat di Stadion Kanjuruhan, suporter sampai turun ke lapangan akibat tidak puas terhadap kinerja wasit Handri Kristanto.
Beberapa suporter sampai pingsan akibat berdesak-desakan dan terkena gas air mata. Tak cuma itu, pelatih Persib, Mario Gomez, juga terluka akibat lemparan batu suporter.
Pada Liga 1 musim sebelumnya, tepatnya 12 Agustus 2017, kerusuhan yang sama terjadi. Saat itu, dalam duel tanpa gol di Stadion Kanjuruhan, bentrok antara kedua suporter tidak terhindarkan.
Keributan dua kesebelasan bahkan sudah terjadi sejak 2011. Dalam pertandingan di Stadion Siliwangi, Minggu, 31 Januari 2011, terjadi pelemparan benda-benda keras oleh suporter ke lapangan. Aksi itu berlanjut jadi pembakaran, pemukulan, dan kekerasan.
Musababnya lagi-lagi kinerja wasit yang dinilai buruk. Kala itu, bobotoh emosi lantaran keputusan pengadil lapangan, Najamuddin Aspiran, dinilai berat sebelah ke tim tamu. Puncaknya terjadi pada menit ke-67, saat wasit menilai pelanggaran keras Muhammad Ridhuan terhadap Wildansyah tidak pelanggaran yang bikin penalti.
Akibat kericuhan yang sempat membuat laga terhenti 30 menit itu, wasit sampai ketakutan dan menghentikan pertandingan yang berkesudahan 1-1 tanpa memberlakukan injury time.
Media Sosial Memperkeruh Konflik
Jurnalis olahraga senior, Budiarto Shambazy, memandang insiden-insiden dalam laga antara Arema FC vs Persib baru-baru ini, tidak lepas dari peran media sosial (medsos). Menurutnya keberadaan medsos yang memudahkan interaksi antarsuporter justru seperti pisau bermata ganda.
Media sosial pada akhirnya membuat konflik bisa terus terjadi di luar stadion dan tanpa ujung.
"Sekarang itu persaingan semakin melibatkan kekerasan oleh pendukung karena ada medsos. Medsos itu, kan, jadi sumber konflik yang sangat potensial, seperti suporter Persija-Persib sejak dulu saling ancam, kan, sering mulai di medsos juga," ungkap Budiarto kepada reporter Tirto, Senin (25/2/2019) siang.
Menurut Budiarto pula, sebenarnya saat ini sudah banyak suporter yang teredukasi dan menghindari kekerasan. Hanya saja, suporter yang telah teredukasi bisa saja tertular karena keberadaan medsos yang membuat ucapan-ucapan dan konten negatif yang tak selayaknya tersebar bisa dibagikan dengan mudah.
"Itu [kekerasan, baik verbal maupun fisik], kan, sebenarnya biangnya [pelakunya] enggak banyak. Orang-orangnya paling dia-dia lagi. Hanya saja, dulu, kan, persaingan, kekerasan, perkelahian antarpenggemar hanya di stadion. Sekarang di medsos pun begitu mudah tersebar, bahkan dengan kata-kata yang menyeramkan," imbuhnya.
Membendung rivalitas antarsuporter adalah hal mustahil. Sepakbola tentu tidak 'hangat' tanpa rivalitas antarklub. Kendati demikian, untuk menyingkirkan kekerasan dalam sepakbola bukan sesuatu yang mustahil.
Selain edukasi terus menerus dari klub dan PSSI, bagi Budiarto peningkatan aspek keamanan dan keselamatan bagi suporter maupun pemain di stadion tidak boleh goyah dan harus senantiasa ditingkatkan kualitasnya.
"Hanya itu yang lain enggak ada. Kalau klub ikut membina suporter sudah. PSSI membina sudah. Semua syarat rasanya sudah, kecuali sistem pengamanan yang harusnya enggak jebol," pungkas Budiarto.
Penulis: Herdanang Ahmad Fauzan
Editor: Rio Apinino