tirto.id - Saya punya dua orang kawan penyuka hidangan ikan. Satu orang dari Makassar, satu lagi dari Bugis. Dua suku ini memang bangsa pelaut. Makanannya jelas kebanyakan ikan. Di Makassar, kata kawan saya itu, kamu bisa menemukan makanan ikan terenak di dunia. Kawan Bugis saya tak mau kalah. Dia selalu membanggakan nasu bale bolu, bandeng dengan kuah kuning asam segar, buatan ibunya. Saya selalu suka cara kawan Bugis saya mengucapkan kata ikan.
"Ikang," katanya, dengan suara 'ng' yang samar. Membuat saya bisa membedakan antara ikang goreng dan Ikang Fawzi.
Meski dua-duanya memiliki pendapat yang berbeda soal daerah mana yang punya masakan ikan paling enak, ada satu hal yang mereka setujui bersama: bagaimana bisa ada orang yang menggemari ikan lele. Yang dimaksud tentu adalah saya, dan sebagian besar orang Jawa.
Mereka bilang bahwa lele bukan ikan yang bersih. Kebetulan keduanya pernah ikut saya ke rumah seorang kawan lain, yang adalah seorang peternak lele. Di sana, mereka melihat bagaimana lele diberi pakan. Begitulah.
"Kok bisa kamu suka lele, padahal kakap atau tuna itu enak betul," kawan saya bilang sambil belagu. Di daerahnya kakap dan tuna memang murah meriah. Kadang cuma dibanderol sepuluh ribu untuk satu ember berisi tiga atau empat ekor ikan. Tak hanya itu, ada banyak sekali jenis ikan yang bisa mereka sebutkan. Semuanya enak, dan hampir semuanya murah meriah.
Tapi mungkin mereka tak paham kalau perihal lele itu masalah yang amat sepele dibandingkan dengan masalah perikanan yang terjadi di dunia.
Meski dua orang kawan saya ini adalah pelahap ikan nomer satu, setidaknya dalam lingkup perkawanan, Indonesia masih kalah jauh soal konsumsi ikan. Kita kalah jauh dibandingkan dengan Jepang yang merupakan negara Asia dengan konsumsi ikan tertinggi. Dalam setahun, rata-rata orang Jepang mengonsumsi 69 kilogram. Sedangkan Indonesia baru sekitar 40 kilogram per tahun. Secara global, warga Maladewa adalah yang paling banyak mengonsumsi ikan. Setiap tahunnya, seorang warga Maladewa bisa mengonsumsi sekitar 139 kilogram ikan.
Badan Pangan Dunia mengatakan perdagangan ikan di dunia ini bernilai sekitar 200 miliar dolar setiap tahunnya.
Masalahnya, pola konsumsi manusia berbeda untuk daging merah dan daging ikan. Seberapa sering kamu melihat orang berburu kijang, rusa, sapi, kelinci, babi hutan, untuk dikonsumsi tiap hari? Sumber utama pasokan daging bagi umat manusia berasal dari peternakan. Ini yang membedakan dengan ikan.
Ikan yang kita konsumsi kebanyakan ditangkap di alam bebas. Menurut lembaga The State of World Fisheries and Aquaculture, sekitar 85 persen ikan yang ditangkap menjadi konsumsi manusia. Masalahnya adalah industri raksasa yang melakukan penangkapan ikan berlebihan (overfishing). Ada banyak kasus overfishing yang terjadi di dunia.
Misalkan penangkapan ikan teri di Peru, yang mencapai 10,2 miliar metrik ton pada 1971. Membuat ikan teri mereka nyaris hilang dari lautan. Akibatnya, selama lima tahun hanya ada 4 juta ton teri yang bisa ditangkap di Peru.
Permintaan daging ikan memang terus naik. Badan Pangan Dunia memperkirakan kenaikannya sebesar 3,2 persen per tahun. Pada tahun 2014, ada sekitar167 juta ton ikan yang ditangkap. Sekitar 93 juta berasal dari alam bebas, dan hanya 73 juta yang berasal dari peternakan. Salah satu penyebabnya adalah anggapan bahwa ikan budidaya tidak selezat ikan yang ditangkap di alam bebas.
Dengan nilai perdagangan yang besar dan pasokan yang semakin susah, muncullah masalah baru: penipuan ikan. Hal ini menjadi pembahasan serius di kalangan pelaku industri, juga konsumen. Masalah penipuan ikan baru-baru ini diangkat oleh Oceana, sebuah lembaga kelautan yang bermarkas di Amerika Serikat.
Modusnya memanfaatkan keawaman konsumen akan rasa maupun tekstur ikan. Sebagian besar konsumen mungkin akan susah membedakan fillet kakap dengan tilapia.
Dari hasil penelitian Oceana, dari 46 jenis ikan yang dites, sekitar 27-nya atau 59 persen dilabeli tidak sesuai jenisnya. Dari 200 penelitian yang dilakukan di 55 negara ini, mereka menemukan satu dari lima ikan yang dijual tidak dilabeli secara jujur. Semisal ikan tilapia yang dilabeli sebagai kakap, atau ikan escolar yang diberi label sebagai tuna. Dari warna, tekstur, dan rasa, ikan-ikan itu nyaris mirip. Untuk spesies kakap merah, hanya 7 dari 120 ekor yang dilabeli dengan benar. Sisanya adalah ikan pengganti yang diberi label sebagai ikan kakap merah.
Motif terbesar penipuan ini apalagi kalau bukan duit. Menurut Oceana, sekitar 65 persen pelaku penipuan ini melakukan atas nama uang. Karenanya ikan yang ditukar itu adalah jenis-jenis ikan berharga tinggi. Seperti salmon, kakap, cod, tuna, sole, halibut, dan kerapu. Bayangkan jika penjual melego fillet tilapia dan dilabeli sebagai kakap. Dia bisa mendapat 10 dolar alih-alih hanya 3 dolar. Di AS, tempat yang paling banyak melakukan mislabeling ini adalah restoran sushi. Dari sekitar 250 restoran sushi yang diperiksa, sekitar 74 persennya melakukan mislabeling ini.
Apakah ini hanya berbahaya bagi dompet dan juga ego seorang konsumen? Ternyata lebih dari itu. Dalam beberapa kasus, penipuan ikan ini berbahaya bagi kesehatan. Misalkan: sekitar 84 persen sampel ikan yang dilabeli sebagai tuna putih, sebenarnya adalah escolar, satu spesies ikan yang bisa merusak percernaan jika dikonsumsi lebih dari dua atau tiga ons.
Dengan kata lain: ikan escolar itu bisa bikin kamu mencret-mencret.
Cerita berikutnya mungkin bisa bikin dua kawan saya meringis: ikan lele ternyata sudah sejak lama digunakan sebagai pengganti dari ikan lain yang lebih mahal. Dari data yang dirilis oleh Oceana, setidaknya sejak 2002 praktik ini dilakukan. Tentu ini untuk mengakali harga ikan yang semakin mahal. Sebagai pengganti, ikan lele punya rasa yang tak kalah enak dan tekstur yang nyaris serupa lembutnya dengan ikan, katakanlah, kakap atau gurami.
Di dunia, daging ikan lele menggantikan 30 persen ikan perch, 20 persen kerapu, 17 persen ikan sole, 7 persen ikan halibut, dan 9 persen ikan plaice. Sekitar 17 persen berbagai jenis ikan --bisa jadi termasuk kakap atau gurami-- juga diganti oleh daging ikan lele ini. Tentu penggantian ini boleh, legal, dan murah meriah. Juga jauh lebih baik ketimbang melakukan penipuan ikan.
Oceana memberikan beberapa masukan supaya penipuan ikan ini bisa diminimalisir. Bagi pemerintah, mereka menyarankan adanya pendampingan sejak ikan ditangkap dan dikirim ke pabrikan.
Perihal hukum macam itu biar saja diurus oleh pemerintah. Konsumen tentu punya cara sendiri yang lebih gampang dilakukan. Antara lain, ini yang paling mudah, adalah membeli ikan secara utuh. Atau paling tidak, belilah ketika ikan dipotong di depan mata. Cara lain adalah menerapkan prinsip ekonomi: ikan bagus pasti berharga mahal.
Walau prinsip itu pasti akan ditertawakan oleh dua orang kawan saya itu, yang bisa dapat ikan kualitas bagus dengan harga amat murah.
Penulis: Nuran Wibisono
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti