tirto.id - Pada dekade 1960-an, Afghanistan sempat dijuluki "Paris-nya Asia Tengah". Saat itu perempuan-perempuan usia produktif yang berasal dari kelas menengah-atas rata-rata mengenyam pendidikan tinggi dan memiliki karier yang stabil. Dulu, profesi politikus perempuan lumrah ditemui, begitu pula dengan mahasiswi-mahasiswi yang aktif mengikuti berbagai kegiatan kampus.
Para perempuan Afghanistan saat itu berpenampilan cukup modis. Pada suatu hari di tahun 1962, seorang fotografer Agence France Presse (AFP) masuk ke gedung fakultas kedokteran salah satu universitas di Kabul dan memotret aktivitas diskusi antar mahasiswi-dosen. Dalam gambar hitam putih itu, sang mahasiswi menata rambut dengan gaya yang tengah tren di barat—bersasak pada bagian depan hingga tengah kepala. Salah satu dari mereka menghias rambut dengan kepangan layaknya dewi-dewi dalam era Yuno. Lainnya, menutupi dahi dengan paduan poni pendek dan panjang—standar gaya rambut pada masa itu.
Sementara itu para perempuan yang telah memasuki dunia kerja biasanya bergaya dengan rok mini, kemeja ketat, serta sepatu hak. Memori tersebut masih lekat dalam ingatan Tanya Amri yang menghabiskan masa kecil di Kabul.
“Ibuku seorang jurnalis dan ia bekerja dengan memakai rok mini,” kata Amri kepada CNN.
Pemandangan tersebut berubah sejak akhir 1970-an saat konflik bersenjata meletus di Afghanistan hingga membuat banyak warganya mengungsi. Setelah satu dekade perang dengan Uni Soviet, serbuan Amerika Serikat pada 2001, dan konflik dalam skala yang lebih kecil hingga hari ini, jejak busana modern pun lenyap dari Afghanistan. Majalah-majalah mode berhenti terbit dan orang-orang berseliweran dalam busana tradisional.
Ketika situasi dinilai mulai kondusif pada awal 2000-an, beberapa imigran asal Afghanistan memutuskan kembali ke negerinya. Sebagian ingin mewujudkan mimpi sebagai desainer fesyen. Mereka yakin Afghanistan bisa terkenal di ranah fesyen bila menonjolkan elemen desain tradisional seperti keragaman bentuk bordir. Mereka juga yakin sektor fesyen mampu menjaga eksistensi perajin lokal.
Keyakinan itu dimiliki Sherzad, pemilik label busana Zarif Design. Sekembalinya dari Iran, ia bertekad melatih keterampilan tangan para perempuan di negaranya agar mampu berdaya dan melestarikan elemen budaya Afghanistan.
Sherzad merasa konflik tahunan telah menggerus kemandirian kaum perempuan negerinya. Ia pun memberi keterampilan merancang busana, menjahit, dan membuat pola. Pada 2004, Sherzad menggelar peragaan busana di Afghanistan yang menampilkan busana dengan sentuhan etnik. Peragaan busana tersebut nampak jadi aktivitas yang menyegarkan. Pasalnya, peragaan busana terakhir diadakan di kampung halamannya pada 1974.
Rahiba Rahimi, pendiri label fesyen Laman adalah salah satu orang yang percaya potensi tersebut. Ia bercerita kepada Quartz India bahwa timnya konsisten melatih para perajin agar mampu membuat produk sesuai dengan kualitas yang diinginkan pasar. Bagi Rahimi proses pelatihan itu membutuhkan kesabaran dan waktu yang cukup panjang.
Pada 2006, lembaga swadaya masyarakat (LSM) Turquoise Mountain dibuka di Kabul. LSM milik Pangeran Charles punya misi membuka peluang kerja yang lebih besar dan menambah keterampilan perajin, misalnya dalam membuat perhiasan.
Pemilik yayasan percaya bahwa industri kreatif adalah sektor yang bisa diandalkan di negara-negara dunia ketiga yang sarat konflik.
Pengajar yang direkrut diantaranya adalah pengusaha aksesori. Forum itu turut jadi wadah perekrutan karyawan bagi para pengusaha. Hal itu terjadi dengan pemilik usaha perhiasan, Jared Noori.
Kepada jurnalis New York Times Felicia Craddock, Noori menuturkan berbagai tantangan usaha yang harus dihadapi sebagai pebisnis di Afghanistan. Kondisi keamanan membuat Noori harus siap berpindah tempat usaha lantaran ancaman bom selalu muncul. Ia bahkan pernah mengalami dampak serangan bom bunuh diri yang mencederai salah satu anggota tubuhnya. Belum lagi aksi perampokan yang kerap terjadi di jalan-jalan kota Kabul. Tantangan itu jadi yang terberat bagi Noori.
Kerjasama dengan Turquoise Mountain melambungkan nama Noori, membuka jalan untuknya menyelenggarakan pameran di AS dan bekerjasama dengan desainer perhiasan asal Inggris, Pippa Small yang telah 11 tahun mempekerjakan para pengrajin Afghanistan.
Wakil Direktur Turquoise Mountain Afghanistan Nathalie Paarlberg menyatakan kepada Vogue Business bahwa mereka bertanggungjawab untuk membuat pengrajin di Afghanistan memiliki kualitas karya yang sesuai dengan calon pembeli mancanegara.
Dalam sebuah laporan yang dipublikasikan pada 10 Juli 2019 lalu, jurnalis Vogue Madeline Speed turut menjelaskan bahwa kini Afghanistan tengah jadi daerah yang diminati para pemilik LSM yang fokus pada industri kreatif. Selain lembaga milik Charles, ada pula Oxfam yang bekerjasama dengan label busana premium Burberry untuk memproduksi salah satu material pembuatan busana di Afghanistan. Material yang disepakati adalah bulu domba. Sejak 2018, bahan kashmir yang digunakan Burberry untuk produk busana dan aksesori dihasilkan dari domba-domba yang diternakkan di Afghanistan.
Editor: Windu Jusuf