tirto.id - Pada 1884, para ahli botani Belanda membawa empat bibit Elaeis guineensis Jacq ke Nusantara. Benih itu berasal dari tempat berbeda: dua dari Bourbon Mauritius, dua lagi dari Amsterdam.
Empat tanaman yang kelak dikenal di Indonesia dengan nama kelapa sawit itu ditanam di Buitenzorg, alias Bogor, tepatnya di Kebun Raya Bogor. Mereka tumbuh subur di Bogor, berkembang baik dengan inseminasi buatan, dan lantas menyebar ke berbagai daerah. Seiring kebutuhan minyak yang makin banyak, kelapa sawit pun semakin ekstensif ditanam di Nusantara, mendorong pembukaan pabrik kelapa sawit pertama di Sungai Liput, Aceh, pada 1911.
Hadirnya kelapa sawit di Indonesia adalah bukti mata rantai panjang sebuah tanaman dengan nilai ekonomi besar.
Wangi Layaknya Violet, Rasa Seperti Zaitun, Cerah Mirip Saffron
Meski ada beberapa perdebatan soal asal-usul kelapa sawit, mayoritas meyakini kelapa sawit berasal dari Afrika Barat. Jika merujuk The Oil Palm edisi keempat garapan R.H.V. Corley and P.B. Tinker (2003), jejak arkeologis tanaman ini di Afrika bisa terlacak dari serbuk sari kelapa sawit di Kongo, sejak 24.000 BP (Before Present).
Habitat alami kelapa sawit bukanlah di hutan. Ia malah tumbuh subur ketika manusia mulai merambah hutan dan menetap di sana. Kelapa sawit di Afrika makin menyebar dan meluas seiring datangnya para penjelajah dari tanah Eropa, membuat koloni manusia semakin banyak dan menyebar.
“Secara sengaja atau tidak sengaja, manusia menebar bibit kelapa sawit di sekitar rumah mereka, atau di rute jalan mereka,” tulis Corley dan Tinker.
Kelapa sawit juga menjadi komoditas berharga sejak dulu. Dalam The Cambridge World History of Food, disebutkan bahwa dalam penggalian makam di Abydos, Mesir, yang diperkirakan berasal dari era 3.000 SM, ditemukan beberapa kilogram minyak kelapa sawit dalam wadah-wadahnya.
Perdagangan minyak kelapa sawit dari pantai barat Afrika semakin kencang dimulai pada 1434. Catatan pertama dari para saudagar Eropa tentang minyak –yang diduga– kelapa sawit berasal dari Cadamosto, seorang penjelajah dari Venesia. Ia juga mengamati bagaimana minyak kelapa sawit dipakai untuk memasak dan berbagai keperluan terkait makanan.
“Ada tiga karakter minyak ini. Wanginya seperti bunga violet, bercitarasa mirip minyak zaitun kita, dan warna yang menjadikan makanan cerah, seperti saffron, tapi lebih menarik,” tulisnya.
Pada 1700-an, dunia mengalami apa yang disebut British Industrial Revolution. Dalam perubahan industri besar-besaran yang berlangsung nyaris seabad ini, dunia membutuhkan semakin banyak minyak kelapa sawit sebagai bahan baku untuk pelumas mesin. Para baron dari Eropa juga mulai membangun imperium perkebunan kelapa sawit di Afrika Tengah dan juga Asia Tenggara. Hasilnya: jumlah produksi minyak kelapa sawit meningkat. Pada 1930, misalkan, menurut data Hartley (1988), jumlah produksi minyak kelapa sawit mencapai 250 ribu ton.
Dan seperti sekepal salju yang menggelinding dari atas bukit, perkembangan kelapa sawit di dunia melaju nyaris tak terhentikan.
Dari Buitenzorg Menuju Deli
Empat tanaman sawit varietas Dura yang ditanam di Buitenzorg berkembang baik, tetapi saat itu kelapa sawit belum menjadi tanaman skala industri.
Pada 1905, seorang insinyur pertanian asal Belgia bernama Adrien Hallet tiba di Sumatera. Awalnya dia ingin mengembangkan perkebunan karet –mengingat pasar karet saat itu sedang ramai dan karet adalah komoditas bernilai tinggi.
Di tengah usahanya mengembangkan kebun karet, Hallet menyadari satu hal: kelapa sawit yang ditanam di tanah Sumatera, termasuk yang ditanam di perkebunan Deli, tumbuh lebih cepat, dan berbuah lebih banyak ketimbang kelapa sawit yang pernah dia lihat di tempat kerja sebelumnya, Kongo.
Dalam pengamatan Hallet, ini bukan perkara bibit, melainkan tanah di Nusantara yang disebutnya sebagai optimal. Ini ditambah dengan curah hujan dan siraman matahari yang jadi nutrisi penting bagi tumbuh kembang kelapa sawit.
Dari sana, Hallet berpikir untuk mengembangkan perkebunan kelapa sawit. Hallet, yang sebelumnya ikut mendirikan Société Financière des Caoutchoucs (SOCFIN) dan menjadi salah satu direktur perkebunan di Sungei Lipoet Cultuur Maatschappij yang menanam karet di lahan seluas sekitar 607 hektare di Tamiang, Aceh, akhirnya tercatat menjadi orang pertama yang membuat perkebunan sawit dalam skala komersial/ industri pada 1911. Saat itu lokasi perkebunannya ada di Pulau Raja (Sumatera Utara) dan Sungai Liput, Aceh.
Sewindu kemudian, kebun kelapa sawit di Sumatera sudah mencapai 6.000 hektare, dan pada 1925 melonjak jadi 32.000 hektare.
Sawit di Antara Kontroversi dan Kebutuhan
Saat ini Indonesia menjadi negara produsen minyak kelapa sawit terbesar di dunia. Pada 2023, Indonesia memproduksi 47 juta metrik ton, atau sekitar 42,5 juta ton, minyak kelapa sawit. Ini setara dengan 59 persen produksi global.
Dalam pendapatan negara, industri sawit juga menyumbang pendapatan besar. Dalam paparan yang disampaikan oleh Tungkot Sipayung, Direktur Eksekutif Palm Oil Agribusiness Strategic Policy Institute (PASPI), ekspor kelapa sawit Indonesia pada 2022 mencapai angka USD40 miliar, atau sekitar Rp600 triliun. Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian juga menyebut sektor kelapa sawit ini adalah rumah bagi sekitar 16 juta pekerja.
Kehadiran kelapa sawit dan turunannya menjelma jadi produk vital bagi kehidupan manusia. Ia ada di sabun mandi, produk pembersih, kosmetik, aneka makanan, margarin, lilin, pupuk, dan jadi minyak goreng yang amat populer dan dikonsumsi paling banyak di dunia. Jauh mengalahkan minyak dari kedelai, rapeseed, sunflower, kacang, hingga zaitun.
Menjadi negara produsen sawit terbesar di dunia ini hadir bukan tanpa konsekuensi. Ada banyak kontroversi, juga perdebatan dan protes keras terkait bagaimana perkebunan kelapa sawit hadir di Indonesia. Ia dianggap tak ramah lingkungan, punya andil dalam deforestasi besar-besaran, dan dituding merusak tanah.
Perdebatan ini bukannya tak berujung solusi. Hingga saat ini, banyak pihak mendorong adanya praktik good agriculture, sekaligus perdagangan sawit yang lebih ramah lingkungan. Para peneliti lingkungan, juga dari pemangku kepentingan, mengatakan bahwa tata kelola sawit ini kompleks karena melibatkan banyak pihak.
Pemerintah sendiri, sejak 2020, sudah menerapkan Sistem Sertifikasi Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia. Ini adalah penguat dari kebijakan sertifikasi Indonesian Sustainable Palm Oil atau ISPO yang sudah dijalankan sejak 2011. Dengan adanya peraturan ini, semua usaha kelapa sawit –mulai dari perkebunan rakyat, perkebunan milik negara, hingga milik swasta– wajib mendapat sertifikasi ini sebagai jaminan agar produksi mereka sudah berjalan sesuai prinsip dan tata cara sustainability.
Pada awal tahun 2024, sudah ada 4,09 juta hektare lahan sawit yang sudah bersertifikat ISPO. Ini memang angka yang relatif kecil, mengingat luas lahan kelapa sawit di Indonesia mencapai 16,8 juta hektare. Namun mengingat ini kebijakan yang relatif baru, apresiasi harus diberikan. Apalagi penerapan sertifikasi ini bukan hal yang mudah, terutama untuk lahan perkebunan rakyat yang jumlahnya berkisar 6,2 juta hektare, atau sekitar 40,5 persen total luas lahan sawit di Indonesia.
Praktik penanaman sawit yang berkelanjutan ini harus didorong terus menerus. Mengingat betapa penting sektor ini bagi perekonomian Indonesia, sekaligus menjaga agar deforestasi tak terus terjadi dan lingkungan tetap bisa terjaga dengan baik. []
(JEDA)
Penulis: Tim Media Servis