tirto.id - Jika ditanya kuliner Tionghoa apa yang paling berkesan dan tidak bisa dilupakan, buat saya adalah masakan ayam ka chiang ma atau populer disebut ayam arak. Pengalaman makan ayam arak saat itu barangkali yang pertama dan terakhir bagi saya dan dibuat langsung oleh keluarga Acun, keluarga keturunan Tionghoa yang sudah lama mendiami wilayah Sukadana, Kayong Utara, Kalimantan Barat.
Semua bermula ketika saya mengikuti program Kuliah Kerja Nyata (KKN) di daerah Ketapang dan Kayong Utara sekitar tahun 2016.
Pada suatu malam di Sukadana, saya, Ari, Yudha, Nia dan Yohana yang merupakan satu kelompok KKN, diundang di kediaman keluarga Acun untuk mengikuti acara makan-makan. Keluarga Acun kebetulan masuk dalam wilayah kerja kegiatan KKN kami selama di Sukadana.
Aktivitas utama kami adalah mendata umat katolik yang di bawah langsung oleh gereja satu-satunya yang ada di Sukadana. Gereja Katolik Paroki Immanuel Sukadana yang pimpin oleh Romo Damas, membawahi dua kapel yaitu Stasi Nek Doyan dan Stasi Kepayang. Masing-masing kapel bersanding dengan rumah panjang khas suku Dayak setempat.
Aroma asing itu muncul dari rumah Acun dan perlahan-lahan mulai masuk ke indra penciuman saya. Saat masuk ke ruangan dapur, hidung saya belum juga mengenal aroma tersebut. Suami Acun, Tia, tengah menyiapkan arak buatanya untuk menyambut kedatangan kami.
Bak tamu agung dari jauh, kami disambut dengan welcome drink. Dua orang pasangan suami isteri dari Flores, tampak sedang sibuk membantu menyiapkan semua yang akan dihidangkan. Mereka sama-sama umat katolik yang berasal satu daerah dengan Romo Damas dan sudah seperti keluaraga dengan keluarga Acun meskipun berbeda suku.
“Kalian harus mencoba arak buatan saya,” sambut Tia dengan menyodorkan satu botol yang isinya tampak sedikit keruh seperti air teh.
Arak ini tidak seperti arak pada umumnya yang berwarna jernih seperti air putih. Tia sudah lama membuat arak yang hanya dikonsumsi sendiri, salah satunya untuk campuran ayam arak. Arak buatanya menggunakan bahan dari beras biasa. Sedangkan raginya dibuat sendiri memakai bahan dari rempah-rempah.
Tia memiliki resep khusus untuk arak buatannya dengan mencampur akar-akar kayu yang dibeli di daerah sekitar. Entah tanaman apa yang dipakainya, saya tidak bertanya lebih lanjut. Arak rendaman akar itu ditawarkan ke kami dan konon sebagai obat mujarab. Untuk rasa, jangan ditanya lagi karena cukup keras bagi peminum pemula.
“Kalau minum arak ini dijamin pegal-pegal dan capek langsung hilang semua,” katanya.
Kami pun langsung percaya begitu saja dengan apa yang dikeluarkan dari mulut Tia. Tanpa berpikir panjang, kami langsung mencicipi kerasnya arak akar buatannya.
Antara Arak, Suku Dayak, dan Sawit
Arak sudah menjadi kearifan lokal bagi masyarakat suku Dayak di Kalimantan, termasuk di wilayah Ketapang. Selain arak, masyarakat di sana juga membuat tuak yang kadar alkoholnya lebih rendah dan lebih cepat proses pembuatanya. Arak atau tuak dibuat dengan bahan berbeda-beda. Ada yang menggunakan air kelapa, pohon aren, enau, ataupun beras seperti buatan Tia.
Kalimantan mengalami banyak perubahan, bahkan sejak ratusan tahun lalu. Mulai dari masuknya agama Katolik melalui misionaris Belanda, hingga deforestasi yang menggantikan hutan dengan perkebunan sawit. Meski begitu, masyarakat Dayak masih berupaya mempertahankan identitasnya. Dengan hadirnya gereja di wilayah tersebut, tidak lantas menggeser rumah panjang khas suku Dayak di sana. Dua entitas itu justru hadir berdampingan dan melebur menjadi akulturasi yang khas. Bahkan bangunan gereja di sana masih terdapat ornamen khas suku Dayak.
Saat perayaan hari-hari besar umat Katolik seperti Natal dan tahun baru, acara diadakan di gereja dan di rumah panjang dengan iringan doa, tarian, dan putaran cawan arak yang tak pernah putus. Para romo atau bruder yang menyebar ajaran Kristus di sana pun harus mencecap dan merasakan kerasnya arak Kalimantan untuk bisa menyatu dengan mereka.
Keberadaan arak dan tuak yang sudah lama menjadi bagian dari tradisi Suku Dayak di Ketapang, tetap dipertahankan meskipun sebagian dari mereka sudah masuk Katolik. Tradisi ini kemudian menyebar ke wilayah Kayong Utara dibawa oleh orang-orang Dayak yang bergama katolik.
“Di Kayong Utara arak atau tuak itu dilarang. Arak dan tuak itu khasnya orang Dayak. Di gereja itu kan mayoritasnya orang Dayak. Nah orang-orang Dayak ini bawa arak atau tuak dari kampung mereka ke Kayong Utara. Ada juga beberapa orang buat sendiri di rumah. Nah orang-orang Tionghoa di kayong Utara itu buat arak cuman buat campuran masakan aja,” ujar Willy, anak Acun yang merupakan adik tingkat saya di kampus.
Sedangkan bagi keluarga Acun yang berlatar belakang etnis Tionghoa dan beragama Katolik, arak tidak bisa dilepaskan sebagai kebutuhan yang utama. Salah satu alasannya adalah arak diperlukan untuk bahan masakan, termasuk ayam arak. Ini adalah hidangan tradisional dengan resep turun-temurun bagi orang Tionghoa
Salah satu bumbu penting dalam ayam arak adalah ka chiang ma (Leonurus heterophyllus sweet), tumbuhan liar yang, selain banyak dimanfaatkan sebagai obat herbal, juga jadi bahan baku penting bagi hidangan peranakan di Kalimantan Barat. Karea khasiat ka chiang ma, ayam arak dipercaya sejak dulu sebagai obat tradisional untuk perempuan pasca melahirkan hingga pereda nyeri bagi perempuan yang sedang mengalami datang bulan.
“Ka chiang ma itu tanaman liar dan bentuknya mirip-mirip tanaman ganja. Itu enggak ditanam sengaja, tapi emang sejenis tumbuhan liar, jadi tumbuh sendiri,” kata Willy.
Menurutnya, ayam arak tidak hanya dimasak oleh kalangan peranakan Tionghoa saja, melainkan juga dilakukan oleh orang-orang dari Suku Dayak.
“Araknya ada yang beli dari tempat papah, ada juga yang dibawa dari mereka sendiri, bahkan ada juga yang beli di tempat lain," ujarnya.
Arak lokal di Sukadana punya metode unik. Menurut Willy, alkoholnya tidak terukur. Mereka hanya menilai kadarnya dari seberapa lama proses fermentasinya. Karena buatan rumahan, arak-arak ini punya rasa dan aroma yang berbeda di tiap penjualnya. Begitu pula arak buatan Acun.
Menurut Willy, arak buatan papahnya beda di rasa dan aroma jika dibandingkan dengan arak lainnya. “Tapi arak bikinan rumahan yang ada di Kayong Utara itu alkoholnya enggak terukur. Mereka cuma lihat dari seberapa lama proses fermentasinya saja.”
Nama-Nama yang Disembunyikan
Nasib pahit diskriminasi yang menimpa keluarga keturunan Tionghoa di Indonesia juga jelas dirasakan oleh keluarga besar Acun. Hal ini bermula saat Presiden Soeharto mengesahkan Kepres nomor 127/U/Kep/12/1966 sebagai kebijakan yang memaksa orang-orang keturunan Tionghoa untuk mengikuti budaya Indonesia. Ini termasuk mengganti nama menjadi nama Indonesia.
Suharyo dalam "Pola Nama Masyarakat Keturunan Tionghoa" (2013) menunjukkan bahwa, alasan mengganti nama Indonesia ini diikuti sampai sekarang karena masih khawatir dengan isu SARA, di samping alasan sudah lama hidup di Indonesia dan tidak menguasai bahasa Tionghoa.
Willy bercerita banyak tentang silsiah keluarganya yang turut mengalami efek diskriminasi rasial sejak mulai dari zaman kakek dan neneknya.
“Kalau kakek dari mamah nama Cinanya dinasionalkan. Nama Cinanya kan Phang Bu Sian, jadi yang dipakai nama akhirnya saja, Busian. Kalau dari papah enggak, dia buat nama lagi dari Heng Cheng Khun, jadinya Wilem.”
Orang tua Willy juga mengalami hal yang serupa. Papahnya Willy yang sekarang sudah berumur 53 tahun, memiliki nama Tionghoa Heng Sou Tia, dan orang-orang sekitar memanggilnya Tia. Namun untuk urusan KTP dan administrasi lainnya, ia menggunakan nama Sudianto.
Sedangkan nama Tionghoa mamahnya adalah Phang Chui Con, sesuai dengan dialek Hakka. Namun orang-orang sekitar memanggilnya Acon atau Acun. Ia pun memiliki nama Indonesia yaitu Yati. Ketika mendengar dua nama tersebut, saya pun cukup kaget karena nama-nama itu sangat familiar dengan nama yang ada di Jawa.
Saat ini Acun sudah berusia 45 tahun dan memilik enam orang anak, termasuk Willy. Dari keenam anaknya itu, masing-masing masih tetap menggunakan nama Tionghoa meskipun sudah bercampur dengan nama-nama baru yang lebih populer. Hari-hari Acun disibukan dengan berdagang kue dengan menerima pesanan. Sementara Tia sesekali ikut kerja di proyek.
“Sekarang papa sudah enggak buat arak lagi, soalnya beberapa tahun lalu ada razia besar-besaran di Kayong Utara. Jadi papa sudah enggak produksi lagi.”
Menurut Willy, orang-orang keturunan Tionghoa yang ada di Sukadana berjumlah sekitar 200 kepala keluarga. Hal itu diketahuinya saat dulu pernah melihat buku Keanggotaan Yayasan Kematian di Klenteng yang ada di sana.
Sukadana menjadi pusat bagi orang-orang di wilayah sekitar untuk mencari segala kebutuhan. Sumber kekayaan alam baik yang dihasilkan dari wilayah hutan di pegunungan Palung maupun kekayaan bahari yang melimpah, menjadi modal besar bagi kehidupan masyarakat di Kayong Utara. Meskipun sumber-sumber kekayaan itu akan mudah bergeser seiring dengan masuknya perusahaan perkebunan sawit yang cukup ekstraktif demi mendapat hasil yang menggiurkan.
Dengan semakin meluasnya perkebunan sawit, secara bersamaan mempercepat orang-orang sekitar untuk berubah menjadi buruh upahan sekaligus menghilangkan hutan dengan seketika. Orang-orang sekitar dipaksa untuk melaju lebih cepat dan melupakan pengetahuan akan hutan sebagai sumber penghidupannya selama ini. Begitupun dengan orang utan dan satwa lainnya yang harus mencari rumah baru karena rumah dan sumber makananya semakin habis.
Dengan kondisi yang semakin rentan ini, apakah orang-orang Dayak dan Tionghoa di Kayong Utara masih bisa merasakan ayam arak ka chiang ma yang bahan-bahannya berasal dari alam sekitar?
Editor: Nuran Wibisono