tirto.id - Indonesia panen emas dari cabor pencak silat Asian Games 2018, Senin (27/8/2018) dengan menyapu bersih emas dari delapan nomor yang dipertandingkan. Raihan tim pencak silat ini sekaligus melampaui target emas kontingen Indonesia. Ada 167 atlet dari 16 negara yang mengirimkan atletnya di cabang pancak silat. Artinya dalam skala Asia saja, setidaknya ada belasan negara yang sudah mengenal pencak silat sebagai olahraga prestasi.
Pencak silat merupakan ilmu bela diri khas yang berkembang di masyarakat rumpun Melayu di Asia Tenggara. Bagaimana asal-usulnya pencak silat bisa dipertandingkan dalam acara olahraga internasional?
Ada pendapat bahwa pencak silat berkembang sejak masa prasejarah dari cara bertarung suku-suku asli yang mendiami wilayah Asia Tenggara kepulauan. Bentuk-bentuk gerakan awal pencak silat diduga terinspirasi dari gerak berbagai macam binatang.
“Peran binatang sebagai sumber inspirasi dalam menciptakan gerakan pencak silat juga diketahui melalui beberapa kepercayaan orang-orang Melayu yang luas,” tulis Aditya Charisma Permadi dalam skripsinya Peranan Eddie Marzuki Nalapraya dalam Ikatan Pencak Silat Indonesia (IPSI): Dari Lokal ke Internasional (2013:18).
Ada juga yang berpendapat asal mula pencak silat lebih muda dari itu. Diperkirakan pencak silat berkembang ketika masyarakat Nusantara mulai menjalin hubungan dagang dengan Kekaisaran Tiongkok. Pencak silat diduga adalah derivasi dari salah satu bagian dari ilmu bela diri Cina, “pung ca” dan “si lat”.
Pencak silat dikembangkan orang Melayu dari cara-cara berkelahi yang sifatnya spontan dan intuitif. Cara-cara naluriah ini berevolusi menjadi gerakan-gerakan sederhana yang sekarang disebut kiat laga. Serbaneka kiat laga ini lalu dibakukan menjadi jurus-jurus yang menjadi inti dari satu sistem silat. Sistem pencak silat yang baku diperkirakan mulai berkembang sekira abad ke-7. (hlm. 20).
Antropolog sosial dari Centre de recherches sur l’Asie du Sud-Est (CASE), Paris, Gabriel Facal menyebut bahwa praktik-praktik kependekaran telah umum pada zaman kejayaan Kerajaan Sriwijaya. Persebarannya kian masif ke timur Nusantara seiring dengan masuknya pengaruh Islam usai keruntuhan Majapahit. Pencak silat pun berkembang dengan percampuran pengaruh unsur-unsur Cina dan Islam.
Dalam Keyakinan dan Kekuatan Seni Bela Diri Silat Banten (2016: 2) Gabriel Facal menyebut pusat-pusat perkembangan pencak silat di Indonesia sejak masa klasik ada di Sumatera dan Jawa.
Di masa klasik, pencak silat menjadi bagian kecakapan prajurit kerajaan-kerajaan klasik Nusantara seperti Sriwijaya dan Majapahit. Praktik ini terus berkembang hingga masa Islam dan kemudian masa kolonial. Salah satu contoh penguasa yang memanfaatkan jasa pendekar sebagai prajuritnya adalah penguasa Sunda Kelapa Pangeran Jayakarta.
“Diperkirakan pada tahun 1618 jumlah prajurit Jayakarta sekitar 6.000 sampai 7.000 orang. Umumnya seorang praktisi ilmu beladiri yang mumpuni diangkat menjadi senopati, mengepalai beberapa prajurit, atau setidaknya sebagai pengawal terdekat raja,” tulis G.J. Nawi dalam Maen Pukulan: Pencak Silat Khas Betawi (2016:3).
Berkembang Pasca-Kemerdekaan
Selepas Indonesia merdeka, perkembangan pencak silat nisbi mandek. Banyak perguruan yang tutup dan pendekar-pendekarnya undur diri dari dunia persilatan. Di sisi lain masyarakat mulai mengenal dan mempelajari seni bela diri dari luar seperti Karate dan Kungfu. Pemerintah sendiri belum punya fokus untuk melestarikan dan mengembangkan pencak silat.
Inisiatif untuk memulai usaha preservasi ilmu pencak silat mulai mengemuka pada Mei 1948. Para tokoh dari beberapa aliran dan perguruan silat berkumpul di Surakarta dan kemudian membentuk Ikatan Pencak Silat Seluruh Indonesia (IPSSI).
Dalam risetnya Aditya Charisma Permadi (hlm. 5) menulis, “Program utama dari IPSSI adalah mempersatukan aliran-aliran pencak silat Indonesia, selain itu IPSSI ingin memasukkan pelajaran pencak silat di sekolah-sekolah.”
IPSSI kemudian berubah nama menjadi Ikatan Pecak Silat Indonesia (IPSI) pada 1950. Program kerjanya pun mulai berkembang, yaitu memulai standardisasi pencak silat sebagai olahraga. Visi IPSI saat itu adalah menjadikan pencak silat sebagai salah satu cabang olahraga yang dipertandingkan dalam Pekan Olah raga Nasional (PON).
Seturut penelusuran Aditya Charisma Permadi, pencak silat sempat didemonstrasikan dalam gelaran PON pertama di Surakarta pada 1948. Pencak silat lalu secara rutin menjadi pengisi PON, namun sekadar menjadi pertunjukan hiburan.
Usaha lebih intens baru dilakukan IPSI menjelang PON ke-8. IPSI mempersiapkan standardisasi peraturan, wasit dan juri, struktur pertandingan dan juga soal perlengkapan dan sarana pertandingan. Itu dilakukan agar pencak silat punya standar yang sama dengan olah raga yang lainnya dan sebagai syarat menjadi cabang olahraga PON.
Tak sia-sia, pada 1973 secara resmi pencak silat dipertandingkan dalam PON ke-8 1973 untuk pertama kalinya. “Sejak saat itu pula pencak silat sejajar kedudukannya dengan olahraga lainnya. Pada saat itu olahraga pencak silat baru diikuti oleh 15 daerah, dengan jumlah atlet 128 orang terdiri dari 106 atlet putera dan 22 atlet putri,” catat Aditya Charisma Permadi (hlm. 6).
Peran Eddi M. Nalapraya
Tonggak selanjutnya yang ingin dicapai IPSI adalah mengglobalkan pencak silat. Caranya dengan mengusahakan pencak silat menjadi cabang olahraga yang dipertandingkan dalam acara olahraga internasional. Usaha ke arah ini diintensifkan oleh ketua kedua IPSI Tjokropranolo.
Usaha Tjokropranolo adalah menggelar konferensi pencak silat internasional pada September 1979, bersamaan dengan SEA Games ke-10. Kala itu IPSI mengundang Malaysia, Singapura, dan Brunei yang juga punya tradisi pencak silat. Saat itulah Federasi Pencak Silat Internasional diinisiasi dan direncanakan menggelar kongres pertamanya pada akhir tahun itu juga.
“Namun, kongres yang direncanakan akan berlangsung pada tanggal 10 Desember 1979 tersebut mengalami penundaan sampai waktu yang belum ditentukan,” tulis Aditya Charisma Permadi (hlm. 53).
Tjokropranolo lantas memberi mandat kepada Ketua Harian IPSI Eddie Marzuki Nalapraya untuk segera merealisasikan pembentukan organisasi pencak silat internasional. Ternyata tak butuh waktu lama bagi Nalapraya merealisasikan mandat itu.
Pada Maret 1980 IPSI mengajak Singapura dan Malaysia membahas soal pendirian federasi pencak silat internasional. Pertemuan itu lantas menjadi tonggak awal berdirinya Persekutuan Pencak Silat Internasional alias Persilat. Saat itu Eddie juga dipilih menjadi ketua presidium Persilat.
Agaknya karena prestasi itulah, Eddie kemudian dipilih menggantikan Tjokropranolo sebagai ketua PB IPSI pada 1981. Melalui kedua institusi ini Eddie bergerak mempromosikan pencak silat ke dunia internasional. Kala itu, telah ada beberapa perguruan pencak silat berdiri di luar Asia Tenggara, sehingga usaha pertamanya adalah mengintensifkan komunikasi dengan perguruan-perguruan itu.
“Eddie banyak melakukan perjalanan dan pertemuan dengan sejumlah perguruan pencak silat di dalam dan luar negeri, terutama di kawasan Asia Tenggara. Sebelumnya Eddie juga melakukan komunikasi dengan sejumlah pendekar silat yang
telah membuka perguruan silat di kawasan Eropa dan Amerika,” tulis Ramadhan KH dkk dalam biografi Eddie Jenderal Tanpa Angkatan: Memoar Eddie M. Nalapraya (2010, hlm. 150).
Pada 1982 Persilat mulai menggelar kejuaraan pencak silat internasional di Jakarta. Meskipun mendapat apresiasi positif, namun animonya ternyata belumlah tinggi. Tercatat hanya tujuh negara yang ikut serta. Dana penyelenggaraannya pun
terbatas, karena belum banyak sponsor yang melirik pencak silat sebagai olahraga populer.
Namun, IPSI dan Persilat terus bergerak. Sekali lagi kejuaraan pencak silat internasional digelar pada 1984, pesertanya kali ini bertambah jadi sembilan negara. Peluang mempopulerkan pencak silat mengemuka saat Eddie ikut menjadi panitia penyelenggara SEA Games 1987 di Jakarta.
Upayanya berhasil, pencak silat jadi salah satu cabor yang dipertandingkan di SEA Games Jakarta. Masuknya pencak silat ke SEA Games rupanya efektif mengangkat popularitas pencak silat di luar negara inisiator Persilat.
“Di Thailand, Filipina, Vietnam, Brunai Darussalam, Myanmar dan Laos, pencak silat juga semakin populer. IPSI membantu mengirimkan sejumlah pelatih ke negara-negara di kawasan Asia Tenggara yang memang membutuhkan,” tulis Ramadhan KH dkk (hlm. 153).
Berselang 31 tahun setelahnya, pada Asian Games ke-18 di Jakarta dan Palembang, pencak silat kali pertama diperlombakan di level Asia.
___________________
Catatan: Pada naskah ini mengalami ralat data dan perubahan parafrasa terkait temuan data baru dari buku biografi Eddie Jenderal Tanpa Angkatan: Memoar Eddie M. Nalapraya. Terdapat koreksi mengenai data soal kali pertama pencak silat dilombakan pada SEA Games. Sebelumnya tertulis "SEA Games ke-10 di Jakarta pada 1979" setelah diralat menjadi "SEA Games 1987 di Jakarta"
Editor: Suhendra