Menuju konten utama

Avtur Mahal, Tim Prabowo Enggan Memberi Solusi Sekarang

Juru debat BPN Ramson Siagian mengkritik cara Jokowi menekan Pertamina agar menurunkan harga avtur. Namun, ia enggan memaparkan konsep Prabowo terkait masalah ini.

Avtur Mahal, Tim Prabowo Enggan Memberi Solusi Sekarang
Petugas Depot Pengisian Pesawat Udara PT. Pertamina dengan menggunakan mobil tangki mengisi bahan bakar minyak Avtur untuk salah satu pesawat komersil di Bandara Internasional Sultan Iskandar Muda, Selasa (1/8). ANTARA FOTO/Irwansyah Putra

tirto.id - Cara Presiden Joko Widodo mengatasi harga avtur mahal yang dipasok Pertamina dikritik Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandiaga. Apalagi, Jokowi "mengancam" akan membuka peluang sebesar-besarnya bagi perusahaan asing yang mau menjadi penyalur avtur di Indonesia.

Juru Debat BPN Prabowo-Sandiaga yang membidangi energi, Ramson Siagian mengatakan, kritik Jokowi soal harga avtur yang dijual Pertamina tidak tepat karena pemerintah telah menyetujui harga avtur diatur berdasarkan mekanisme pasar.

Anggota Komisi VII DPR dari Fraksi Gerindra ini menilai, kenaikan harga avtur yang dijual Pertamina seharusnya menjadi wajar karena saat pembelian dilakukan, harga minyak di pasar global memang sedang tinggi.

"Harga pertalite, pertamax, avtur sesuai permintaan pemerintah yang disetujui DPR RI, disesuaikan dengan naik turunnya harga minyak mentah di pasar global,” kata Ramson saat dihubungi reporter Tirto, Kamis (14/2/2019).

Karena itu, kata Ramson, permintaan Jokowi agar Pertamina menurunkan harga avtur hanyalah pencitraan semata.

“Sekitar 5-6 bulan lalu, harga avtur, pertalite, pertamax memang naik, tetapi satu bulan yang lalu, waktu turun, kenapa enggak langsung diturunkan juga harganya? Ini, kan, pencitraan yang terlambat,” kata Ramson.

Kritik senada juga diungkapkan Ketua Komisi VII DPR, Gus Irawan Pasaribu. Ia menilai ucapan Jokowi di publik soal monopoli harga avtur tak tepat. Sebab, jika tujuannya untuk menurunkan harga dan menekan tarif tiket pesawat, maka hal itu bisa dilakukan dengan memanggil pejabat terkait.

Sebab, kata Irwan, belum tentu kenaikan harga tiket pesawat sepenuhnya merupakan kesalahan Pertamina yang dinilai menjual harga avtur terlalu tinggi.

“Sebetulnya keliru juga bahwa ada monopoli,” kata Irawan saat ditemui di kompleks parlemen, Jakarta, Rabu (13/2/2019).

Selain itu, kata Irawan, apabila Pertamina mengambil marjin dari penjualan avtur sehingga harganya dinilai mahal, maka hal tersebut sebenarnya tak perlu dipersoalkan.

Sebab, kata Irawan, keuangan perusahaan pelat merah itu sudah cukup tertekan dengan penugasan-penugasan yang diberikan pemerintah, seperti BBM penugasan dan BBM satu harga.

Tim Prabowo Enggan Paparkan Solusi

Namun, tim Prabowo-Sandiaga belum mau memaparkan strategi untuk menjaga harga avtur yang dijual Pertamina bila terpilih nanti.

Ramson hanya mengatakan, salah satu cara yang bisa dipakai adalah mengatur struktur serta formula penghitungan harga avtur, sehingga tak terlalu berpengaruh terhadap kenaikan harga tiket pesawat.

“Kalau kami nanti ada strategi soal struktur harga BBM baik yang penugasan maupun non penugasan, yang bisa jadi referensi bagi para pelaku usaha. Itu belum bisa kami buka sekarang strateginya. Nanti, lah, bos saya saja belum debat,” kata Ramson.

Sejak akhir tahun lalu, tingginya harga avtur Pertamina memang dituding sebagai salah satu pemicu kenaikan harga tiket oleh maskapai penerbangan. Sebab, pengeluaran untuk fuel dalam struktur biaya operasional pesawat punya porsi yang cukup dominan.

Berdasarkan dokumen Kementerian Perhubungan yang diterima Tirto, biaya bahan bakar pesawat yakni mencapai 24 persen dari total komponen operasional. Sementara dari laporan keuangan triwulan III PT Garuda Indonesia (Persero), ongkos untuk pembelian avtur memakan 20-30 persen dari rata-rata operasional.

Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) sebenarnya telah menyusun formula harga avtur yang baru lewat Keputusan Menteri ESDM Nomor 17K/10/MEM/2019.

Formula ini, dinilai memiliki batas atas dengan mempertimbangkan antara harga jual dengan nilai yang diimpor oleh Pertamina. Selain itu, Keputusan Menteri itu juga memungkinkan Pertamina untuk mengevaluasi harga avtur dua kali dalam sebulan.

Peneliti dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Abra Talattof menilai harga avtur Pertamina sebenarnya sudah cukup kompetitif dengan adanya formula baru tersebut.

Lagi pula, kata Abra, jika dibandingkan dengan negara-negara tetangga, Indonesia masuk ke dalam urutan keempat dengan harga avtur termurah. Karena itu, Abra khawatir jika harga avtur diturunkan tanpa memikirkan marjin, maka keuangan Pertamina akan makin tertekan.

“Saya cek justru harga avtur di Soetta lebih murah ketimbang di Kualalumpur dan Singapura. Di Soetta itu Rp8.210 per liter, di Kuala Lumpur itu yang dijual Shell Rp8.900, di Singapura Rp10.600,” kata Abra saat dihubungi reporter Tirto, Rabu (13/2/2019).

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati turut bersuara soal tingginya tarif tiket maskapai penerbangan yang disebabkan mahalnya harga avtur, termasuk pengenaan PPn avtur.

“Nanti Pertamina biar di-review saja, nanti kami lihat kalau ada implikasinya," ujar Sri Mulyani di kantornya, Selasa, 12 Februari 2019.

Hingga saat ini, kata Sri Mulyani, Kementerian Keuangan masih menunggu hasil review dari Pertamina, apakah kebijakan PPn yang diberlakukan pemerintah menghambat atau tidak.

"Jadi kami lihat supaya kita enggak ada kompetisi tidak sehat antara Indonesia dengan yang lainnya," kata Sri Mulyani.

"Kalau itu sifatnya adalah level playing field, kami bersedia untuk membandingkan dengan negara lain, kita selalu dibandingkan dengan Singapura, Kuala lumpur, kalau treatment PPn itu adalah sama, kita akan berlakukan sama," kata Sri Mulyani.

Berdasarkan Peraturan Menteri Perhubungan No. 14/2016 yang mengatur tarif batas atas dan bawah angkutan udara, penyesuaian tarif bisa dilakukan apabila harga avtur di atas Rp9.729 per liter, selama tiga bulan berturut-turut.

Baca juga artikel terkait HARGA AVTUR atau tulisan lainnya dari Abdul Aziz

tirto.id - Bisnis
Reporter: Hendra Friana
Penulis: Abdul Aziz