tirto.id - Sebelum Perang Dunia II, Atjoem Kasoem bekerja di sebuah toko optik milik orang Jerman di Jalan Braga, Bandung. Ia belajar banyak hal tentang bisnis itu. Kepada Kurt Schlosser, majikannya, Kasoem mengatakan bahwa Jerman sebaiknya membantu mempercepat kemerdekaan Indonesia. Namun, Schlosser memberi jawaban yang membekas bagi Kasoem.
“Apa gunanya merdeka kalau perekonomian dikuasai orang asing,” kata Kurt Schlosser, seperti dituturkan Kasoem dalam Apa dan Siapa Sejumlah Orang Indonesia 1981-1982 (1981:291).
Schlosser, seperti dicatat Denys Lombard dalam Nusa Jawa Silang Budaya: Jaringan Asia (2005:121), menunjukkan pada Kasoem pentingnya industri kacamata bila kelak Indonesia merdeka. Bagaimana pun tak semua orang bisa membaca atau melihat dengan jelas tanpa kacamata. Di zaman kolonial Hindia Belanda, menurut Thalib Ibrahim dalam Jiwa Joang Bangsa Indonesia (1975:84), “Hanya kulit putih yang ahli kacamata. Sekolahnya pun tidak ada.”
Ketika Perang Dunia II baru meletus di Eropa, Kasoem mulai menjajakan kacamata dari sekolah ke sekolah di Bandung. Kata-kata Schlosser membuatnya serius untuk berbisnis kacamata.
Ketika Jepang akan datang, banyak orang Jerman yang ditangkap pemerintah kolonial Hindia Belanda. Kasoem pun menggantikan Schlosser di Jalan Braga. Ia mendapat dukungan dari pendiri Taman Siswa, Ki Hajar Dewantara—yang punya koneksi dengan pejabat Jepang—sehingga Kasoem menjadi orang Indonesia pertama yang membuka toko di Jalan Braga pada masa pendudukan Jepang.
Setelah Jepang kalah--sambil membawa barang dagangannya--Kasoem meninggalkan Bandung. Mula-mula ia pindah ke Tasikmalaya, dan beberapa bulan kemudian hijrah ke Yogyakarta. Di kota ini Kasoem membantu orang-orang terkemuka Republik dengan menyediakan kacamata, salah satunya Mohammad Hatta.
Di masa revolusi, hubungan Indonesia dengan dunia luar dibatasi oleh tentara Belanda, salah satunya dengan blokade laut. Barang-barang kebutuhan dalam negeri, termasuk bahan kacamata, menjadi sulit didapat.
“Selama tiga tahun ia menyediakan kacamata kepada semua orang terkemuka di Republik, termasuk Bung Karno, dan untuk mengatasi kesulitan pasokan, ia membuka bengkel pengasahan kecil di Klaten,” tulis Lombard.
Setelah Perang Kemerdekaan berlalu, Kasoem memutuskan kembali ke Bandung. Namun, tokonya yang terletak di Jalan Braga sudah dihuni orang Tionghoa sejak zaman pendudukan tentara Belanda. Lewat pengadilan, akhirnya Kasoem berhasil mendapatkan kembali haknya pada tahun 1953. Ia pun melajutkan bisnis kacamata peninggalan "gurunya".
Usaha Kasoem kian berkembang. Ia mulai membuka cabang di Tasikmalaya dan Yogyakarta. Sementara di Jakarta Kasoem mempunyai 4 cabang. Meski demikian, bisnisnya bukan berarti tanpa rintangan. Kala itu, ia mesti mengimpor bahan-bahan optik karena di Indonesia belum tersedia.
Warsa 1960, ia pergi ke Jerman Barat untuk memperdalam pengetahuannya kepada Dr Hermann Gebest. Sekembalinya ke Indonesia, dengan bermodalkan uang sebesar 69 juta rupiah, ditambah pinjaman dari bank, Kasoem mendirikan pabrik lensa kacamata di Kewedanaan Leles, Garut. Peresmiannya dilakukan pada 1974 yang dihadiri sahabat-sahabatnya di zaman revolusi, antara lain Bung Hatta dan Sultan Hamengkubuwono IX.
Meski bersaing dengan produk kacamata dari luar negeri, tadi setidaknya di Jawa Barat, namanya paling kesohor. Iklan tentang bisnisnya bertuliskan “Kasoem, Optik, Bandung”. Selain promosinya yang gencar sehingga menancap dalam benak masyarakat Jawa Barat, Kasoem juga dikenal rajin membantu pendidikan anak-anak Sunda.
Kasoem menginginkan usahanya diteruskan oleh anak cucunya. Ia menghindari pinjaman dari luar negeri. “Bagi Kasoem biarlah pabrik itu kecil, tetapi milik sendiri,” tulis Thalib Ibrahim (1975:59).
Menurutnya, jika bukan milik sendiri maka tidak ada kekuasaan untuk maju dengan berdiri di atas kaki sendiri (berdikari). Prinsip inilah yang diinginkan oleh Presiden Sukarno. Namun, tak semua pengusaha di Indonesia seperti dirinya.
Kasoem wafat pada 17 Juni 1979 di Bandung. Ia meninggalkan delapan anak dari perkawinannya dengan Khoemaini Sirad. Salah seorang anaknya ada yang memakai nama Hatta, sebagai pengingat kepada zaman perjuangan bersama Bung Hatta. Sebagaimana harapannya, anak-anak Kasoem meneruskan bisnisnya yang sampai sekarang masih eksis.
Usaha keluarga Kasoem kemudian bukan hanya kacamata, tapi juga merambah ke alat pendengaran. Kini keluarga Kasoem tak hanya ingin agar orang-orang Indonesia bisa melihat dengan jelas, tapi juga mendengar dengan jelas. Warsa 1990, Kasoem Hearing Centre didirikan. Bidang ini semula dirintis dengan Join Venture bersama Siemens yang bernama SIKA (Siemens Kasoem).
Editor: Irfan Teguh Pribadi