Menuju konten utama

Asuransi untuk Petani yang Setengah Hati

Kesadaran beransuransi masyarakat Indonesia terbilang rendah, hanya 17,08 persen. Di sektor pertanian pemerintah mencoba meningkatkan literasi asuransi dengan layanan asuransi pertanian sejak Agustus 2015. Sayangnya, program yang misi utamanya melindungi petani dan menopang program swasembada ini masih bergulir setengah hati.

Asuransi untuk Petani yang Setengah Hati
Ratusan hektar perkebunan Jagung di kawasan Ngantang, Jawa Timur rusak akibat letusan Gunung Kelud. TIRTO/Andrey Gromico

tirto.id - Perubahan iklim dan cuaca yang tak menentu semakin memperbesar risiko gagal panen bagi para petani. Tahun lalu saja, Kementerian Pertanian (Kementan) mencatat ada 88.575 hektar lahan yang gagal panen.

Penyebabnya macam-macam, bisa karena kekurangan air karena musim penghujan tak bisa diprediksi, kondisi angin, bisa pula karena serangan hama. Kementerian Pertanian mencatat tiga hal utama penyebab gagal panen adalah banjir, kekeringan, dan serangan organisme pengganggu tumbuhan (OPT).

Ketika panen gagal, bukan hanya petani yang merugi. Masyarakat juga terkena imbas. Banyaknya lahan pertanian gagal panen akan membuat pasokan hasil pertanian berkurang, berkurangnya pasokan berdampak pada kenaikan harga hingga kelangkaan barang. Itu mengapa, pemerintah perlu turun tangan untuk mengurangi risiko gagal panen ini, salah satunya dengan asuransi pertanian.

Asuransi pertanian bukanlah barang baru, program ini telah melewati proses panjang. Sejak 2011, Kementan sudah membentuk Pokja Asuransi Pertanian untuk merumuskan asuransi usaha tani padi dan asuransi ternak sapi. Lalu dilakukan ujicoba di Jawa Barat, Jawa Timur, dan Sumatera Selatan pada Oktober 2012 hingga Maret 2013 dengan menunjuk PT Asuransi Jasa Indonesia (Jasindo) sebagai penyelenggara.

Ujicoba tersebut bisa dikatakan gagal, sebab klaim yang dibayarkan lebih besar, yakni Rp523,7 juta. Sementara premi yang diterima Jasindo hanya Rp112,1 juta. Bukan hal mengherankan sebenarnya jika uji coba itu gagal. Sebab jumlah lahan yang diasuransikan hanya 623,12 Ha, padahal awalnya ditargetkan 3.000 Ha. Dalam prinsip asuransi, jumlah tertanggung harus memenuhi hukum bilangan besar. Ia adalah batas minimal peserta asuransi agar perusahaan asuransi tak merugi. Belum lagi, soal risiko moral hazard juga masih jadi tantangan.

Tahun 2013, dikeluarkan Undang-undang No. 19/2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani. Salah satu pasalnya mewajibkan pemerintah melindungi petani dari kerugian gagal panen dalam bentuk asuransi pertanian. Namun, undang-undang itu membutuhkan peraturan menteri untuk mengatur pelaksanaan asuransi pertanian.

Barulah pada Juli 2015, Peraturan menteri Pertanian No. 40/2015 tentang Fasilitas Asuransi Pertanian diundangkan. Subsidi premi pun diberikan yang dananya bersumber dari APBN. Jasindo menjadi satu-satunya perusahaan asuransi umum yang ditunjuk menjadi penyelenggara asuransi pertanian ini.

Premi yang harus dibayarkan petani kepada perusahaan asuransi pelat merah itu sebesar Rp180 ribu per hektar per musim tanam. Untungnya, karena ada subsidi dari pemerintah, petani hanya perlu membayar Rp36 ribu per hektar untuk setiap masa tanam. Jika terjadi gagal panen, klaim atau ganti rugi yang didapatkan petani sebesar Rp6 juta per hektar.

Hanya saja, yang bisa menikmati program asuransi pertanian bersubsidi ini cuma petani padi dan peternak sapi. Ketua Serikat Petani Indonesia Henry Saragih mengatakan di desa, sering terjadi salah kaprah dalam pelaksanaannya. Hanya kelompok tani binaan pemerintah yang mendapatkan subsidi.

“Ini kan diskriminasi, padahal UU mengamanatkannya ke semua organisasi petani,” katanya melalui situs resmi SPI.

Henry mempertanyakan mengapa asuransi pertanian hanya fokus pada petani padi. Pertanyaan itu juga ditanyakan para petani anggota SPI kepada dirinya. “Ini kan hanya meneruskan 'berasisasi' orde baru, petani padi terus yang didukung pemerintah,” imbuhnya.

Dia menilai semua usaha tani berisiko tinggi karena perubahan iklim saat ini. Hortikultura dan peternakan unggas juga sangat terancam. UU dan peraturan menteri pun tidak membatasi perlindungan asuransi pertanian hanya bagi petani padi dan peternak sapi.

Sementara itu, Kementan beralasan butuh tahapan sebelum nantinya asuransi pertanian mengakomodir seluruh petani. Kementan ingin memastikan program ini sukses untuk padi terlebih dahulu, baru kemudian menyusul asuransi pertanian lainnya.

Infografik Asuransi Pertanian

Sebelum Indonesia, negara-negara lain di Asia sudah menerapkan asuransi pertanian. Indonesia saat ini, sama seperti Thailand yang hanya mengasuransikan tanaman padi. Sedangkan di India, seluruh jenis tanaman pertanian bisa diasuransikan. Premi yang dibayar petani pun hanya 1,5—5 persen dari total premi yang harus dibayarkan, sisanya disubsidi pemerintah.

Di Malaysia, komoditas pertanian yang bisa diasuransikan meliputi kelapa sawit, cokelat, karet, durian, mangga, manggis, kebanyakan adalah produk buah-buahan. Di Filipina, lebih beragam, meliputi jagung, padi, jahe, mangga, bawang, pepaya, nanas, kacang, dan ikan. Besaran subsidi yang diberikan pemerintah Malaysia dan Filipina juga berbeda tergantung jenis tanaman.

Sampai September lalu, jumlah lahan pertanian yang terasuransikan mencapai 369.422 ha. Lahan tersebut tak tersebar di seluruh provinsi, melainkan hanya 16 provinsi dan 17 kabupaten. Jumlah lahan tersebut masih jauh dari target. Target awal program sepanjang tahun ini adalah 1 juta ha lahan. Target itu kemudian diturunkan menjadi hanya 700.000 ha saja.

Tahun depan, Kementan menargetkan 1 juta ha lahan terasuransikan. Persebarannya pun akan diperluas di 22 provinsi, tak lagi hanya 16 provinsi. Tetapi tetap saja, di 2017 fokus pemerintah masih pada tanaman padi. Untuk itu, dengan adanya masukan dari serikat petani, sudah seharusnya program ini bisa mencakup semua petani. Sudah saatnya asuransi petani tak hanya jadi program yang setengah hati.

Baca juga artikel terkait ASURANSI PERTANIAN atau tulisan lainnya dari Wan Ulfa Nur Zuhra

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Wan Ulfa Nur Zuhra
Penulis: Wan Ulfa Nur Zuhra
Editor: Suhendra