tirto.id - Setelah dilanda Badai tropis Cempakadi perairan sebelah selatan Jawa Tengah sejak Senin, (27/11/2017) hingga hari ini Rabu, (29/11/2017), Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) merilis badai baru bernama Dahlia yang bibitnya ditemukan di Samudera Hindia.
Berdasarkan analisa BMKG, bibit badai Dahlia berada di Samudera Hindia sebelah Selatan Barat Daya Bengkulu, sekitar 8,5LS, 100,8BT (sekitar 540 km sebelah selatan barat daya Bengkulu), dan diprediksi akan berdampak pada peningkatan hujan lebat, tinggi gelombang, angin kencang, maupun potensi kilat atau petir di beberapa wilayah di Indonesia.
BMKG mencatat, setidaknya sudah tiga kali badai tropis yang menyerang wilayah Indonesia sejak terbentuknya pusat peringatan dini siklon tropis Tropic Cyclon Warning Center (TCWC) di Jakarta pada 2008.
"Sejak pusat peringatan dini siklon terbentuk pada 2008 baru tiga kali siklon tropis yang betul-betul terjadi," kata Deputi Bidang Meteorologi BMKG R Mulyono Rahadi Prabowo di Jakarta, Selasa (28/11/2017) seperti dilansir dari Antara.
Di 2010 ada badai tropis Anggrek yang melanda Indonesia, kemudian pada 2014 terjadi badai tropis Bakung, lalu badai Cempaka dan yang baru saja dideteksi BMKG yaitu Badai tropis Dahlia.
Lalu sebenarnya, dari mana asal-usul penamaan badai yang terjadi di Indonesia?
Sejak dibentuk, TCWC Jakarta diberikan kewenangan untuk mengusulkan dan memberikan nama pada bibit siklon yang sudah menjadi siklon tropis yang terbentuk di titik koordinat 0-10 derajat LS dan 90-125 derajat BT. Penamaan nama badai di Indonesia disepakati sesuai daftar abjad dan menggunakan nama bunga.
Merujuk pada Organisasi Metereologi Dunia atau World Metereological Organization (WMO), setiap negara mengajukan 10 nama kandidat, boleh nama hewan, tanaman, tanda astrologis, tokoh mitologi atau apa pun itu, yang kemudian dikaji Komite Topan WMO yang bermarkas di Tokyo. Begitu diadopsi, setiap negara masih boleh mengeluarkannya dari laporan cuaca nasional mereka masing-masing.
Dikutip dari laman resmi World Metereological Organization (WMO), seorang ilmuwan cuaca bernama Ivan R. Tannehill menjelaskan dalam bukunya yang berjudul "Hurricanes" bahwa awal mulanya badai tropis diberi nama orang-orang kudus di agama Katolik. Misalnya, ada "Badai Santa Ana" yang melanda Puerto Riko pada tanggal 26 Juli 1825, kemudian "San Felipe I" dan "San Felipe II" yang melanda Puerto Riko pada tanggal 13 September di kedua 1876 dan 1928.
Tannehill juga menceritakan tentang Clement Wragge, seorang ahli meteorologi Australia yang mulai memberi nama wanita pada badai tropis sebelum akhir abad ke-19.Sebelumnya, penamaan badai dilakukan berdasarkan titik koordinat dimana badai itu terbentuk, namun akhirnya sistem itu dicabut untuk mempercepat identifikasi badai sebagai pesan peringatan, karena nama lebih mudah diingat ketimbang angka dan istilah teknis.
Sistem ini kemudian diadopsi oleh Pusat Badai Nasional Amerika Serikat atau National Hurricane Centeratau yang disingkat NHC untuk memberi nama badai tropis yang terbentuk di wilayah Atlantik dan Teluk Meksiko.
Namun, badai tropis tidak boleh dinamai dengan nama pembunuh atau mengesankan penjahat, jika itu dilakukan maka World Metereological Organization yang berada di bawah PBB, akan memvetonya.
Hal itu pernah terjadi pada April 2015 ketika WMO melarang penggunaan nama "Isis", dewi kesuburan Mesir kuno, dari daftar badai 2016 yang menerjang Pasifik Utara bagian timur, sampai Pasifik Utara bagian tengah.
"Isis" ditolak karena nama itu mengingatkan kepada kelompok militan ISIS yang bengis dan melakukan aksi-aksis terorisme sehingga menimbulkan kesan buruk untuk badai jika nama itu dipakai.
Penulis: Yandri Daniel Damaledo
Editor: Yandri Daniel Damaledo