tirto.id - Atas usul Mayor Isaac St Martin dan van Hoorn, pada 21 Oktober 1688, maskapai dagang Hindia Timur Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) membikin aturan untuk pribumi. Orang-orang diharuskan tinggal hanya dengan orang-orang satu suku dalam sebuah kampung. Orang Ambon harus tinggal di Kampung Ambon, orang Bali harus di Kampung Bali dan, dan orang Melayu di Kampung Melayu.
Di masa VOC, orang-orang dari etnis-etnis tersebut ditempatkan mengelilingi benteng VOC di sekitar Jakarta. Orang-orang Ambon ditempatkan di timur benteng. Orang-orang Bali di arah barat dan orang-orang Melayu di selatan. Kampung-kampung itu seolah membentengi VOC dari serangan pribumi di pulau Jawa.
Menurut Mona Lohanda dalam buku Sejarah Para Pembesar Mengatur Batavia (2007), “sisa-sisa tempat pemukiman mereka bisa dikenali melalui nama-nama kampung tua di Jakarta.” Termasuk Kampung Melayu di Jatinegara, Jakarta Timur. Kampung Melayu dulunya masuk di wilayah yang dikenal dengan nama Meester Cornelis.
Sejarah Kampung Melayu terkait dengan Wan Abdul Bagus. Wan adalah gelar sebagai orang terkemuka Melayu. Menurut buku Asal-usul Nama Tempat di Jakarta (2004), Wan Abdul Bagus putra Ence Bagus, lahir di Patani, Thailand Selatan—yang berbatasan dengan Malaysia di Semenanjung Melayu. Dikenal sebagai sosok yang cerdas, dia dijadikan pemimpin masyarakat Melayu di Betawi dengan pangkat kapitan.
“Kapten Wan Abdul Bagus menjadi penerjemah resmi dan merevisi terjemahan Katekismus Heidelberg,” tulis Adolf Heuken dalam Tempat-Tempat Bersejarah di Jakarta (1997).
Tugas Kapitan kepercayaan VOC tak hanya memimpin sebuah perkampungan dan urusan administrasinya dengan VOC. Seorang kapitan dan orang-orang seetnisnya juga harus siap menjadi pasukan suku dan berperang untuk kepentingan VOC. Jika ada satu kampung suku yang membangkang pada VOC, kampung suku yang lain pun dikerahkan.
Menurut tulisan W.L. Ritter di koran Bintang Betawi (08/05 /1901) "Kapitan Jongker atawa Asalnja Kampong Pajongkoran," Kapitan Wan Abdul Bagus dan orang-orang Melayu juga pernah dikerahkan menghajar orang-orang Ambon pimpinan Kapitan Jonker di Marunda, Cilincing. Atas perintah petinggi VOC tentunya.
Padahal, di masa-masa sebelumnya, sebelum ada aturan yang mengkotakkan suku-suku non-Betawi dalam kampung-kampung etnis, Kapitan Jonker dan orang Ambon bersama orang Melayu di bawah komandonya berperang demi VOC di Sumatra dan Sulawesi. Dalam sebuah pertempuran, seorang pemimpin pasukan Melayu, Kapitan Wan Abdul Bagus terluka. Belakangan, Kapitan Jonker terbunuh.
Mengenai kampung tempat orang-orang Melayu tinggal, Menurut Heuken, Kapitan Wan Abdul Bagus-lah yang “mendirikan Kampung Melayu di Meester (Cornelis).”
Menurut Alwi Shahab dalam Betawi Queen of the East (2004), di daerah yang sekarang bernama Kampung Melayu, dulu tinggal pasukan melayu pimpinan Kapitan Wan Abdul Bagus. Agak ke selatan lagi, ada bawahan Wan Abdul Bagus bernama Ence Awang yang tinggal bersama pasukannya. Ence Awang dan orang-orang Melayu itulah yang menjadi cikal-bakal daerah bernama Cawang.
Menurut buku Asal-usul Nama Tempat di Jakarta (2004), sebagai abdi VOC, Wan Abdul Bagus dipercaya oleh VOC untuk bertindak selaku Regeringscommisaris, semacam duta VOC di Sumatera Barat. Setelah Wan Abdul Bagus meninggal pada 1716 pada usia 90 tahun, dia digantikan Wan Abdullah, putranya dari istri tidak resmi.
Ahli waris tunggalnya, Wan Mohammad meninggal dunia mendahului Wan Abdul Bagus. Sebelum meninggal, Wan Mohammad sudah menikah dengan Ratu Syarifah Fatimah. Menurut de Haan, Ratu Syarifah ini terkait dengan konflik istana di Banten. Wan Abdullah dianggap sebagai kapitan terakhir orang-orang Melayu karena politik VOC.
Jauh setelah VOC bubar dan Hindia Belanda makin berjaya, Kampung Melayu termasuk wilayah afdeling Meester Cornelis di keresidenan Batavia alias Betawi. Kampung Melayu, yang dilintasi kali Ciliwung ini, letaknya tak jauh dari pusat dari afdeling yang kemudian jadi kabupaten Meester Cornelis.
Kampung pinggiran peninggalan era kolonial VOC yang dikenal sebagai daerah padat penduduk dan terkenal dengan terminalnya ini mulai ramai di zaman VOC. Apalagi setelah Jatinegara, yang dulu disebut Meester Cornelis, berkembang menjadi kawasan militer kolonial. Tak jauh dari kawasan militer itu, sebuah stasiun dibangun.
Menurut Adolf Heuken dalam bukunya Gereja-Gereja Tua di Jakarta (2003) dan Th. van der End dalam buku Ragi Carita Jilid 1 (1987), nama Meester Cornelis berasal dari nama anak keturunan Portugis nan kaya raya bernama Cornelis Senen. Kata Meester bisa diartikan sebagai tuan.
Tuan Cornelis Senen, pendeta yang sering berkhotbah dalam bahasa Melayu itu, punya kebun dan membangun sekolah pada 1635. Pada zaman Jepang, nama daerah Meester Cornelis berganti nama menjadi Jatinegara, meski masih banyak orang yang menyebut daerah itu masih dengan nama Meester atau Mister.
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Maulida Sri Handayani