tirto.id - Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang putusan mengenai batas usia calon presiden dan calon wakil presiden. Sidang yang digelar pada Senin (16/10/2023) tersebut rupanya diwarnai dengan adanya dissenting opinion.
Sidang ini digelar di Gedung MK RI Lantai 2, Jakarta, dan dipimpin oleh Ketua MK Anwar Usman yang didampingi oleh sembilan hakim konstitusi lainnya.
Agenda sidang ini adalah membacakan putusan uji materi Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum soal batas usia minimal calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres).
Seperti yang diketahui, setidaknya ada 7 pemohon yang telah mengajukan perkara mengenai batas usia tersebut kepada MK.
Mulai dari Partai Solidaritas Indonesia (PSI), Partai Garuda, Wali Kota Bukittinggi, WNI atas nama Almas Tsaqibbirru Re A, mahasiswa Ilmu Hukum Universitas Sebelas Maret (UNS) Arkaan Wahyu Re A, WNI bernama Melisa Mylitiachristi Tarandung, hingga WNI atas nama Soefianto Soetono dan Imam Hermanda.
Hasil Sidang Putusan MK Usia Capres Cawapres
Mahkamah Konstitusi telah membuat sejumlah keputusan terkait perkara-perkara yang sudah diajukan. Berikut di antaranya:
1. Mengabulkan penarikan kembali permohonan perkara
MK mengabulkan penarikan kembali permohonan perkara yang sebelumnya diajukan oleh pemohon. Pemohon atas nama Soefianto Soetono dan Imam Hermanda diketahui telah mengajukan permohonan penarikan kembali atas Perkara Nomor 105/PUU-XXI/2023 pada 3 Oktober 2023.
2. Menolak permohonan dari PSI
PSI mengajukan permohonan perkara dengan Nomor 29/PUU-XXI/2023. Dalam gugatannya, PSI meminta agar batas usia capres dan cawapres diubah menjadi 35 tahun.
Permohonan ini pun ditolak oleh MK karena tidak beralasan secara hukum untuk seluruhnya. MK menegaskan bahwa Pasal 169 huruf (q) UU Pemilu tidak melanggar hak atas kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan.
Pasal ini juga tidak melanggar hak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil dan perlakuan yang sama di hadapan hukum, serta hak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan.
Untuk putusan perkara ini, terdapat dissenting opinion (pendapat berbeda) yang disampaikan oleh dua hakim konstitusi, yaitu Suhartoyo dan M. Guntur Hamzah.
3. Menolak Gugatan Arkaan Wahyu Re dan Melisa
Arkaan Wahyu yang merupakan mahasiswa UNS mengajukan permohonan yang terdaftar dengan nomor 91/PUU-XXI/2023. Ia pun meminta agar batas usia capres dan cawapres diturunkan menjadi 21 tahun.
Sementara dalam permohonan perkara nomor 92/PUU-XXI/2023, Melisa Mylitiachristi Tarandung meminta agar batas usia capres dan cawapres diubah menjadi 25 tahun.
MK akhirnya memutuskan untuk menolak kedua permohonan tersebut karena MK telah menerima sebagian permohonan untuk perkara nomor 90/PUU-XXI/2023.
4. Mengabulkan sebagian permohonan yang diajukan Almas Tsaqibbirru Re A
WNI atas nama Almas mengajukan permohonan yang terdaftar dengan nomor 90/PUU-XXI/2023 dan meminta agar batas usia capres dan cawapres diubah menjadi 40 tahun atau memiliki pengalaman sebagai penyelenggara negara.
Menurut Ketua Majelis Hakim MK Anwar Usman, sebagian permohonan yang diajukan oleh Almas beralasan menurut hukum. Permohonan itu pun dikabulkan sebagian atas dasar syarat alternatif pernah menjabat sebagai kepala daerah yang dipilih melalui pemilu.
MK juga menyatakan bahwa "berusia paling rendah 40" dianggap bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak punya kekuatan hukum mengikat. sepanjang tidak dimaknai "berusia paling rendah 40 tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah".
Apa Itu Dissenting Opinion?
Sidang putusan MK tentang batas usia capres dan cawapres sempat diwarnai dissenting opinion atau pendapat berbeda oleh beberapa hakim konstitusi.
Dissenting opinion adalah pendapat berbeda dari satu atau lebih hakim yang tidak setuju dengan keputusan yang diambil oleh mayoritas anggota majelis hakim saat memutuskan suatu perkara. Dissenting opinion juga bisa dianggap sebagai pendapat minoritas.
Indonesia sendiri mengadopsi dissenting opinion sejak 2004 sehingga dissenting opinion memiliki landasan hukum yang kuat, salah satunya diatur dalam Pasal 14 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Dalam pasal tersebut disebutkan bahwa jika sidang permusyawaratan tidak dapat dicapai mufakat bulat, maka pendapat hakim yang berbeda wajib dimuat dalam putusan.
Pendapat yang berbeda ini bisa berkaitan dengan beberapa hal, mulai dari fakta hukum, pertimbangan hukum, hingga amar putusan yang berbeda.
Meski demikian, dissenting opinion tidak boleh sampai menghalangi pengambilan keputusan. Sedangkan pendapat berbeda yang disampaikan oleh hakim tetap wajib dimuat dalam putusan.
Penulis: Erika Erilia
Editor: Nur Hidayah Perwitasari