tirto.id - Apa itu pengertian Omnibus Law dalam konteks UU Cipta Kerja yang dinilai akan membawa dampak buruk bagi tenaga kerja atau buruh? Bangaimana isi dan daftar lengkap dari undang-undang yang mendapat protes oleh kaum buruh? Berikut penjelasannya.
Arti Omnibus Law atau Undang-Undang Sapu Jagat menjadi perbincangan hangat di Indonesia usai DPR, DPD, dan perwakilan pemerintahan Jokowi menyetujui agar Omnibus Law RUU Cipta Kerja ditetapkan menjadi Undang-Undang pada Senin (5/10/2020).
Pengertian Omnibus Lawa secara Umum
Ada banyak pengertian soal Omnibus Law. Secara harfiah, kata omnibus berasal dari bahasa Latin omnis yang berarti banyak. Umumnya hal ini dikaitkan dengan sebuah karya sastra hasil penggabungan beragam genre, atau dunia perfilman yang menggambarkan sebuah film yang terbuat dari kumpulan film pendek.
Paulus Aluk Fajar dalam Memahami Gagasan Omnibus Law menulis, di dalam Black Law Dictionary Ninth Edition Bryan A.Garner disebutkan omnibus: relating to or dealing with numerous object or item at once ; inculding many thing or having varius purposes.
Sehingga dengan definisi tersebut jika dikontekskan dengan UU maka dapat dimaknai sebagai penyelesaian berbagai pengaturan sebuah kebijakan tertentu, tercantum dalam dalam berbagai UU, ke-dalam satu UU payung.
Dari segi hukum, kata omnibus lazimnya disandingkan dengan kata law atau bill yang berarti suatu peraturan yang dibuat berdasarkan hasil kompilasi beberapa aturan dengan substansi dan tingkatannya berbeda.
Daftar Pasal UU Omnibus Law Cipta Kerja yang Bisa Merugikan Buruh
Pengesahan RUU Omnibus Law Cipta Kerja dilakukan DPR RI pada Senin (5/10/2020), meski banyak mendapat penolakan dan kritik dari berbagai kalangan masyarakat.
Banyak kajian yang diterbitkan oleh berbagai lembaga menunjukkan pengesahan UU Cipta Kerja akan merugikan buruh/pekerja. Beberapa pasal yang dinilai akan merugikan buruh/pekerja adalah:
1. Masuknya Pasal 88B
Pasal 88B dalam UU Cipta Kerja berbunyi :
(1) Upah ditetapkan berdasarkan:
a. satuan waktu; dan/atau
b. satuan hasil,
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai upah berdasarkan satuan waktu dan/atau satuan hasil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Menurut Amnesty Internasional, pasal tersebut memberikan kebebasan kepada pengusaha untuk menentukan unit keluaran yang ditugaskan kepada pekerja sebagai dasar penghitungan upah (sistem upah per satuan).
Tidak ada jaminan bahwa sistem besaran upah per satuan untuk menentukan upah minimum di sektor tertentu tidak akan berakhir di bawah upah minimum.
2. Penghapusan Pasal 91 di UU Ketenagakerjaan
Pasal 91 UU Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003 berbunyi:
(1) Pengaturan pengupahan yang ditetapkan atas kesepakatan antara pengusaha dan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh tidak boleh lebih rendah dari ketentuan pengupahan yang ditetapkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(2) Dalam hal kesepakatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) lebih rendah atau bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, kesepakatan tersebut batal demi hukum, dan pengusaha wajib membayar upah pekerja/buruh menurut peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
Pasal tersebut mewajibkan upah yang disetujui oleh pengusaha dan pekerja tidak boleh lebih rendah daripada upah minimum sesuai peraturan perundang-undangan.
Apabila persetujuan upah tersebut lebih rendah daripada upah minimum dalam peraturan perundang-undangan, maka pengusaha diwajibkan untuk membayar para pekerja sesuai dengan standar upah minimum dalam peraturan perundang-undangan. Jika dilanggar pengusaha akan mendapat sanksi.
Menghapus Pasal 91 UU Ketenagakerjaan ini akan berujung pada kurangnya kepatuhan pengusaha terhadap upah minimum menurut undang-undang.
Dengan kata lain, kemungkinan besar pengusaha akan memberikan upah yang lebih rendah kepada pekerja dan tidak melakukan apa-apa karena tidak ada lagi sanksi yang mengharuskan mereka melakukannya.
3. Pencantuman Pasal 59 UU Ketenagakerjaan terkait perubahan status PKWT menjadi PKWTT
Jangka waktu maksimum perjanjian kerja sementara dan jangka waktu perpanjangan maksimum belum secara spesifik diatur seperti dalam UU Ketenagakerjaan, tetapi disebutkan akan diatur dalam PP.
Sebagai catatan, aturan teknis apapun yang dibuat menyusul pengesahan Omnibus jangan sampai membebaskan pengusaha dari kewajiban mereka untuk mengubah status pekerja sementara menjadi pekerja tetap. Hal ini menghilangkan kepastian kerja.
Dalam UU Ketenagakerjaan, Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) tadinya terbatas untuk paling lama 2
(dua) tahun dan hanya boleh diperpanjang 1 (satu) kali untuk jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun.
Dalam UU Cipta Kerja, PWKTT menjadi tidak dibatasi oleh Undang-Undang sebagaimana tertera dalam Pasal 56 ayat (3) UU.
Dengan demikian secara tidak langsung RUU Cipta Kerja menghapuskan pembatasan waktu Perjanjian Kerja Waktu Tertentu dan menyerahkannya pada kesepakatan para pihak. Artinya, peran pemerintah menjadi lemah, karena tidak dapat mengintervensi jangka waktu PKWT.
Output dari ketentuan ini akan menyebabkan semakin menjamurnya jenis pekerja kontrak. Ketentuan ini sudah banyak dikritik oleh kalangan pekerja karena menunjukkan kurangnya keberpihakan pemerintah terhadap perlindungan hak dan kepastian hukum bagi pekerja.
4. Pasal 77
Pasal 77 dalam UU Cipta Kerja berbunyi:
(1) Setiap Pengusaha wajib melaksanakan ketentuan waktu kerja.
(2) Waktu kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. 7 (tujuh) jam 1 (satu) hari dan 40 (empat puluh) jam 1 (satu) minggu untuk 6 (enam) hari kerja dalam 1
(satu) minggu; atau
b. 8 (delapan) jam 1 (satu) hari dan 40 (empat puluh) jam 1 (satu) minggu untuk 5 (lima) hari kerja dalam 1
(satu) minggu.
(3) Ketentuan waktu kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak berlaku bagi sektor usaha atau pekerjaan
tertentu.
(4) Pelaksanaan jam kerja bagi pekerja/buruh di perusahaan diatur dalam perjanjian kerja, peraturan
perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai waktu kerja pada sektor usaha atau pekerjaan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Batasan waktu kerja dalam Pasal 77 ayat (2) masih dikecualikan untuk sektor tertentu. Detail skema masa kerja dan sektor tertentu yang dimaksud akan dijabarkan lebih lanjut melalui peraturan pemerintah (PP).
Ini menimbulkan kekhawatiran akan adanya perbedaan batas waktu kerja bagi sektor tertentu dan kompensasinya akan dapat merugikan pekerja di sektor-sektor tertentu, karena mereka dapat diminta untuk bekerja lebih lama dan menerima pembayaran untuk lembur yang lebih rendah dibandingkan pekerja di sektor lain.
Pengaturan kebijakan waktu kerja yang tidak jelas, dinilai menjadi celah semakin terbukanya eksploitasi terhadap pekerja. Selama ini saja banyak kasus pekerja yang upahnya tidak dibayar, tetapi waktu kerjanya tetap berjalan normal. Bahkan terdapat kasus pengusaha yang kabur dengan tidak membayar hak-hak normatif pekerja.
Banyak hal kontroversial yang selama ini kasusnya menimpa pekerja, walau instrumen hukumnya diatur dalam UU Ketenagakerjaan, tetapi tidak dipatuhi atau dijalankan oleh perusahaan.
Terlebih lagi ketika memberikan ruang bagi pengusaha untuk mengatur waktu kerja terhadap pekerja, menghilangkan kewajiban pengusaha membayar upah dalam keadaan tertentu, dan tidak membayar upah sesuai upah minimum. Hal ini akan semakin menjerumuskan nasib pekerja di bawah jurang eksploitasi.
Sejarah Omnibus Law
Menurut Audrey O” Brien (2009), Omnibus Law adalah suatu rancangan undang-undang (bill) yang mencakup lebih dari satu aspek yang digabung menjadi satu undang-undang.
Sementara bagi Barbara Sinclair (2012), omnibus bill merupakan proses pembuatan peraturan yang bersifat kompleks dan penyelesaiannya memakan waktu lama karena mengandung banyak materi meskipun subjek, isu, dan programnya tidak selalu terkait.
Penggunaan Omnibus Law telah banyak dilakukan oleh negara di dunia terutama yang menggunakan tradisi common law system. Di dunia terdapat dua sistem hukum yakni common law system dan civil law system. Indonesia mewarisi tradisi civil law system.
Sejarah omnibus dapat dilihat di beberapa negara yang telah menerapkan misalnya AS, Kanada hingga Inggris. Konsep Omnibus Law sebenarnya sudah cukup lama. Di Amerika Serikat (AS) tercatat UU tersebut pertama kali dibahas pada 1840.
Di Kanada, background paper yang dipublikasikan Library of Parliament dari Parlemen Kanada tentang Omnibus bill: Frequently Ask Questions, Bedard (2012: 2) menyatakan sulit untuk menyatakan kapan pertama kali omnibus bill diajukan di Parlemen Kanada.
House of Commons Procedure and Practice memperkirakan praktek Omnibus Bill dimulai pada tahun 1888, ketika sebuah usul RUU diajukan dengan tujuan meminta persetujuan terhadap dua perjanjian jalur kereta api yang terpisah.
Namun, RUU semacam omnibus juga ditengarai ada pada awal 1868, yaitu pengesahan sebuah undang-undang untuk memperpanjang waktu berlakunya beberapa undangundang pasca-Konfederasi Kanada.
Salah satu Omnibus Bill terkenal di Kanada (yang kemudian menjadi Criminal Law Amendment Act, 1968-69 yang terdiri dari 126 halaman dan 120 klausul) adalah perubahan terhadap Criminal Code yang disetujui pada masa kepemimpinan Pierre Eliot Trudeau (Menteri Kehakiman di pemerintahan Lester Pearson).
Undang-undang ini mengubah beberapa kebijakan, yaitu masalah homoseksual, prostitusi, aborsi, perjudian, pengawasan senjata, dan mengemudi dalam keadaan mabuk.
Konsep hukum omnibus juga telah dicoba oleh negara-negara Asia Tenggara. Di Vietnam, penjajakan penggunaan teknik omnibus dilakukan untuk implementasi perjanjian WTO.
Di Filipina, penggunaan Omnibus Law lebih mirip dengan apa yang ingin dilakukan di Indonesia. Filipina memiliki Omnibus Investment Code of 1987 and Foreign Investments Act Of 1991.
Berdasarkan policy paper yang disusun oleh Aquino, Correa, dan Ani (2013: 1), pada 16 Juli 1987, Presiden Corazon C. Aquino menandatangani Executive Order No. 26 yang dikenal sebagai The Omnibus Investments Code of 1987 (Peraturan Omnibus tentang Investasi Tahun 1987).
Peraturan tersebut ditujukan untuk mengintegrasikan, memperjelas, dan menyelaraskan peraturan perundang-undangan tentang investasi untuk mendorong investasi domestik dan asing di negara tersebut.
Peraturan ini mencakup ketentuan-ketentuan tentang fungsi dan tugas Dewan Investasi (Board of Investments); investasi dengan insentif; insentif untuk perusahaan multinasional; dan insentif untuk perusahaan pemrosesan ekspor.
Apakah Omnibus Bill atau Omnibus Law berhasil? Menurut Dodek (2017: 1) selama beberapa dekade penggunaannya, Omnibus Law berkembang menjadi “undemocratic practise” (praktek yang tidak demokratis) dalam pembentukan undang-undang di Parlemen.
Waktu yang singkat kerap membuat parlemen tidak dapat membahas Omnibus Law cuntuk membahas secara mendalam. Selanjutnya dengan doktrin pemisahan kekuasaan, seolah-olah tidak ada pemisahan antara eksekutif dan legislatif, karena legislatif yang dikuasai oleh koalisi pemerintah akan cenderung mendukung apapun yang diajukan pemerintah.
Editor: Addi M Idhom
Penyelaras: Yulaika Ramadhani