tirto.id - Don't you want me like I want you, baby
Don't you need me like I need you now
Sleep tomorrow but tonight go crazy
All you gotta do is just meet me at the
Apateu, apateu
Apateu, apateu
Apateu, apateu
Uh, uh huh uh huh
Sudah berapa kali kamu mendengar lagu APT. (Apateu) dari Rosé Blackpink dan Bruno Mars?
Sebagian dari kita mungkin mendengarnya di radio sembari menerjang kemacetan sepulang dari kantor. Atau, yang tengah berselancar di dunia digital, bisa saja mendapati video klipnya di kanal YouTube.
Seiring itu, di kalangan pengguna Instagram atau TikTok, sepertinya tak sedikit yang menjumpai tren dari pembuat konten yang berusaha menirukan koreografi atau gerakan tarian di lagu tersebut.
Ya, sejak rilis pada 25 Oktober lalu, lagu duo Rosé-Mars ini sudah menyapa telinga banyak orang.
Bahkan, hanya dalam kurun tiga minggu setelah rilis, video musiknya di YouTube sudah ditonton hampir 300 juta kali.
Menariknya, single kolaborasi itu jadi lagu yang tidak mendapatkan sambutan hangat dari sebagian siswa sekolah di Korea Selatan.
Tabu lagu APT. ini berkaitan dengan karakter musiknya yang dianggap menimbulkan candu bagi pendengarnya.
"Aku khawatir lagu itu akan terus terngiang-ngiang di kepalaku bahkan selama ujian,” kata seorang siswa kepada Yonhap News seperti dilaporkan JoongAng Daily pada 28 Oktober silam.
“Orang dewasa mungkin tertawa dan bilang, “Kenapa stres karena hal begitu?' Namun bagi kami, dengan ujian penting yang akan datang, bisa jadi rasanya meresahkan.”
Di sejumlah forum komunitas daring berisi pelajar yang sedang mempersiapkan ujian, mengunggah tautan yang memutar lagu-lagu terlarang ini jadi bahan lelucon, bahkan menyebabkan penangguhan akun bagi beberapa anggota yang tindakannya dianggap berlebihan.
Sebelum APT., masih mengutip YoongAng, terdapat sejumlah lagu yang 'terlarang' bagi para siswa calon peserta CSAT, seperti U R Man (SS5501), Dumb Dumb (Red Velvet ), dan Ring Ding (SHINee).
Selain lagu-lagu populer yang menyasar pendengar remaja dan dewasa, ada pula lagu anak-anak seperti Baby Shark (2015) dan beberapa jingle iklan yang dipandang mengusik upaya orang-orang untuk berkonsentrasi pada hal-hal serius.
Mendengarkan musik memang telah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan banyak orang.
Musik bahkan bisa menjadi salah satu pendekatan dalam terapi kesehatan.
Menurut berbagai penelitian, terapi musik dapat meningkatkan kadar oksitoksin dalam tubuh yang berpengaruh dalam mengurangi kemarahan, kelelahan, kecemasan, dan rasa sakit.
Yang jadi pertanyaan, apakah mendengarkan musik terlalu sering atau memutar lagu terus-menerus berdampak pada produktivitas kita?
"Pada dasarnya, earworm adalah segmen musik melingkar yang biasanya berdurasi sekitar 20 detik dan secara otomatis masuk ke dalam kesadaran kalian dan terus diputar berulang-ulang," demikian dilansir dari The Harvard Gazette.
Menurut sejumlah survei yang selama ini beredar, 90 persen orang mengalami sindrom lagu ‘terjebak’ atau mendapati earworm di telinganya. Nah, bagi sekitar sepertiga dari mereka, kondisi ini dianggap mengganggu.
Profesor Psikiatri dari Harvard University, David Silberweig, pada 2018 pernah meneliti tentang efek neurobiologis musik dan mengapa lagu-lagu tertentu ‘terjebak’ di dalam kepala kita.
Penelitian itu mengungkap ada beberapa ciri-ciri musik tertentu yang membuat lagu lebih mungkin menjadi earworm, seperti lagu yang diputar berulang-ulang, durasi nada tertentu lebih lama, dan interval antarnada lebih kecil.
Selain itu, lagu-lagu yang memicu semacam muatan emosional, baik disadari atau tidak, atau lagu-lagu yang berhubungan dengan memori tertentu, sering kali menjadi lagu yang melekat di kepala.
Dalam konteks ini, earworm juga bisa dikaitkan dengan kecanduan musik atau lagu.
Melansir Healthline, para ahli tidak secara formal mengakui kecanduan musik sebagai diagnosis kesehatan mental.
Meski begitu, kebiasaan ini bukan tidak mungkin menimbulkan masalah.
Apabila situasinya memang sudah mengganggu, alangkah lebih baik untuk melakukan pemeriksaan profesional. Dari situ, kita dapat mengevaluasi banyak hal—apakah kebiasaan mendengarkan musik sampai menimbulkan masalah dalam kehidupan sehari-hari, membuat kita tidak dapat berhenti mendengarkannya atau merasa selalu membutuhkannya, atau bahkan sampai mendorong kita untuk menarik diri dari kehidupan sosial.
Psikolog Klinis Anak dan Dewasa Be Sha Counseling sekaligus Praktisi HR Marsya Rezkita Dewi, M.Psi., Psikolog menjelaskan, pada dasarnya adiksi atau kecanduan merupakan perilaku terus-menerus dan mengganggu aktivitas harian.
Adiksi bisa terjadi pada berbagai hal seperti pornografi, aroma, zat tertentu, sampai musik.
Marsya menyarankan sejumlah cara yang bisa dilakukan untuk mengatasi kecanduan musik.
Yang utama, cobalah untuk mengidentifikasi pemicu emosional dalam mendengarkan musik. Misalnya, pastikan alasan ingin mendengarkan musik—apakah karena merasa stres, bosan, kesepian, atau cemas.
"Kalo sudah, boleh tanya lagi ke diri sendiri, 'Memang musik benar-benar diperlukan di situasi kalau aku lagi mengalami stres? Kenapa? Seberapa signifikan?'," paparnya.
Marsya menuturkan, boleh-boleh saja kita mendengarkan musik sambil beraktivitas.
Meski begitu, kita tetap harus fokus membuat target pada aktivitas utama agar dapat mengurangi jumlah stimulus yang masuk. Contohnya, seperti kebanyakan sudah sering kita lakukan, adalah kegiatan bekerja atau belajar di kafe yang memutar musik.
"Fokus kita di kafe memang mau belajar, atau mau mendengarkan lagu-lagu itu? Kalau memang kita fokusnya mau belajar, berarti kita tidak terdistraksi secara mendalam melalui lagu-lagu tersebut. Kita tidak singing along atau galau karena lagunya. Kita tetap bisa memproses pekerjaan kita."
Yang tak kalah penting, kata Marsya, adalah mindfulness. Caranya tak lain dengan membatasi waktu konsumsi musik.
"Atau, gunakan musik yang tidak menggali emosi secara mendalam," pungkas Marsya.
Kalau kamu sendiri, sejauh mana mendengarkan musik dapat memengaruhi kinerja atau aktivitas belajarmu?
Penulis: Putri Annisa
Editor: Sekar Kinasih