tirto.id - Apa suasana hatimu berangsur-angsur jadi lebih baik setelah mendengarkan lagu-lagu mellow dengan lirik menyayat hati?
Ikut larut dalam irama balada yang lambat bernuansa penuh kepedihan, pada titik tertentu, entah mengapa dapat membantu hati kita dalam memproses situasi yang berat atau sulit.
Efek-efek psikologis yang kita rasakan setelah memutar musik tadi nyatanya selaras dengan metode perbaikan kondisi kesehatan mental dengan menggunakan terapi musik.
Musik sebagai terapi bahkan dapat membantu meringankan gangguan kesehatan, seperti demensia, stroke, dan penyakit Parkinson.
MenurutAmerican Music Therapy Association (AMTA), terapi musik merupakan pendekatan untuk penyembuhan penyakit tertentu dengan menggunakan medium musik yang telah teruji dan terbukti secara klinis. Terapi ini dilakukan oleh musisi profesional yang telah menempuh pendidikan program musik terapi.
Terapi musik memanfaatkan komponen-komponen musik yang dirancang khusus untuk memenuhi kebutuhan fisik, emosi, mental, sosial, hingga kognitif pasien dengan tujuan mendukung proses penyembuhan dan meningkatkan kualitas hidupnya.
Pendekatannya beragam, dari bernyanyi, mendengarkan musik, mengikuti gerakan musik, memainkan alat musik, sampai membuat komposisi lagu.
Merunut sejarahnya, musik sebagai sarana penyembuhan dipercaya sebagai bagian dari ritual magis untuk memohon kesembuhan dari dewa-dewa atau mengharapkan kekuatan penyembuhan di dalam musik itu sendiri.
Salah satunya merujuk pada kisah Daud dengan alat musik kecapi yang mampu mengeluarkan roh jahat dari dalam tubuh Raja Saul. Setiap kali roh jahat mengguncang jiwa Saul, Daud akan memainkan kecapinya sehingga tubuh Saul kembali segar.
Pada abad ke-19, terapi musik mulai diperkenalkan di ranah medis.
Pionir dunia keperawatan modern Florence Nightingale menggagas konsep teori lingkungan—environmentaltheory—yang menekankan pentingnya kebersihan lingkungan, udara, pencahayaan, hingga suara dalam perawatan pasien.
Perlahan, penggunaan musik sebagai medium terapi mulai populer di berbagai belahan dunia. Memasuki abad ke-20, perguruan tinggi mulai menerapkan program khusus untuk terapi musik dan menggencarkan riset untuk membuktikan efektivitas terapi musik.
Dalam perkembangannya, terapi musik menjadi pendekatan alternatif untuk mendukung pengobatan konvensional berbagai penyakit, termasuk yang terkait dengan kesehatan mental.
Ritme dan melodi musik disebut memiliki potensi untuk memperbaiki emosi, mengurangi kecemasan, meningkatkan suasana hati, dan memulihkan kesejahteraan mental.
Sebuah studi tinjauan di Cochrane Database of Systematic Reviews (2017) mengungkapkan, terapi musik pada pasien gangguan depresi yang dibarengi dengan pengobatan dapat mengurangi gejala-gejala depresif, kecemasan, dan membantu meningkatkan kinerja mereka dalam berbagai aktivitas, termasuk ranah pekerjaan dan relasi.
Efek positif dari terapi musik juga nampak pada pasien skizofrenia. Gangguan mental paling banyak ditemui di Indonesia ini menimbulkan distorsi realitas sehingga penderitanya tidak dapat membedakan kenyataan dengan halusinasi.
Menurut artikel di jurnal Psychiatry and Clinical Neuroscience (2007), mendengarkan musik dapat menjadi salah satu mekanisme koping pasien skizofrenia untuk membantu mengalihkan perhatian mereka dari suara-suara halusinasi.
Sejatinya, efek dari musik sebagai terapi selalu berkaitan dengan kondisi psikologis seseorang yang juga akan berdampak pada gejala fisik dan perilaku pasien.
Berbagai penelitian yang dilakukan terhadap pasien dengan penyakit-penyakit spesifik juga mengungkapkan bahwa terapi musik memberikan efek relaksasi dan pengalaman terapeutik yang berpengaruh positif terhadap proses penyembuhan mereka.
Musik dapat meningkatkan kadar oksitoksin dalam tubuh yang berpengaruh dalam mengurangi kemarahan, kelelahan, kecemasan, dan rasa sakit. Demikian temuan dari penelitian di Journal of Clinical Nursing (2009).
Studi tersebut dilakukan terhadap 40 pasien yang baru saja menjalani operasi jantung terbuka dan diberikan intervensi musik yang menenangkan atau musik relaksasi selama mereka beristirahat di rumah sakit.
Selain itu, musik juga dapat meningkatkan produksi hormon endorfin yang merupakan obat pereda nyeri alami dari tubuh. Hormon endorfin memberikan rasa senang atau euforia setelah melakukan aktivitas tertentu, termasuk ketika mendengarkan musik.
Pendeknya, ikut terlibat dalam live music dapat memberikan perasaan bahagia yang lebih signifikan hingga dapat membantu mengurangi rasa sakit.
Di Indonesia, terapi musik juga sudah mulai diperkenalkan sebagai cara untuk membantu orang-orang dengan demensia (ODD) karena berpotensi meningkatkan kinerja kognitif otak mereka.
“Musik adalah olahraga untuk otak yang menua. Otak akan memproses terapi musik seperti berolahraga karena [aktivitas yang] dilakukan bervariasi,” ujar Alfina, terapis musik di Daya Indonesia Performing Art Academy dalam Seminar “Terapi Musik Untuk Orang dengan Demensia dan Caregivers” bekerja sama dengan organisasi Alzheimer Indonesia (ALZI) pada 18 Oktober 2024 silam.
Perawat atau pendamping pasien demensia, lazim disebut caregiver, juga dapat mengikuti terapi musik untuk membantu mengurangi beban mental mereka.
“Bisa aja yang diterapi itu justru caregiver-nya, bukan ODD-nya. Caregiver menyimpan segala macam emosi yang tidak bisa dikemukakan. Kami bisa bantu dengan membuat komposisi sebuah lagu,” lanjut Alfina.
Alfina membagikan cerita berkesan tentang terapis mereka yang mendampingi seorang caregiver dalam sesi terapi musik.
Metode terapi musik itu sendiri dibuat dan disesuaikan dengan kebutuhan dan tujuan penyembuhan masing-masing pasien. Maka, terapi musik perlu difasilitasi oleh tenaga profesional yang telah menguasai jenis-jenis terapi yang dibutuhkan oleh pasien.
“[Dari hasil terapi musik] kami secara profesional mengamati perubahan perilaku walaupun sangat kecil yang dapat memberikan arah perkembangan baru. Sedangkan anggota keluarga atau orang awam ini tidak akan sadar,” ujar Alfina.
Pada akhirnya, terdapat begitu banyak manfaat yang dapat dicapai dari pengobatan terapi musik, terutama pengaruhnya bagi kesehatan mental.
Namun efektivitas terapi ini tidak hanya bergantung pada elemen musik semata, melainkan perlu dukungan keaktifan pasien demensia, interaksinya dengan pasien lain, dan komunikasi yang baik dengan perawat serta tenaga medis lain.
Menurut Alfina, terapi musik dapat memberikan dampak lebih bagus apabila dikerjakan dalam format kelompok kecil sehingga pasien tidak merasa sendirian. Mereka bisa menjadi lebih bersemangat karena mengetahui ada teman-teman lainnya yang sama-sama berjuang.
“Dengan lingkungan sosial yang baru, bertemu orang baru, hal ini juga akan menciptakan perubahan pola pikir dan perilaku yang baru,” pungkas Alfina.
Penulis: Yolanda Florencia Herawati
Editor: Sekar Kinasih