tirto.id - Jimmy Wales, pendiri Wikipedia, punya seorang putri kecil bernama Kira. Wales memiliki tiga anak. Satu saat ia pernah berucap “saya membesarkan anak-anak dalam rumah tangga yang konservatif, atau katakanlah, saya merawat mereka dengan sangat protektif.”
Namun, Wales melontarkan pertanyaan yang menggelitik soal bagaimana orangtua melindungi anak-anaknya dari bahaya internet “apakah saya memasang filter internet pada perangkat yang dimiliki anak saya?” Wales mengakui secara jujur tak melakukannya.
Wales seolah ingin menggambarkan para orangtua yang menyayangi anak-anaknya seringkali tak berdaya saat menghadapi tantangan melindungi anak-anak dari efek negatif internet. Di Indonesia, upaya proteksi pengguna internet dari konten-konten negatif seperti pornografi sudah jadi kesadaran. Undang-undang (UU) Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi dan Undang-Undang nomor 11 tahun 2008 tentang Transaksi Elektronik UU ITE mengatur secara tegas pornografi, dalam bentuk apapun dilarang di Indonesia.
Mulai 10 Agustus 2018, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) menyatakan konten-konten pornografi tak bisa diakses melalui penyedia layanan internet (ISP) nasional berkat penerapan mode aman (safe mode) pada mesin pencari seperti Google. Dengan skema ini, gambar atau video porno bakal tak muncul di image mesin pencari meski pengguna telah mengetik kata kunci yang bertalian dengan porno.
“Di Google Amerika Serikat ada fitur SafeSearch kalau diaktifkan tidak bisa mengakses ke situs berbagai pornografi dan saudara-saudaranya. Nanti maksimal 10 Agustus di Indonesia juga tidak akan bisa lagi,” kata Rudiantara.
SafeSearch
SafeSearch adalah fitur yang terkandung di mesin pencari Google yang bertujuan untuk mengeliminasi situsweb-situsweb yang mengandung konten pornografi muncul di daftar hasil pencarian. Philip B. Stark, peneliti University of California, Berkeley, Amerika Serikat, dalam papernya berjudul “The Effectiveness of Internet Content Filters” mengatakan dari 11.100 situsweb yang menjadi sampel hasil pencarian Google, 11 persen di antaranya mengandung konten pornografi.
Stark, yang merujuk Child Online Protection Act (COPA) yang disahkan Kongres Amerika Serikat pada 1998, “merekomendasikan penggunaan filter konten internet sebagai alat untuk melindungi anak-anak.” Filter bisa mengeliminasi 11 persen hasil pencarian Google berbau porno.
Namun, Stark menegaskan COPA mengecualikan konten berunsur pornografi hadir dalam bentuk karya seni atau dunia pendidikan. Bila perusahaan internet memberi tahu penggunanya, misalnya menggunakan rating atau pengumuman khusus layanan mereka mengandung konten pornografi, maka COPA masih memberikan izin.
Google meluncurkan fitur SafeSearch pada 2000. Dalam blog resmi perusahaan mesin pencari itu, SafeSearch diluncurkan untuk “memastikan konten dewasa jauh dari jangkauan anak-anak.” SafeSearch, di awal peluncuran masih sebatas memfilter hasil pencarian berbasis teks. Pada 12 Desember 2012, Google mengembangkan fitur SafeSearch untuk bisa juga memfilter hasil pencarian berbasis gambar. Pada blog resmi mereka, Google mengingatkan bahwa fitur SafeSearch tidak mungkin melakukan filter dengan akurasi 100 persen.
Dalam laporan Cnet, juru bicara Google mengatakan fitur SafeSearch “tidak ditujukan untuk men-sensor konten dewasa, (tetapi) Google menginginkan pengguna mendapatkan hasil pencarian yang mereka maksud [...] Kami menggunakan algoritma untuk menentukan mana konten yang paling relevan sesuai dengan kata kunci yang diketik pengguna. Jika pengguna mencari konten dewasa, pengguna bisa mencarinya di Google dengan kata kunci yang spesifik dan tidak menggunakan kata kunci yang berpotensi ambigu.”
Stark, masih dalam papernya, mengatakan fitur SafeSearch “tidak mungkin melakukan filter dengan akurasi 100 persen” tapi tidak bisa juga diartikan sebagai filter yang bekerja dengan tingkat akurasi tinggi sampai 99 persen. Artinya ada dua hal yang mungkin terjadi: memblokir konten yang tidak seharusnya diblokir atau overblocking dan gagal memblokir konten yang seharusnya diblokir atau underblocking.
Benjamin Edelmen, peneliti dari Harvard University, dalam paper berjudul “Empirical Analysis of Google SafeSearch,” mengungkap SafeSearch pernah melakukan kesalahan diagnosa konten pornografi “tidak mungkin termuat konten berbau pornografi pada thomas.loc.gov (situsweb Library of Congress), pmo.gov.il (situsweb perdana menteri Israel), nmsa.org (situsweb asosiasi sekolah menengah), tetapi konten mereka ditendang dari hasil pencarian Google ketika SafeSearch diaktifkan.” Kesalahan tersebut diketahui Edelmen selepas melakukan pencarian melalui 2.500 kata kunci yang diakuinya hanya berbau unsur fashion.
Salah satu alasan mengapa SafeSearch tak akurat karena hilangnya sentuhan manusia pada fitur tersebut. “Otak utama SafeSearch dikendalikan melalui sistem otomatis, alias komputer yang menentukan apakah ada konten berbau pornografi di suatu situs atau tidak,” tulis Edelman.
Selain Google, mesin pencari lain pun memiliki fitur serupa. Bing hingga Yahoo pun memilikinya. Namun, semua fitur SafeSearch pada mesin pencari itu hanya bisa diaktifkan dengan mengunjungi laman “Preference” di masing-masing situs. Ihwal ini, pihak Google melalui Jason Tedjasukmana, Head of Communications Google Indonesia, tak memberikan komentar terkait penggunaan fitur SafeSearch.
Editor: Suhendra