tirto.id - Produk organik sedang menjadi tren masa kini. Ada kecenderungan orang untuk mengkonsumsi produk sehat. Di sisi lain, produsen juga pandai melihat peluang. Mereka menciptakan ragam produk organik, mulai dari pangan hingga kosmetik.
Frisca Clarissa Almira (26) adalah salah satu konsumen yang sudah selama delapan bulan ini menjadi konsumen produk organik, mulai dari pangan hingga kosmetik. Biasanya, untuk produk pangan, ia membeli ragam kebutuhan di salah satu supermarket yang menyediakan rak khusus pangan organik. Untuk produk kosmetiknya, ia belanja secara online. Meski mesti mengeluarkan uang lebih banyak, Frisca meyakini gaya hidupnya bisa membuat tubuhnya dan lingkungan menjadi lebih sehat.
“[Untuk] mengurangi bahan pengawet yang masuk ke tubuh,” katanya.
Perempuan yang bekerja sebagai presenter di salah satu televisi swasta ini salah satu konsumen yang paham dan memperhatikan secara detail masalah pelabelan produk. Ia tak begitu saja percaya pada jajaran produk di rak yang diklaim sepihak sebagai “organik” dari pihak supermarket dan toko online.
Baca juga:Belanja Online dan Hak-hak yang Terabaikan
Sayangnya, tak semua konsumen organik paham masalah pelabelan seperti Frisca. Padahal, tak semua produk pangan dan kosmetik organik yang beredar terjamin keorganikannya. Baik pangan maupun kosmetik, harus terlebih dulu mendapat sertifikat organik dari lembaga sertifikasi.
Uden Suherlan, seorang petani organik paprika di Cianjur, Jawa Barat mengungkapkan ada syarat khusus yang harus ditempuh produsen ketika ingin melabeli produknya sebagai produk organik. Ia harus menyiapkan uang sekitar Rp15-30 juta untuk biaya sertifikasi dan memastikan tanah dan lingkungan sekitar bebas pestisida kimia. Tanaman organik, harus diberi sekat untuk mencegah pencemaran pestisida kimia dari tanaman konvensional ke organik.
“Peralihan tanah yang awalnya ditanami tanaman konvensional juga harus steril dulu minimal tiga tahun. Baru bisa ditanami organik, biar bersih dari zat kimia,” katanya kepada Tirto.
Masa berlaku sertifikat pangan organik adalah tiga tahun. Setelah itu, produsen harus memperbaharui dengan biaya mencapai setengah dari biaya sertifikasi awal. Meski perlu melewati serangkaian syarat yang sulit dan cukup menguras kantong, Uden mengaku bertani organik lebih mendatangkan banyak keuntungan, baik segi ekonomi maupun kesehatan.
Baca juga:Tingkatkan Prestasi Anak dengan Berkebun
Sebelum bertani organik, ia sempat selama sepuluh tahun menjadi petani konvensional. Selama itu pula ia merasa timbunan bahan-bahan kimia seperti pestisida dan pupuk yang dipakai membuat tubuhnya tak sehat. Ia seringkali sakit kepala dan diare karena menghirup pestisida semprot dan kontaminasi dari tangan yang mengaduk pupuk atau pestisida tanpa alas apapun.
“Dari segi ekonomi, petani organik lebih untung karena harga jual produknya stabil. Kalau konvensional suka turun mendadak,” katanya.
Tak Boleh Asal Tempel Label
Produsen tak bisa asal tempel label produk organik pada kemasan barangnya. Sertifikat khusus dari lembaga sertifikasi organik menjadi bukti pengolahan suatu produk telah sesuai standar organik. Penanda produk organik biasanya sebuah label yang melekat pada kemasan yang menunjukkan identitas produk plus acuan standar organik.
Pada produk pangan, terdapat pelabelan seperti European Union (EU), National Organic Program United States Department of Agriculture’s (NOP USDA), Japanese Agricultural Standards (JAS), Korean Food and Drug Administration (KFDA), dan Organic Agriculture Centre of Canada (OACC). Ini adalah standar yang ditetapkan di negara bersangkutan termasuk standar bagi para pengekspor.
Di Indonesia, produsen pangan organik bisa memilih 17 lembaga sertifikasi di bawah Kementerian Pertanian. Beberapa di antaranya adalah PT Peterson Mitra Indonesia (Control Union Indonesia) yang berada di bawah Control Union World Group di Belanda, Board of Indonesia Organic Certification (BIOCert), dan PT Sucofindo.
Dalam proses sertifikasi, pemohon akan mengisi formulir aplikasi yang berisi pertanyaan seputar cara pengolahan dan spesifikasi produk dari lembaga sertifikasi. Setelah pemohon membayar, lembaga sertifikasi mengirim tim inspeksi guna menentukan layak atau tidaknya produk tersebut bertitel organik. Standar dan sertifikasi pangan organik ini tertuang dalam SNI Pangan Organik tahun 2002.
“Jadi, kalau tanaman kita bersebelahan dengan tanaman konvensional dan tidak ada pemisahnya, tidak bisa disebut organik,” jelas Uden.
Baca juga:Penyebab Anak Tak Suka Makan Sayur dan Buah
Namun, untuk kosmetik organik, Indonesia belum memiliki aturan atau badan yang khusus mengurus sertifikasinya. Di Amerika Serikat, ada beberapa program sertifikasi, termasuk untuk kategori produk kosmetik dalam pelabelan organiknya.
Pertama, produk yang melabeli diri “100 persen organik” harus mengandung bahan yang hanya diproduksi secara organik, tidak termasuk air dan garam . Produk tersebut harus menampilkan nama dan alamat agen sertifikasi. Lalu kedua, produk “organik” yang setidaknya harus mengandung 95 persen bahan yang diproduksi secara organik, tidak termasuk air dan garam.
Ketiga, produk yang “Dibuat dengan bahan organik lebih dari 70%” harus mengandung setidaknya 70 persen bahan organik. Label produk dapat mencantumkan hingga tiga bahan organik pada panel display utama. Terakhir, produk yang “Dibuat dengan bahan organik kurang dari 70%” tidak dapat menggunakan istilah "organik" di mana pun pada panel display utama.
Nah, jika Anda merupakan salah satu konsumen produk organik, sebaiknya mulai memperhatikan betul-betul keorganikan produknya. Tentu saja urusan label ini tak terlalu menjadi soal jika Anda memang betul-betul mengetahui proses berkebun dari produk yang Anda konsumsi.
Penulis: Aditya Widya Putri
Editor: Maulida Sri Handayani